Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti sejumlah kejanggalan dalam kasus penembakan bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Merak Tangerang pada Kamis (2/1/2025) yang melibatkan tiga oknum TNI AL.
Menurut Fahmi kasus tersebut menyisakan sejumlah kejanggalan yang patut dicermati lebih jauh.
Pertama, kata dia, soal penggunaan dan pemilikan senjata api oleh pelaku.
Menurutnya penting untuk memastikan apakah senjata api yang digunakan oleh pelaku merupakan senjata dinas atau bukan.
Ia mengatakan bila senjata tersebut adalah senjata dinas maka hal itu memunculkan pertanyaan besar mengenai bagaimana senjata tersebut bisa digunakan di luar tugas resmi.
"Prosedur penggunaan senjata dinas biasanya diawasi sangat ketat, termasuk dalam hal amunisi. Pelaku mestinya menghadapi risiko tinggi jika menggunakan senjata dinas untuk tindakan yang tidak sah," kata Fahmi saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (7/1/2025).
Namun jika senjata tersebut ternyata tidak sah atau ilegal, menurut dia, maka pelaku dapat dikenai sanksi berat berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
"Ini juga membuka dugaan lain, yaitu apakah ada potensi pelaku memiliki akses ke jaringan pemasok senjata ilegal, yang tentu harus diselidiki lebih lanjut," sambung dia.
Kejanggalan kedua, ungkap Fahmi, TNI AL telah membantah adanya keterlibatan institusional prajuritnya dalam kasus penggelapan mobil ini.
Namun, menurut dia, hal itu perlu diungkap dengan bukti kuat apakah pelaku hanya berperan sebagai pembeli kendaraan 'bodong' atau ada kaitan lebih jauh, misalnya sebagai bagian dari jaringan penggelapan.
"Jika benar pelaku hanya sebagai pembeli, pertanyaan logisnya adalah mengapa pelaku sampai menggunakan kekerasan bersenjata? " ujarnya.
"Sebagai aparat bersenjata, pelaku sebenarnya memiliki posisi yang cukup untuk menekan atau meminta pengembalian uang dari penjual atau penadah jika kendaraan tersebut akhirnya lepas dari tangannya," Fahmi menambahkan.
Menurut dia selain itu, sebagai pembeli, pelaku mestinya memahami risiko hukum dari membeli kendaraan hasil penggelapan, termasuk kemungkinan kendaraan disita sewaktuwaktu.
"Sikap agresif ini menimbulkan dugaan adanya hubungan yang lebih kompleks antara pelaku dan pihak lain dalam jaringan ini," lanjut Fahmi.
Ketiga, ia mengatakan penggunaan senjata api untuk menghadapi warga sipil khususnya dalam konteks penggelapan mobil tersebut, jelas sangat tidak proporsional.
Menurutnya hal itu mencerminkan pelanggaran serius terhadap etika profesi dan disiplin militer.
Langkah itu menurut dia harus ditelusuri lebih lanjut, apakah dilakukan secara spontan atau merupakan bagian dari tindakan yang sudah direncanakan.
"Dari kejanggalankejanggalan ini, investigasi mendalam menjadi kunci untuk mengungkap motif sebenarnya, memastikan tidak ada upaya menutupnutupi, serta menegakkan keadilan," kata Fahmi.
Menurut Fahmi langkah pertama yang harus dilakukan adalah investigasi mendalam oleh TNI AL agar kasus itu tetap transparan dan mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Ia berpendapat komitmen untuk mengungkap fakta secara menyeluruh sangat penting, dan investigasi internal tersebut harus dilakukan secara profesional, memastikan bahwa setiap pelanggaran prosedur atau disiplin dapat diungkap dan ditindak sesuai aturan.
Selain itu, menurut dia, penting bagi TNI AL untuk mempublikasikan hasil penyelidikan kepada publik.
Fahmi memandang Kronologi kejadian, buktibukti yang ditemukan, serta hasil investigasi internal harus disampaikan secara terbuka untuk menjawab spekulasi dan dugaan yang mungkin timbul.
"Transparansi semacam ini penting untuk menunjukkan bahwa institusi berkomitmen menjaga integritas dan profesionalismenya," kata Fahmi.
"Kasus ini juga menjadi momentum bagi TNI AL untuk mengevaluasi kembali prosedur pengawasan terhadap penggunaan senjata api oleh prajuritnya, baik dalam tugas resmi maupun di luar tugas. Praktik pengawasan ketat harus diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan senjata api di masa mendatang," lanjut dia.
Dari sisi peradilan, menurut Fahmi, kasus penembakan itu dapat diproses melalui mekanisme acara koneksitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHAP.
Dalam mekanisme ini, ia berpendangan, pelaku dari peradilan sipil dan militer dapat diadili di pengadilan umum, meskipun keputusan akhir mengenai yurisdiksi berada di tangan Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum.
Menurutnya, meski banyak pihak mendorong agar kasus ini disidangkan di peradilan umum demi menjamin transparansi.
Namun penting untuk diingat bahwa peradilan militer juga memiliki kapasitas untuk menangani kasus berat dengan pengawasan ketat.
Untuk itu ia mencontohkan kasus penembakan Dirut PT Asaba, Budhyarto Angsono, pada 2003 oleh oknum TNI AL.
Dalam kasus tersebut, ungkapnya, meskipun disidangkan di peradilan militer, prosesnya berjalan secara transparan dan berhasil mengungkap fakta secara menyeluruh, termasuk motif serta peran masingmasing pelaku.
Pengadilan militer dalam kasus tersebut, lanjut dia, juga menunjukkan ketegasan dengan menjatuhkan hukuman berat kepada para pelaku, termasuk hukuman mati.
