Ramadhan sebentar lagi... Banyak orang yang mengaku rindu, aku pun juga begitu. Siapa pula yang tak rindu dengan kehangatan di bulan Ramadhan... Kehangatan yang di mulai setiap pagi buta dengan kegiatan membangunkan orang sahur bersama-sama dan kemudian sahur bersama keluarga. Selanjutnya, kehangatan itu semakin terasa dalam kegiatan sehari-hari dengan tambahan dahaga, lapar dan syahwat yang mencekam. Namun, tetap harus di tahan hingga matahari tergelincir dari singgahsananya. Sebelum matahari tergelincir, makin sempurnalah kehangatan dengan kegiatan ngabuburit atau melintasi jalanan yang penuh dengan para pedagang yang menyajikan aneka dagangan. Di lain sisi, terdapat pula yang melakukan kegiatan berbagi antar sesama. Bahkan, non muslim pun ikut ambil andil. Begitu sempurna kehangatan Ramadhan, begitu paripurna juga gotong royongnya.
Namun, kerap melintas secercah tanya... Apakah gotong royong kita hanyalah 30 hari dalam 365 hari? Apakah gotong royong kita akan bangkit pada momen-momen tertentu? Bisa jadi demikian. Mari kita berkenalan dulu dengan seperangkat alat pemicu gotong royong.
Pertama, terdapat bahasa yang bisa menghubungkan orang-orang dari berbagai daerah, ambil contoh bahasa arab yang menjadi bahasa umat Islam yang dapat menjadi penghubung untuk berkomunikasi ketika berada di Mekkah misalnya. Meskipun, beberapa hanya bisa mengerti "Assalamualaikum", "Waalaikumsalam", "Ya Ahmad" (untuk memanggil orang asing). Lalu, ambilah contoh lagi di Indonesia ini, yang berbahasa nasional Indonesia yang bertujuan untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai daerah, Ras dan Etnis untuk bercengkrama.
Kedua, Simbol. Tidak mungkin sebuah masyarakat yang bergotong royong tak memiliki simbol. Contoh dalam Islam, Ka'bah misalnya. Yang menjadi simbol sebuah arah (kiblat) untuk sholat. Sebuah bangunan yang memiliki nilai historis yang secara turun temurun di ceritakan. Kemudian, ambilah contoh di Indonesia... Merah Putih, Garuda dan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi kebanggan. Lalu, masih terdapat ribuan simbol di daerah-daerahnya. Simbol, suatu benda, bangunan atau hal-hal lainya yang dapat merangkum visi, misi, dan cerita historis yang dapat menjalin dan memperkuat persatuan.
Bermodalkan dua hal ini... Masyarakat dapat dipersatukan menjadi sebuah negara atau agama. Tak saling mengenal dan tak pernah bertegur sapa, Namun, bersedia membalas ketika salah satunya terluka. Itulah yang menjadi rintangannya.
Bukanlah hal yang mudah untuk tetap utuh ketika bersatu... Persatuan dari beberapa daerah, RAS dan agama. Masing-masing golongan memiliki kelekatan emosional antar internal golongan. Maka, pengadilanlah yang menjadi kuncinya. Namun, golongan-golongan tersebut mengirimkan masing-masing satu delegasi untuk menjadi hakim di pengadilan. Ok, masing-masing hakim tak bisa memutuskan dakwaan atau terdakwa dalam suatu hal karena terdakwa berasal dari golonganya. Maka di lakukanlah voting, yang menang adalah yang banyak, belum tentu benar... Yang sedikit pun demikian. Bisalah yang sedikit itu memang asalkan beruang dan bersedia membayar. Namun, tak semua mau di bayar.
Kalau begitu adanya, persatuan adalah perintang kebenaran. Namun, perintang tersebut tentulah dapat kita tantang. Sebab, jika tak bersatu akan makin mudah untuk di hancurkan. Pilihannya ialah berperang dengan orang luar atau berperang dengan orang dalam secara diam-diam.
Lihatlah apa yang di tulis Sukarno "Emosi, Organisasi kemudian Revolusi."
Bahasa persatuan berikutnya ialah Musuh. Musuh membuat kita misuh... Musuh membuat kita kukuh. Pilihlah yang menjadi musuh kita ialah yang menjadi perintang persatuan, yang merugikan orang lain, yang menghisap, yang menyebarkan berita tak benar. Itulah yang menjadi musuh kita. Subtasinya ialah, yang menjadi musuh kita adalah perilaku dan tindak-tanduk buruk manusia. Barulah kita sampai ke Gotong Royong itu.