Mitos Gunung Gede Pangrango: Mistis, Logika, dan Perspektif Pendaki
Muhamad Nurviqri January 22, 2025 11:33 PM
Mendaki merupakan kegiatan yang banyak digemari oleh orang Indonesia, aktivitas ini kerap dilakukan oleh kebanyakan masyarakat salah satunya karena biaya yang dikeluarkan untuk mendaki masih terbilang cukup terjangkau dibandingkan dengan kegiatan traveling lainnya. faktor lain yang membuat kegiatan mendaki cukup populer di Indonesia karena negeri ini dianugerahi oleh bentang alam yang sangat menakjubkan, dikutip dari laman resmi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia setidaknya memiliki total 127 gunung api atau sekitar 13% jumlah gunung api di dunia. Dengan jumlah gunung yang sangat banyak tersebut, tak ayal kegiatan mendaki menjadi kegiatan yang populer di masyarakat dewasa ini.
Selain para pendaki, aktivitas mendaki gunung juga kerap dilakukan oleh peziarah. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang umum di kalangan masyarakat Indonesia, tujuan ziarah pun beragam, mulai dari menjalin hubungan dengan penunggu gunung, mencari ilmu, hingga tujuan spiritual lainnya. Kegiatan ziarah ke sejumlah gunung di Indonesia mencerminkan bahwa masih banyak masyarakat yang memegang kepercayaan pada hal-hal yang bersifat mistis, atau yang disebut Tan Malaka sebagai Logika Mistika. Tradisi ini masih kuat bertahan karena sejak dahulu masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan alam. Kepercayaan terhadap hal-hal mistis menjadi cara mereka memahami fenomena alam, mengingat pada masa lalu teknologi dan pengetahuan belum cukup berkembang untuk memberikan penjelasan rasional.
Andre Parkusip (21), salah satu pendaki yang kami wawancarai, menjelaskan bahwa mendaki adalah kegiatan yang menyenangkan dan memberikan pengalaman baru. Selain menikmati pemandangan dari puncak gunung, ia juga menyukai aktivitas ini karena memberi kesempatan untuk mengamati kehidupan masyarakat lokal di kaki gunung yang sangat berbeda dengan kehidupan di perkotaan tempat ia tumbuh.
Salah satu gunung yang cukup populer di kalangan pendaki yaitu Gunung Gede. Berdasarkan informasi dari situs resmi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Gunung Gede Pangrango merupakan gunung berapi kerucut tipe A yang tidak aktif dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Gunung Gede terletak di wilayah tiga kabupaten, yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Posisi strategisnya menjadikan gunung ini salah satu tujuan favorit para pendaki, selain daya tarik keindahan alamnya yang memukau.
Gunung ini memiliki ketinggian antara 1.000 hingga 2.962 mdpl, dengan koordinat geografis 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Suhu di puncak rata-rata mencapai 13°C pada siang hari, sedangkan malam hari berkisar sekitar 5°C. Saat musim kemarau, suhu bisa turun hingga -1°C. Curah hujan tahunan di kawasan ini berkisar antara 3.600 hingga 4.000 mm. Akses utama ke Gunung Gede melalui jalur Cibodas dan Cipanas (Gunung Putri) di bagian utara, serta jalur Salabintana di bagian selatan yang lebih jarang dilalui pendaki.
Sejarah dan Mitos Gunung Gede
Gunung Gede merupakan salah satu gunung berapi yang terkenal di Indonesia dan menjadi tujuan utama bagi para pendaki dan wisatawan. Berdasarkan informasi dari Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sekitar 32 ribu pendaki mengunjungi kawasan ini setiap tahunnya pada 2024. Gunung yang terletak di pertemuan lempeng Eurasia dan Oceanik ini memiliki sejarah geologi yang panjang, termasuk 24 letusan dalam 150 tahun terakhir. Letusan pertama tercatat pada tahun 1747 di Kawah Lanang, yang menghasilkan aliran lava yang kini menjadi sumber air panas, sebuah daya tarik wisata yang masih ada hingga sekarang. Letusan besar lainnya terjadi pada tahun 1840, menambah catatan aktivitas vulkanik Gunung Gede yang kini menjadi bagian dari kawasan taman nasional di Jawa Barat.
