BPHTB Tarif Progresif sebagai Solusi Hunian Terjangkau di Ibu Kota
Nadhir Faisal January 31, 2025 04:03 PM
DKI Jakarta menghadapi tantangan serius dalam penyediaan hunian layak dan terjangkau bagi warganya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang memiliki hunian milik sendiri pada tahun 2023 hanya mencapai 56,67% dan masih berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 84,79%. Angka tersebut diprediksi akan terus menurun mengingat laju pertumbuhan populasi yang diiringi dengan semakin terbatasnya lahan di ibu kota. Di sisi lain, data rumah tangga dengan kepemilikan properti selain yang ditinggali sangat kontras dengan data sebelumnya. Pada tahun 2023, persentase rumah tangga di Jakarta memiliki rumah lain selain yang ditinggali mencapai 15,07% atau mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang berada di angka 12,17%.
Fenomena ini menandakan adanya ketimpangan dalam kepemilikan rumah yang turut mendorong naiknya harga properti di ibu kota. Di sisi lain, rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal tetapi juga menjadi instrumen investasi bagi segelintir kelompok. Kondisi ini memperparah keterbatasan hunian yang dapat diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, diperlukan intervensi kebijakan fiskal untuk membatasi kepemilikan rumah berlebih sekaligus mendukung upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta, salah satunya melalui optimalisasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan skema tarif progresif berdasarkan jumlah kepemilikan properti.
Pemprov DKI Jakarta saat ini menerapkan tarif tetap BPHTB sebesar 5% yang tertuang dalam Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dasar pengenaan BPHTB tersebut ialah nilai perolehan objek pajak (NPOP) yang dikurangi dengan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) yang bervariasi. Sebagai contoh, besarnya nilai NPOPTKP bagi perolehan properti pertama di wilayah ibu kota sebesar Rp250.000.000 dan bagi hibah atau warisan sebesar Rp1.000.000.000.
Pemberian NPOPTKP bagi kepemilikan pertama merupakan bentuk insentif bagi masyarakat untuk mendapatkan hunian layak yang terjangkau karena beban pajak yang bukan berada di pihak penjual melainkan pembeli. Akan tetapi, perlakuan bagi kepemilikan rumah kedua dan seterusnya masih sama dan belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pola konsumsi properti masyarakat. Oleh karena itu, penerapan BPHTB tarif progresif berdasarkan jumlah kepemilikan diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan backlog di ibu kota.
BPHTB progresif merupakan kebijakan yang mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi pada perolehan hak atas tanah dan bangunan berdasarkan jumlah properti yang dimiliki. Penerapan BPHTB progresif di DKI Jakarta dapat memberikan dua manfaat utama. Pertama, kebijakan ini dapat menjadi instrumen untuk membatasi spekulasi properti dan kepemilikan rumah berlebih oleh individu atau kelompok tertentu. Dengan tarif yang lebih tinggi untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya, masyarakat akan lebih selektif dalam melakukan pembelian rumah, sehingga pasokan hunian dapat lebih merata dan terjangkau bagi warga yang benar-benar membutuhkan.
Kedua, penerapan BPHTB progresif akan meningkatkan penerimaan daerah melalui PAD. Sebagai salah satu sumber penerimaan utama bagi pemerintah daerah, optimalisasi BPHTB progresif dapat memberikan tambahan dana yang signifikan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan penyediaan fasilitas publik lainnya di DKI Jakarta. Sebagai informasi, realisasi BPHTB di DKI Jakarta pada tahun 2024 mencapai Rp 6,1 triliun dan masih dapat ditingkatkan di masa mendatang.
Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Singapura dan Inggris telah berhasil menerapkan kebijakan pajak properti progresif untuk mendorong keadilan sosial dan mengontrol pasar properti yang tidak terkendali. Walaupun istilah penerapan BPHTB tidak dikenal secara internasional, Singapura telah menerapkan Additional Buyer’s Stamp Duty dan Inggris dengan Additional Stamp Duty Land Tax sebagai bagian dari pajak progresif atas kepemilikan properti yang serupa dengan BPHTB.
Kenaikan tarif di Inggris pada setiap pembelian properti kedua dan seterusnya biasanya berada di angka 5%. Bahkan, persentase nilai pajak yang harus dibayar penduduk Singapura pada kepemilikan properti kedua meningkat drastis menjadi 30% dari pembelian pertama yang hanya berada di angka 5%. Dengan adanya tambahan pajak, minat untuk membeli properti kedua menurun sehingga menekan kenaikan harga properti di beberapa daerah tertentu sekaligus memberikan kesempatan kepada rumah tangga yang menginginkan kepemilikan hunian pertamanya. Sebagai contoh, kenaikan harga rumah di Inggris berdasarkan data Nationwide Building Society melambat dari rata-rata 6% per tahun menjadi 3-4% pada kurun waktu 2016-2018 karena pengaruh Additional SDLT.
