Elit Negeri Tanpa Salah
GH News January 01, 2025 12:05 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Fenomena politik yang berkembang saat ini seolah memaksa kita untuk bertanya: apakah moralitas masih memiliki tempat dalam ekosistem hukum, sosial, dan keamanan negeri ini? Kasus penetapan Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus suap DPRD mengungkapkan sebuah kenyataan pahit tentang praktik-praktik politik yang merusak tatanan moral di negara ini. 

Hasto yang merupakan Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) seolah menjadi simbol dari deretan elit yang bersembunyi di balik kekuasaan dan sering kali tidak tersentuh hukum. Keberadaan sosok seperti Hasto memperlihatkan betapa sulitnya melakukan pembersihan dari perilaku korup dalam politik, di mana kekuatan politik justru seringkali melindungi atau memelihara mereka yang seharusnya terjerat hukum.

Kasus ini membawa kita pada sebuah realitas di mana para elit politik tidak hanya terlibat dalam praktik-praktik yang jauh dari nilai moral, tetapi juga menciptakan ruang untuk saling berkonflik dan menutupi satu sama lain. Fenomena ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum, tetapi juga memperburuk iklim sosial dan politik di tanah air. 

Argumentasi saling serang antar pihak, baik dari pemerintah, partai politik, hingga para pengamat, semakin memperkeruh keadaan. Ancaman demi ancaman untuk mengungkap skandal-skandal lain yang melibatkan elit politik seakan menjadi jalan pintas untuk saling menjatuhkan satu sama lain.

Bahkan, semakin jelas terlihat perpecahan yang terjadi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan PDI Perjuangan, yang sebelumnya dianggap sebagai kekuatan politik yang solid. Perpecahan ini, yang sudah mulai muncul di permukaan, menjadi salah satu tanda bahwa konflik internal di tubuh partai politik semakin tak terkendali. 

Para elit politik yang seharusnya menjadi teladan malah semakin terperosok dalam pertikaian yang memalukan dan tidak membawa manfaat bagi rakyat. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka justru menciptakan ketegangan yang lebih besar di tengah masyarakat, seakan-akan politik adalah permainan untuk saling menghancurkan, bukan untuk kesejahteraan bangsa.

Di saat yang sama, muncul kekhawatiran bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara semakin terkikis. KPK, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi, justru terjebak dalam ketegangan politik yang memperumit upaya mereka untuk menegakkan hukum secara adil. 

Kasus Hasto menjadi contoh konkret betapa hukum seringkali hanya menjadi alat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, dan bukan sebagai instrumen yang menjamin keadilan bagi semua warga negara.

Sementara itu, ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah dalam menghadapi persoalan besar ini justru memperburuk situasi. Alih-alih memberikan solusi yang konkret dan membawa pembaruan, para pengambil kebijakan lebih sibuk dalam mempertahankan posisi mereka dan mencari celah-celah untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini membuat masyarakat semakin meragukan niat baik para elit dalam menjalankan roda pemerintahan.

Penting untuk menyadari bahwa peran elit politik dalam negara ini bukanlah untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan untuk menjaga kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Namun, yang terjadi saat ini adalah sebuah situasi di mana kekuasaan dan kepentingan pribadi lebih dominan.

Sementara rakyat hanya menjadi objek dari berbagai kebijakan yang sering kali tidak berpihak pada mereka. Hukum, yang seharusnya menjadi jalan keadilan, justru dipolitisasi dan digunakan untuk kepentingan pihak-pihak yang ingin memperkuat posisi mereka dalam perebutan kekuasaan.

Lalu, di manakah letak moralitas dalam sistem politik kita? Apakah moral hanya menjadi hal yang diperjuangkan oleh orang-orang biasa, sementara para elit tetap dibiarkan bebas dari segala bentuk pertanggungjawaban? Ini adalah pertanyaan yang semakin sering muncul di benak masyarakat. 

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila, kita seharusnya tidak hanya melihat politik sebagai sebuah taktik untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi juga sebagai jalan untuk menciptakan keadilan sosial yang berlandaskan pada moralitas yang kuat.

Kesimpulannya, elit politik di negeri ini semakin jauh dari tanggung jawab moral mereka. Keputusan-keputusan yang diambil lebih sering didorong oleh kepentingan pribadi dan kekuasaan daripada oleh tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. 

Ketika para elit terus berperang dan saling mengancam, kita tidak hanya kehilangan kepercayaan terhadap mereka, tetapi juga terhadap sistem yang mereka kelola. Jika kita ingin memperbaiki negara ini, maka diperlukan upaya bersama untuk mengembalikan moralitas dalam politik, memperkuat hukum yang adil, dan menciptakan keamanan sosial yang bukan hanya berpihak pada segelintir orang, tetapi untuk semua rakyat Indonesia. (*)

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.