Data Jumlah Pengunjung Gunung Gede Pangrango. Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
zoom-in-whitePerbesar
Data Jumlah Pengunjung Gunung Gede Pangrango. Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Selain keindahan alam dan jejak geologinya, Gunung Gede juga dihiasi dengan cerita-cerita mistis yang semakin memperkaya daya tariknya. Salah satu legenda terkenal adalah Alun-alun Surya Kencana, yang dipercaya sebagai tempat tinggal Pangeran Surya Kencana dan keluarganya. Beberapa pendaki sering melaporkan mendengar suara kuda berlari di malam hari, menambah suasana mistis yang sulit dijelaskan. Tempat ini juga dianggap sebagai lokasi persembunyian Prabu Siliwangi saat kerajaannya diserang oleh kesultanan Islam, memberikan dimensi sejarah dan spiritual yang mendalam pada Gunung Gede.
Kisah-kisah tersebut tercatat dalam naskah kuno Sunda, yang menyebut Gunung Gede sebagai Hulu Wano Na Pakuan atau "puncak tertinggi di Pakuan." Gunung ini diyakini dilindungi oleh makhluk gaib seperti Eyang Jayakusuma, Mbah Kadok, dan Eyang Jayarahmatan. Di sekitar air terjun Cibereum, terdapat petilasan berupa batu yang diyakini terkait dengan Eyang Haji Mintarsa, seorang pertapa sakti yang menambah nuansa magis kawasan ini.
Seakan tidak puas dengan informasi yang kami peroleh melalui internet, kami memutuskan untuk melakukan wawancara mendalam dengan porter, penduduk lokal, dan dua pendaki, salah satunya yang percaya pada mitos, sementara yang lainnya tidak. Ini dilakukan untuk memperoleh data primer guna analisis yang lebih komprehensif.
Kepercayaan lokal juga menghasilkan sejumlah pantangan dan larangan tertentu. Salah satunya adalah larangan membawa daging mentah ke Gunung Gede. Hendri (42), seorang porter berpengalaman, menceritakan pengalamannya memanggang sate di pos 4. Meskipun sudah dimasak, daging tersebut terasa hambar dan keras, seolah kehilangan esensinya. Hendri menjelaskan bahwa penghuni gaib Gunung Gede diyakini memakan inti daging tersebut, meninggalkan hanya cangkangnya. Larangan ini juga didukung oleh Jujun Junaedi (45), seorang penduduk lokal, yang menambahkan bahwa melanggar pantangan ini dapat memicu kejadian-kejadian aneh yang tak dapat dijelaskan secara logis.
Dokumentasi Wawancara dengan Warga Lokal (Kiri) dan Porter (Kanan) Gunung Gede, 26/02/2024. Foto: Habibunnajar (Olahan Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Wawancara dengan Warga Lokal (Kiri) dan Porter (Kanan) Gunung Gede, 26/02/2024. Foto: Habibunnajar (Olahan Penulis)
Mitos lain yang kami temukan di lapangan adalah mitos Batu Dondang. Igit (21), salah satu pendaki, mengungkapkan keyakinannya terhadap mitos ini. Menurut cerita, Batu Dondang diyakini memiliki kekuatan untuk mengabulkan keinginan jika seseorang berhasil memeluk batu tersebut dari ujung ke ujung hingga kedua tangannya bertemu.
Gunung Gede bukan hanya tempat untuk menikmati keindahan alam, tetapi juga menjadi ruang untuk memahami sejarah, mitos, dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Perpaduan antara keindahan alam, nilai spiritual, dan budaya lokal menjadikan Gunung Gede sebagai destinasi yang unik dan penuh makna.