Salah satu pelaku, catat Fahmi, Letda Syam Ahmad Sanusi sempat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer, tetapi akhirnya ditembak mati saat melawan dalam upaya penangkapan.
Sementara itu, juga menurut catatannya, pelaku lai yakni Kopda Suud Rusli yang divonis mati oleh Mahkamah Militer, berhasil ditangkap kembali dan hingga kini menunggu eksekusi hukuman mati.
Pengejaran dan penangkapan dramatis saat itu, menurutnya, menunjukkan komitmen aparat untuk menegakkan hukum, meskipun prosesnya penuh risiko.
Selain itu, bagi Fahmi, kasus tersebut memberikan pelajaran penting bahwa peradilan militer mampu menangani kasus berat dengan baik jika ada komitmen tegas dari institusi TNI untuk memastikan keadilan ditegakkan.
Namun, sambungnya, pengawasan internal yang kuat dan transparansi kepada publik tetap menjadi faktor penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
"Untuk kasus penembakan di Tol TangerangMerak ini, TNI khususnya TNI AL harus menunjukkan komitmen penuh dalam mengungkap fakta dan menindak pelaku, sebagaimana dilakukan dalam kasus 2003," kata dia.
"Jika sidang tetap dilakukan di peradilan militer, prosesnya harus berjalan secara profesional dan transparan, dengan fokus utama pada pengungkapan fakta, termasuk dugaan adanya jaringan beking dalam penggelapan mobil ini," ujarnya.
"Hal ini penting agar tidak hanya pelaku, tetapi juga pihakpihak lain yang terlibat dalam jaringan tersebut dapat terungkap dan diproses sesuai hukum," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya Pangkoarmada RI Laksamana Madya TNI Denih Hendrata menyatakan senjata yang digunakan oleh oknum TNI AL dalam kasus penembakan bos rental mobil di KM 45 Rest Area Tol Merak Tangerang pada tanggal 2 Januari 2025 berstatus resmi atau organik.
Senjata yang digunakan untuk menembak korban tewas Ilyas Abdurahman dan korban luka Ramli adalah senjata inventaris yang melekat pada salah satu tersangka oknum TNI AL yakni Sertu AA.
AA, disebut berasal dari Satuan Kopaska Armada I yang mendapatkan tugas sebagai ADC atau ajudan.
"Sehingga ketika dia dapat tugas, itu sudah SOP senjata itu melekat. Kemudian, tadi sudah dijawab bahwa ini sudah SOP, ada surat perintahnya segala macam. Kemudian, ya tentu bukan senjata rakitan," kata dia saat konferensi pers di Mako Koarmada RI Jakarta Pusat pada Senin (6/1/2025).
Dia mengatakan untuk itu pihaknya akan melakukan evaluasi terkait penggunaan senjata di jajarannya.
Akan tetapi, Denih menjelaskan senjata itu seharusnya digunakan untuk pengamanan diri dan atasan AA.
"Untuk evaluasi nanti kita akan evaluasi bagaimana ke depan terkait dengan senjata api," tegas dia.
Dia menduga senjata tersebut terpaksa digunakan untuk melindungi dari dugaan pengeroyokan saat kejadian.
Menurut dia, kejadian dugaan pengeroyokan itulah yang membuat situasi tersebut menjadi situasi hidup dan mati antara para anggota TNI AL dan rombongan pemilik rental mobil.
"Tapi sebetulnya karena pengeroyokan kan tidak berpikir risiko kalau misalnya orang yang dikeroyok itu mati. Ya nggak? Ya kan? Apalagi mungkin karena tentara juga yang sudah dilatih bagaimana faktor kecepatan, insting segala macam. Kan kita sering dengar kill or to be killed. Ya kan?" lanjutnya.
Ia juga menegaskan pihaknya berkomitmen menghormati proses hukum yang ada dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Selain itu Denih juga menegaskan komitmen TNI AL untuk mengusut kasus tersebut secara transparan.
Denih juga mengaku tak segansegan untuk menindak tegas prajurit yang terbukti bersalah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlakum
"TNI AL sangat menghormati proses hukum, dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dalam penjelasan ini tidak ada yang ditutuptutupi, semua terbuka. Kami ingin menegaskan sikap TNI AL, bahwa siapapun anggota kami bila terbukti bersalah kami akan tindak tegas sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku di TNI," ucap dia.
Selain itu, Denih mengatakan pihaknya akan mendatangi rumah duka untuk mengucapkan belasungkawa langsung kepada keluarga korban.
Denih juga mengatakan pihaknya akan memberikan santunan kepada keluarga korban terkait kejadian tersebut.
"Jadi sekali lagi tentu saja belasungkawa dan mungkin nanti ada bantuan untuk bisa kami berikan kepada mereka," kata dia.
Pusat Polisi Militer TNI AL (Puspomal) menetapkan tiga oknum anggota TNI AL sebagai tersangka dalam kasus penembakan bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Merak Tangerang pada Kamis (2/1/2025) dini hari.
Ketiga tersangka yakni Sertu AA, Sertu RH, dan Klk BA.
Kedua tersangka berasal dari Satuan Kopaska Armada I dan satu tersangka lainnya merupakan awak KRI Bontang (907).
Danpuspomal Laskda TNI Samista mengatakan ketiganya saat ini telah ditahan di fasilitas penahanan Puspomal.
Ketiganya akan menjalani proses penahanan sementara untuk proses penyidikan selama 20 hari sejak Sabtu (4/1/2025).
Namun demikian, Samista belum menjelaskan lebih jauh terkait pasal apa yang disangkakakan kepada ketiganya.