Pada dasarnya, penerapan BPHTB progresif di DKI Jakarta merupakan langkah strategis untuk menjawab permasalahan keterbatasan hunian layak dan terjangkau, sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah. Kemandirian dan desentralisasi fiskal sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) dapat menjadi peluang bagi daerah untuk memaksimalkan potensi daerah meskipun di sisi lain terdapat tantangan. Penerapan tarif BPHTB telah ditetapkan maksimal sebesar 5% berdasarkan Pasal 47 (1) UU HKPD yang berlaku secara nasional.
Angka tersebut tergolong kecil dengan mempertimbangkan jumlah kepemilikan rumah kedua dan seterusnya di ibu kota yang cukup tinggi dan peraturan tersebut perlu dievaluasi kembali. Dengan mempertimbangkan keberhasilan pada negara Inggris dan Singapura, penerapan BPHTB progresif dapat dilakukan di Jakarta dengan menaikan tarif sebesar 5% pada setiap pembelian rumah berikutnya sehingga tarif BPHTB menjadi 5%, 10%, 15%, dan seterusnya bergantung pada jumlah kepemilikan yang ada. Akan tetapi, tarif tersebut tetap mempertimbangkan jenis transaksi seperti hibah atau warisan menggunakan skema NPOPTKP yang telah berlaku sebelumnya untuk mencegah dampak negatif terhadap kelompok masyarakat yang mendapat properti secara cuma-cuma dari warisan atau hibah.
Kebijakan penerapan BPHTB tarif progresif harus dirancang dengan cermat, melibatkan masyarakat dalam prosesnya, dan memastikan setiap langkahnya berlandaskan prinsip keadilan. Pengaturan tarif pajak yang proporsional menjadi salah satu aspek kunci untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya efektif dalam mengurangi spekulasi properti, tetapi juga tetap melindungi masyarakat berpenghasilan rendah yang benar-benar membutuhkan hunian layak. Di samping itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada sistem administrasi yang transparan dan efisien. Digitalisasi sistem pajak serta penggunaan basis data yang kredibel menjadi syarat mutlak untuk mendukung akurasi dan meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat. Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga perlu melakukan sosialisasi secara intensif agar masyarakat memahami tujuan utama dari kebijakan ini, yaitu menciptakan hunian yang lebih merata sekaligus menekan laju kenaikan harga properti yang tidak terkendali.
Lebih jauh, keberhasilan pelaksanaan BPHTB progresif tidak hanya ditentukan oleh pengelolaan pajak semata, tetapi juga memerlukan sinergi dengan kebijakan perencanaan tata ruang dan pengendalian properti di ibu kota. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini berjalan selaras dengan upaya menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Selain itu, integrasi data antarinstansi seperti Dinas Pendapatan Daerah, Badan Pertanahan Nasional, dan lembaga keuangan menjadi langkah strategis untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan atau manipulasi data kepemilikan properti. Dengan dukungan sistem yang solid dan penerapan yang konsisten, BPHTB progresif tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan daerah yang dapat dialokasikan untuk pembangunan, tetapi juga menjadi solusi nyata dalam mewujudkan hunian yang lebih adil dan merata bagi warga Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2023). Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan. Jakarta: BPS.
HM Revenues & Customs. (2024, October 30). Guidance Higher rates of Stamp Duty Land Tax. Retrieved from GOV.UK: https://www.gov.uk/guidance/stamp-duty-land-tax-buying-an-additional-residential-property
Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). (n.d.). Additional Buyer's Stamp Duty (ABSD). Retrieved from Singapore Government Agency Website: https://www.iras.gov.sg/taxes/stamp-duty/for-property/buying-or-acquiring-property/additional-buyer's-stamp-duty-(absd)
Pemerintah Republik Indonesia. (2022). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024. (2024). Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: Sekretariat Daerah.
Tobing, A. G. (2025, January 7). Realisasi Pajak Daerah Jakarta Tahun 2024 Capai Rp44,46 Triliun. Retrieved from berita jakarta: https://m.beritajakarta.id/read/141805/realisasi-pajak-daerah-jakarta-tahun-2024-capai-rp4446-triliun