Logika Mistika
Konsep Logika Mistika dalam Buku MADILOG Karya Tan Malaka (Halaman 32-44). Foto: Muhamad Nurviqri (Olahan Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Konsep Logika Mistika dalam Buku MADILOG Karya Tan Malaka (Halaman 32-44). Foto: Muhamad Nurviqri (Olahan Penulis)
Dalam bukunya Madilog (1942-1943), Tan Malaka mengamati bahwa masyarakat Indonesia sering menggabungkan kepercayaan terhadap hal-hal gaib dengan logika sehari-hari. Ia menyebut pola pikir ini sebagai "logika mistika," yang masih bertahan hingga kini, terutama dalam mitos yang melingkupi tempat-tempat seperti Gunung Gede. Tan Malaka menulis bahwa bangsa Indonesia sering kali menganggap berbagai peristiwa di dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan gaib.
Pandangan ini, menurut Tan, menjadi penghambat kemajuan bangsa. Logika mistika lebih mengandalkan kekuatan tak kasatmata seperti mantra dan doa daripada solusi berbasis ilmu pengetahuan. Fenomena ini masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat modern yang percaya pada cerita mistis dan ritual tradisional, termasuk di Gunung Gede.
Tan Malaka mengusulkan untuk beralih dari logika mistika ke filsafat, dan akhirnya mencapai ilmu pengetahuan. Ia menekankan bahwa selama bangsa Indonesia terjebak dalam logika mistika, kemerdekaan sejati dan pembangunan rasional akan sulit terwujud. Dalam konteks budaya Indonesia yang masih kental dengan kepercayaan mistis, seperti yang terlihat di Gunung Gede, tulisan Tan Malaka seakan mengingatkan agar kita tidak sepenuhnya tunduk pada pandangan mistis yang menghalangi perkembangan rasional dan ilmiah.
Tragedi Pendaki dan Keterkaitannya dengan Hipotermia
Tragedi yang menimpa para pendaki di gunung sering kali beragam, mulai dari hilang di gunung, tersesat di jalur pendakian, hingga hipotermia yang dapat berujung pada kematian. Salah satu insiden yang cukup menjadi perhatian adalah kematian seorang pendaki bernama Lasmianto. Berdasarkan laporan Tempo.co, peristiwa ini terjadi pada Minggu, 23 Juli 2023, di jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Korban ditemukan tak bernyawa oleh rekan-rekannya sekitar pukul 06.00 WIB saat sedang beristirahat di pos 3 pendakian. Lasmianto, yang berusia 49 tahun, merupakan bagian dari rombongan berjumlah 29 orang yang melakukan ritual di Gunung Lawu selama bulan Suro. Kepala Resor Pemangkuan Hutan (KRPH) Sarangan, Magetan, Supriyanto, menyebutkan bahwa Lasmianto diduga mengalami hipotermia, karena tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya. Selain itu, ia juga disinyalir memiliki riwayat penyakit.
Kejadian lain yang menjadi misteri hingga kini adalah hilangnya Surya Ibrahim Dompas, seorang siswa SMAN 82 Jakarta, pada tahun 1989 di Gunung Gede. Surya bersama rombongannya memutuskan untuk turun melalui jalur Gunung Putri, namun ia tidak pernah ditemukan. Tragedi ini meninggalkan kesan mendalam bagi warga setempat. Jujun Junaedi, salah satu penduduk lokal, mengingat dengan jelas peristiwa tersebut.
Hipotermia, menurut penelitian oleh Mardiana Firdausi, dkk, merupakan penyebab utama kecelakaan dan kematian dalam pendakian gunung. kondisi ini terjadi ketika suhu tubuh seseorang turun di bawah 35°C, yang menyebabkan kerusakan sel-sel tubuh dan beresiko fatal. Selain hipotermia, dehidrasi dan suhu ekstrem selama oergantian musim atau pancaroba juga dapat memicu halusinasi yang membahayakan keselamatan pendaki.
