Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 2024: Sebuah Manifestasi Regresi Demokrasi
Bintang Corvi Diphda January 17, 2025 11:23 PM
Dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019), dijelaskan bahwa demokrasi bisa mati secara perlahan melalui langkah-langkah bertahap atau disebabkan oleh adanya kudeta. Kematian demokrasi yang bertahap sering kali sulit disadari karena terjadi secara perlahan, seperti melalui terpilihnya pemimpin yang cenderung otoriter, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, penindasan terhadap oposisi, dan dominasi dalam proses pencalonan pemilu.
Sementara itu, Juan Linz dalam tulisannya The Breakdown of Democratic Regimes (1978) menyoroti bahwa perilaku politisi dapat menjadi faktor penting dalam memperkuat atau justru melemahkan demokrasi. Linz mengidentifikasi empat ciri perilaku yang mengancam demokrasi: menolak aturan main demokratis baik secara eksplisit maupun implisit, menyangkal legitimasi lawan politik, mentoleransi atau bahkan mendorong kekerasan, serta menunjukkan kecenderungan membatasi kebebasan sipil.
Dalam konteks Indonesia, khususnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena kotak kosong menjadi salah satu indikator regresi demokrasi yang berlangsung secara perlahan.
Memang proses kontestasi pilkada sudah usai, dan saat ini kiranya langkah paling tepat adalah move on dan menatap masa depan. Namun, kiranya perlu bagi kita semua untuk sejenak berkontemplasi, melirik bagaimana nilai demokrasi dalam pilkada serentak lalu ini, sudah terejawantahkan dengan baik atau tidak.
Pada pilkada serentak lalu, proses demokratis dalam pemilihan kepala daerah yang seharusnya ditujukan untuk memperkuat partisipasi masyarakat dan mendorong demokrasi yang lebih substansial malah menghadapi tantangan serius. Ketika pilkada hanya diikuti calon tunggal, ruang kompetisi politik yang seharusnya menjadi ciri utama demokrasi menjadi sirna. Hal ini kemudian menciptakan kondisi di mana pilihan masyarakat semakin terbatas dan kompetisi gagasan dalam demokrasi dapat tergerus.
Fenomena kotak kosong di pilkada sendiri baru pertama kali muncul pada pilkada 2015, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pilkada tetap dapat dilaksanakan meskipun hanya ada satu pasangan calon. Dalam putusan tersebut, MK juga menetapkan bahwa pemilih diberikan alternatif dengan menambahkan kotak kosong sebagai pilihan pada surat suara.
Sejak saat itu, kotak kosong terus menjadi fenomena yang berulang di berbagai pilkada berikutnya, termasuk pada tahun 2017, 2018, dan 2020. Berdasarkan informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada pilkada 2024, terdapat 37 pasangan calon tunggal yang akan berhadapan dengan kotak kosong. Angka ini hampir meningkat dua kali lipat dibandingkan pilkada 2020, yang mencatat 25 pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong.
Melansir dari laporan Freedom House, indeks demokrasi Indonesia menurun dari 62 poin ke 53 poin selama 2019-2023. Begitu juga Lembaga Reporters Without Borders (RSF) memberi skor kebebasan pers Indonesia turun dari 63,23 poin pada 2019 ke 54,83 poin pada 2023. Dalam konteks tersebut, fenomena kotak kosong menjadi salah satu cerminan regresi demokrasi di Indonesia.
Meskipun secara prosedural demokrasi tetap berjalan melalui pemilu, substansi demokrasi yakni partisipasi, kompetisi, dan akuntabilitas semakin tergerus. Pilkada dengan calon tunggal menggambarkan gejala demokrasi yang kian formalistis, di mana ruang untuk memperdebatkan visi dan program politik menjadi semakin terbatas, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi dapat terancam dalam jangka panjang.
Fenomena kotak kosong juga menciptakan distorsi dalam partisipasi politik. Pemilih dihadapkan pada situasi yang serba terbatas, memilih satu-satunya calon yang tersedia atau memilih kotak kosong, yang sering kali dianggap sebagai bentuk protes simbolis. Pilihan ini tidak memberikan ruang deliberasi yang memadai bagi masyarakat untuk mengevaluasi visi, program, dan kapabilitas alternatif. Akibatnya, proses politik kehilangan esensi utamanya sebagai sarana representasi dan artikulasi kepentingan publik, sekaligus melemahkan semangat partisipasi aktif warga negara.
Fenomena pemimpin yang terpilih melalui kotak kosong juga menimbulkan persoalan terkait legitimasi dan kepercayaan publik. Tidak adanya kompetisi antar paslon membuat kemenangan calon tunggal bisa dianggap tidak merepresentasikan aspirasi masyarakat secara utuh. Pemilih tidak diberikan pilihan alternatif yang nyata, sehingga banyak yang merasa bahwa proses pemilu menjadi sekadar formalitas. Kondisi ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemilu dan institusi demokrasi, di mana warga mulai mempertanyakan apakah suara mereka benar-benar berpengaruh dalam menentukan pemimpin daerah.
Di sisi lain, keberagaman aspirasi politik masyarakat juga terancam oleh dominasi calon tunggal. Dalam situasi tanpa pilihan alternatif, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi visi, misi, dan program yang lebih inovatif dari calon lain. Hal ini tidak hanya melemahkan potensi inovasi dalam kepemimpinan daerah, tetapi juga mendorong apatisme politik di kalangan pemilih. Ketika pemilih merasa bahwa suara mereka tidak berdampak pada hasil pemilu, partisipasi politik dapat menurun, yang pada akhirnya semakin melemahkan fondasi demokrasi di tingkat lokal.
Maka dari itu, fenomena kotak kosong dalam pilkada serentak 2024 menjadi cerminan nyata dari regresi demokrasi di Indonesia, di mana ruang kompetisi politik yang sehat semakin menyempit. Dalam konteks ini, demokrasi menghadapi tantangan serius karena tidak lagi mampu memberikan representasi yang beragam dan menciptakan mekanisme akuntabilitas yang kuat. Jika fenomena ini terus berlanjut, risiko menurunnya legitimasi institusi demokrasi dan meningkatnya apatisme politik di kalangan masyarakat akan semakin mungkin terjadi.
Sehingga, masa depan demokrasi Indonesia menuntut reformasi mendasar terhadap sistem elektoral agar fenomena kotak kosong tidak lagi menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi. Salah satu langkah penting adalah merevisi aturan verifikasi calon untuk memberikan peluang yang lebih luas bagi kandidat independen dan calon alternatif. Proses pencalonan yang lebih inklusif, seperti menurunkan batas minimal dukungan administrasi dan membuka akses pendanaan yang lebih transparan, dapat mendorong munculnya kandidat baru yang kompeten. Selain itu, desain ulang sistem dukungan partai, termasuk aturan yang membatasi monopoli koalisi besar, perlu dipertimbangkan untuk menciptakan kompetisi yang lebih seimbang.
Sebagai penutup, untuk menjaga integritas demokrasi, langkah-langkah reformasi sistemik sangat mendesak. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang adil, transparan, dan terbuka, di mana pemilih memiliki akses ke berbagai pilihan politik yang kredibel. Keberhasilan reformasi ini tidak hanya bergantung pada elite politik, tetapi juga pada peran aktif masyarakat sipil, media, dan pemilih itu sendiri dalam mendorong perubahan. Maka dari itu, dengan kolaborasi semua pihak, Indonesia dapat menghindari jebakan regresi demokrasi dan membangun sistem politik yang lebih inklusif, partisipatif, dan representatif untuk masa depan demokrasi yang lebih baik.