TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman dan Evi Novida Ginting, Rabu (15/1/2025).
Keduanya diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan suap yang menjerat eks caleg PDIP Harun Masiku dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Baik Arief Budiman maupun Evi Novida sama-sama mengaku tidak ada hal baru yang disampaikan mereka kepada tim penyidik seputar kasus Hasto kristiyanto dan Harun Masiku.
"Ada 29 pertanyaan. Sama seperti waktu lima tahun lalu, sama persis enggak ada yang baru," ucap Arief kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Arief juga menyebut penyidik tidak menanyakan nama lain terkait proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR 2019–2024.
Dia mengatakan, penyidik KPK hanya fokus terhadap perkara Harun Masiku.
"Enggak sih kalau yang nama baru enggak ada. Enggak, tetap fokus ke yang Harun Masiku saja," ujarnya.
Kemudian Evi Novida Ginting juga menyatakan tidak ada informasi baru yang disampaikan kepada penyidik.
"Semuanya sama ya, apa yang dengan yang lalu dan tidak ada sesuatu (yang baru), sama aja kayak tahun 2021," ucap Evi.
Evi juga enggan menjawab pertanyaan apakah pemeriksaannya untuk pengembangan keterangan Sekjen PDIP Hasto Kristoyanto.
"Ya tanya saja KPK," kata dia.
Untuk diketahui, Hasto Kristiyanto telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus yang melibatkan buronan eks calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku.
Pertama, Hasto bersama advokat PDIP bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka kasus dugaan suap mengenai penetapan PAW anggota DPR periode 2019–2024.
Kedua, Hasto ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice.
Adapun suap diduga dilakukan agar Harun ditetapkan sebagai anggota DPR melalui proses PAW. Caranya adalah dengan menyuap komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan. Nilai suapnya mencapai Rp600 juta.
Suap itu dilakukan oleh Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Harun Masiku, dan Saeful Bahri.
Suap kemudian diberikan kepada Agustiani Tio Fridelina dan juga Wahyu Setiawan.
Sementara itu, terkait dengan perkara dugaan perintangan penyidikan, Hasto melakukan serangkaian upaya seperti mengumpulkan beberapa saksi terkait Masiku dengan mengarahkan para saksi itu agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.
Tak hanya itu, pada saat proses tangkap tangan terhadap Masiku, Hasto memerintahkan Nur Hasan–seorang penjaga rumah yang biasa digunakan sebagai kantornya–untuk menelepon Harun Masiku supaya merendam ponselnya dalam air dan segera melarikan diri.
Kemudian, pada 6 Juni 2024, atau 4 hari sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi terkait Harun Masiku, ia juga memerintahkan stafnya yang bernama Kusnadi untuk menenggelamkan gawai milik Kusnadi agar tidak ditemukan oleh KPK.
Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b dan Pasal 21 atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam perkembangannya, KPK mencegah Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly bepergian ke luar negeri selama enam bulan.
Pada Selasa, 7 Januari 2025, tim penyidik juga sudah menggeledah dua rumah Hasto di Bekasi, Jawa Barat dan Kebagusan, Jakarta Selatan. Dari sana penyidik menyita alat bukti surat berupa catatan dan barang bukti elektronik.