[EDISI IMLEK]
Etnis Tionghoa sudah kadung dicap sebagai pengusaha. Tak banyaknya pilihan membuat mereka fokus di dunia usaha. Pun ketika bersinggungan dengan dunia film. Mereka menjadi pengusaha bioskop atau pemilik perusahaan film. Berkat film-film mereka, Indonesia diakui kedaulatannya oleh PBB.
Penulis: Yds Agus Surono untuk Majalah Intisari edisi Februari 2022 -- judul aslinya "Rekaman Mereka Berbuah Pengakuan Kedaulatan"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -“Tahun 1930-an sudah mulai masuk era film bicara. Sebelumnya film masih bisu. Hindia Belanda tentu pengin merasakan teknologi itu,” kata Umi Lestari, dosen Jurusan Film dan Animasi, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten.
Tapi, tambahnya, mendatangkan peralatan yang bisa membuat film bicara itu mahal. “Nah, The Tek Chun (salah satu produser film saat itu – Red.) berinisiatif membuat teknologi film bicara bekerja sama dengan teknisi dan pengajar bernama Lemmens dari Technische Hoogeschool di Bandung (sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung - Red.).”
Meski inovasi itu hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan, apa yang dilakukan The Teng Chun merupakan sedikit sumbangsih etnis Tionghoa (peranakan) dalam dunia perfilman Indonesia saat itu.
Meski banyak yang berperan sebagai produser, namun beberapa dari mereka merangkap pula sebagai sutradara. Entah sebagai produser maupun sutradara, yang jelas, peranakan Tionghoa punya sumbangsih besar terhadap sejarah perfilman Indonesia.
Beberapa sutradara bumiputera juga lahir dari tangan-tangan mereka. Umi menyebut beberapa nama seperti Nawi Ismail yang pernah menyutradarai film-film Warkop, Sofia WD (film pertamanya Badai Selatan produksi Ibukota Film pada 1960), Bachtiar Effendy (Nyai Dasima, 1931), serta Andjar Asmara (film pertama yang disutradarainya Kartinah).
Di samping The Teng Chun, kiprah etnis Tionghoa dalam perfilman di Indonesia pada masa kolonial dan masa revolusi diwakili oleh Wong Bersaudara (Nelson Wong, paling tua, kemudian Joshua Wong, dan Othniel Wong) serta Tan Khoen Hian yang mendirikan Tan’s Film.
“Eksperimentatif,” begitu Umi menyimpulkan peran etnis Tionghoa tadi dalam satu kata.
Tempat magang
Baik Wong bersaudara maupun The Teng Chun pernah bersinggungan dengan pusat film dunia di Hollywood, AS. Nelson Wong misalnya, malah pernah ikut terlibat dengan kegiatan produksi film di sana. Nelson, anak tertua Wong bersaudara, dikirim ke California, AS, oleh ayahnya, Pendeta Keliling Wong Siong Tek agar menjadi penerus sebagai pendeta seperti dirinya.
Alih-alih menekuni teologi, Nelson malah lebih tertarik untuk berkelana di Hollywood. Bahkan dia sempat magang pada D.W. Griffith dan menjadi pembantu juru kamera dalam pembuatan The Musketeers of Pig Alley (filmindonesia.or.id).
Sedangkan The Teng Chun dikirim ke AS untuk belajar ilmu ekonomi pada 1920-an agar bisa meneruskan usaha orangtuanya. “Tapi setelah sampai Amerika dia main-main ke Hollywood dan dari Amerika mampir ke Shanghai dulu belajar membuat film pada 1930-an. Baru balik ke Batavia. Di Batavia dia bilang ke bapaknya untuk bisnis impor film saja. Keuntungan dari bisnis ini dipakai untuk bikin film,” kata Umi.
Ketika membuat film di Hindia Belanda tentu kondisinya berbeda dengan di Amerika atau Eropa. Teknologinya tentu beda juga. Untuk menyiasati perbedaan itulah mereka dituntut untuk kreatif dan eksperimentatif.
Misalnya bagaimana menggunakan seluloid di daerah tropis. “Kan cukup susah ya itu. Dan mereka cukup berhasil untuk mereka-reka agar seluloid bisa dipakai di sini,” ujar Umi.
Eksperimen lain dilakukan untuk menebak pasar sehingga film yang mereka buat laku. Saat itu film-film Hollywood sudah masuk, namun pangsa pasarnya tentu kalangan atas. Nah, untuk masyarakat bawah bagaimana film yang pas buat mereka?
Mereka juga punya studio yang cukup aktif pada saat itu. Ini termasuk hal yang susah juga. Lewat studio itu juga terjadi transfer knowledge. Juga memperkenalkan pola berjenjang untuk sebuah posisi.
Untuk mencapai job desk tertentu harus sudah melakukan apa saja. Sistem yang dikembangkan saat itu adalah learning by doing karena pendidikan formal untuk itu belum ada.
“Sudah dipupuk sama sutradara-sutradara atau studio-studio ini. Dan learning by doing ini tetap dipakai di tahun 1970-an sampai 1980-an,” jelas Umi.
Mereka berpikiran bahwa pengetahuan soal film itu cukup eksklusif. Lewat kerja studio mereka itulah pengetahuan itu tersebar. Banyak sutradara bumiputera yang belajar tentang film dari studio-studio milik etnis Tionghoa ini.