Ilustrasi saat mengalami Hipotermia. Foto:iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi saat mengalami Hipotermia. Foto:iStock
Dalam mengahadapi kondisi ini, pendaki disarankan untuk selalu mempersiapkan diri dengan baik, mulai dari asupan kalori yang cukup, pemahaman kemampuan fisik, hingga kewaspadaan terhadap cuaca yang berubah-ubah. Jika kondisi tidak memungkinkan, sangat penting bagi pendaki untuk membatalkan perjalanan demi keselamatan.
Sejalan dengan hipotesis Mardiana Firdausi, dkk, Hendri juga menyatakan bahwa kebanyakan kasus terjadi karena Hipotermia, maka sudah seharusnya para pendaki yang memulai pendakian untuk mengutamakan persiapan yang lebih matang seperti, persiapan fisik, logistik serta mental yang kuat sebelum memulai pendakian, dibanding dengan fokus pada hal-hal mistis yang bisa mengganggu fokus pada keselamatan pendaki itu sendiri.
Sebagai porter berpengalaman, Hendri menyebutkan bahwa langkah pertama yang sering ia lakukan untuk menangani pendaki yang mengalami hipotermia adalah memberikan makanan. Menurutnya, salah satu penyebab hipotermia adalah keterlambatan makan. Namun, ia juga mengungkapkan bahwa pendaki yang mengalami hipotermia kerap menolak makanan, sehingga terkadang ia harus memaksa mereka untuk makan demi mengembalikan energi tubuh mereka.
Pengaruh Mitos Di Gunung Gede Terhadap Pendaki
Alun-Alun Surya Kencana Gunung Gede. Foto: Muhamad Defan Fahreza (Olahan Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Alun-Alun Surya Kencana Gunung Gede. Foto: Muhamad Defan Fahreza (Olahan Penulis)
Keberadaan mitos di Gunung Gede Pangrango memiliki dampak positif dan negatif yang beragam. Dari sisi positif, mitos yang menyakralkan kawasan tertentu, seperti Alun-Alun Suryakencana atau air terjun Cibereum, mampu mendorong pendaki untuk menjaga perilaku mereka. Para pendaki cenderung menghindari tindakan merusak alam, seperti memetik bunga edelweiss atau membuang sampah sembarangan, karena rasa hormat terhadap cerita yang berkembang. Hal ini membantu menjaga kelestarian ekosistem Gunung Gede . Selain itu, mitos juga menanamkan rasa hormat terhadap alam dan budaya lokal serta melestarikan tradisi masyarakat sekitar, yang menjadi bagian penting dari identitas budaya. Cerita-cerita ini bahkan menarik minat wisatawan yang ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah dan kepercayaan masyarakat setempat, memberikan potensi ekonomi bagi penduduk lokal.
Andre Parkusip mengungkapkan bahwa mitos juga memiliki dampak positif. Ia mencontohkan bagaimana cerita-cerita tentang keberadaan penunggu gaib di suatu lokasi sering digunakan pada masa lampau untuk mencegah orang memasuki wilayah tertentu. Misalnya, cerita seperti "jangan masuk ke sana karena ada penunggunya" dapat membuat orang berpikir dua kali sebelum memasuki kawasan cagar alam. Hal ini efektif dalam menghalangi individu yang mungkin nekat melanggar batasan kawasan yang dilindungi.
Meskipun saat ini cerita semacam itu mungkin kurang relevan bagi sebagian orang, Andre menjelaskan bahwa tujuan utama dari mitos-mitos tersebut adalah menjaga keasrian dan kelestarian suatu tempat, seperti kawasan cagar alam yang dihormati oleh masyarakat adat.
Menurut Andre, esensi dari mitos-mitos tersebut bukanlah semata-mata untuk dipercaya, melainkan untuk melindungi lingkungan dan memastikan kelangsungan ekosistemnya.
Namun, mitos juga memiliki sisi negatif. Cerita-cerita ini bisa menimbulkan ketakutan atau kecemasan bagi sebagian pendaki, terutama jika terjadi sesuatu yang dianggap melanggar kepercayaan tersebut. Miskonsepsi terhadap mitos juga bisa berkembang menjadi takhayul yang tidak rasional, di mana fokus lebih kepada ritual daripada pemahaman logis untuk menjaga alam. Beberapa pendaki yang tidak menghormati mitos bisa memperlakukan tempat- tempat sakral sebagai objek hiburan semata, sehingga berpotensi merusak budaya lokal. Selain itu, konflik antara kepercayaan tradisional dan pandangan modern dapat muncul, terutama jika mitos dianggap tidak relevan atau tidak logis, sehingga aturan yang sebenarnya bertujuan melindungi lingkungan tidak dihormati.
Mitos dan cerita mistis di gunung memang sudah jadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman mendaki. Ada yang percaya, ada yang cuma menganggapnya sebagai cerita hiburan, tapi satu hal yang pasti: cerita-cerita tersebut bisa memberi warna dan rasa tertentu saat kita mendaki. Gunung Gede, dengan segala keindahannya, juga punya cerita-cerita yang sudah turun-temurun dipercaya. Itu jadi bagian dari warisan budaya dan kepercayaan lokal yang harus kita hargai. Tapi, jangan sampai cerita mistis itu malah bikin kita lebih fokus sama rasa takut yang gak penting.
Yang perlu diingat adalah keselamatan. Mitos mungkin bisa jadi pengingat untuk lebih menjaga sikap dan menghormati alam, tapi keselamatan diri kita sendiri jauh lebih penting. Bukan hanya soal fisik yang siap untuk melewati medan, tapi juga mental yang siap menghadapi berbagai tantangan, termasuk ancaman-ancaman yang mungkin datang secara tiba-tiba. Jangan cuma mikirin hal-hal yang gak rasional atau mitos yang belum tentu benar. Kita perlu siap dengan pengetahuan dan keterampilan dasar pendakian yang benar, serta peralatan yang lengkap.
Pendakian itu bukan hanya tentang mencapai puncak dan menikmati pemandangan, tapi lebih tentang perjalanan yang kita jalani dan bagaimana kita menghargai alam dan budaya sekitar kita. Mitos-mitos yang berkembang di sekitar gunung bisa menjadi bagian dari tradisi dan pelajaran tentang pentingnya menjaga alam, tapi jangan sampai kita terjebak dalam ketakutan yang tidak logis. Pendakian itu seharusnya jadi pengalaman yang membawa kita untuk lebih paham, lebih bijak, dan lebih menghormati alam dengan cara yang rasional dan aman.
Jadi, meskipun kita tidak selalu harus percaya pada semua mitos yang ada, kita tetap harus menghormati dan memahaminya sebagai bagian dari budaya dan kepercayaan yang ada di sekitar kita. Namun yang lebih penting adalah berpikir secara rasional, mempersiapkan diri dengan baik sebelum mendaki, dan pastikan kita selalu menjaga keselamatan. Jangan sampai kita lebih fokus sama hal-hal mistis yang belum tentu benar, sementara yang lebih penting, seperti persiapan fisik dan mental, malah terabaikan. Ingat, perjalanan itu bukan cuma tentang sampai ke puncak, tapi juga bagaimana kita bisa belajar dan bertumbuh sepanjang perjalanan itu. Jadi, selalu utamakan keselamatan, jaga sikap, dan nikmati setiap momen pendakian dengan bijak.
Rasanya amat sangat tepat jika tulisan ini kami tutup dengan mengutip pernyataan Dzawin Nur, seorang komika sekaligus kreator konten yang sering membuat vlog pendakian di kanal YouTube Vindes pada 16 Januari 2023.
Tulisan ini ditulis oleh Muhamad Nurviqri, Muhamad Defan Fahreza, Habibunnajar, dan Dika Rangga Saputra.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.