“Bachtiar Effendy adalah pribumi pertama yang memegang job desk sebagai sutradara. Dia bekerja di rumah produksi Tan’s Film,” Umi memberi contoh.
Dalam filmindonesia.or.id., begini sedikit biografi Bachtiar Effendy: Lahir di Roma. Pendidikan: Sempat duduk di bangku AMS. (Sedikit anak Pribumi pada masa itu yang sanggup sekolah sampai tingkat itu).
Orang tuanya menginginkan anak ini menjadi Sarjana Hukum. Tapi Bachtiar lebih tertarik terjun ke film. Bahkan dia bersedia memulai sebagai pekerja kasar, pembantu bagian dekor di Studio Tan’s Film.
Mulai berkesempatan main dalam Si Ronda (1930) kemudian dalam Melatie van Agam (1930) merangkap sebagai Pembantu Sutradara. Keduanya film bisu. Ketika tahun berikutnya studio ini pertama membuat film bicara, Nyai Dasima (1931), Bachtiar sudah menjadi sutradara penuh.
Potongan-potongan film
Mengutip dari buku Misbach Yusa Biran, Film Indonesia 1900 – 1950, Umi menyatakan kalau mereka (etnis Tionghoa – Red.) aktif di film sejak 1920.
“Sebelumnya bisa jadi sudah ada tapi lebih ke arah distribusi. Pelayanan,” kata Umi. Sejak dibukanya gedung bioskop pertama di Batavia (The Rojal Bioscope) pada 1900, dalam waktu beberapa tahun kemudian bermunculan gedung-gedung bioskop baru di daerah Batavia dan Surabaya.
Hampir 85% bioskop yang ada di Hindia Belanda sampai dengan tahun 1927 adalah milik para pengusaha keturunan Cina.
Perlu diperhatikan bahwa pada awal perkembangan film Indonesia, belum ada film cerita yang dibuat di Indonesia. Film yang beredar untuk pribumi pun bukanlah film utuh.
Akan tetapi kumpulan bermacam potongan film yang disambung menjadi satu. Potongan film itu merupakan hasil gunting sensor Komisi Sensor Film.
Para pedagang Cina yang memiliki bioskop berhasil menguasai potongan-potongan itu dan dijahit menjadi “film aneka rupa” untuk menarik keuntungan dari masyarakat. Film pun tak lebih sebagai barang dagangan.
Film cerita pertama yang dibuat di Indonesia adalah film Loetoeng Kasaroeng, bikinan L. Heuveldorp dan G. Krugers di Bandung. Film garapan 1926 di bawah naungan Java Film Company ini menampilkan cerita rakyat daerah Priangan (Jawa Barat).
Film tersebut diproduksi menggunakan peralatan seadanya. Ceritanya pun dibuat secara sederhana. Namun, film ini bisa dibilang meledak di pasaran, sampai diputar enam hari berturut-turut dari 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927.
Pada 1928, barulah Wong Bersaudara (Nelson, Joshua, dan Othnil) membuat film Lily van Java lewat perusahaan film bernama Halimun Film di Surabaya. Film ini tergolong sukses dan Halimun Film berubah menjadi Batavia Motion Picture dan pindah ke Jakarta.
Film produksi Batavia Motion Picture tercatat antara lain Melatie van Java (1928), Si Conat (1929), dan Si Pitung (1932).
Tak berselang lama setelah Halimun Film berdiri, Tan Khoen Hian mendirikan Tan’s Film di Batavia. Film hasil produksi perusahaan ini antara lain, Melatie van Agam (1930), Siti Akbari (1937), Fatima (1937), Rukihati (1938), dan Gagak Hitam (1939).
Pada 1930 The Teng Chun, seorang Cina peranakan lainnya, mendirikan Cino Motion Pictures Corporation. Setelah besar nama perusahaan itu berubah menjadi The Java Industrial Film Co.
Film produksinya yaitu San Pek Eng Tay (1930), Bunga Roos dari Tjikembang (1930), Delapan Wanita Jelita (1932), dan Delapan Jago Pedang (1933).
Pada 1940 jumlah perusahaan film semakin bertambah banyak, antara lain: Oriental Film, Union Film, Populer Film, Majestic Film Coy, dan The Film Coy.
Oriental Film memproduksi film Keris Mataram (1941), Zubaedah, dan Pancawarna, Union Film membuat film Kedok Ketawa, The Film Coy menggarap film Asmara Murni, Populer Film memproduksi film Mustika dari Jenar, Bunga Semboja, dan 1001 Malam (1942).
Pada era Hindia Belanda sebagian besar produser memang etnis Tionghoa, hanya Krugers saja yang merupakan orang Eropa. Namun selama pendudukan Jepang, semua perusahaan film milik etnis Tionghoa ditutup.
“The Teng Chun mengalami masa kelam saat pendudukan Jepang (1942-1945) ketika studionya ditutup. Saat Jepang masuk Hindia Belanda, semua studio milik etnis Peranakan ditutup,” kata Umi.
Ditutup Jepang
Meski berorientasi dagang, beberapa etnis Tionghoa itu memberi warna dan meletakkan dasar-dasar perfilman Indonesia di kemudian hari.
The Teng Chun, dalam membuat film tentu memikirkan bagaimana memperoleh keuntungan agar studionya bisa tetap bisa membikin film. Akan tetapi, seperti dibilang Umi tadi, dia selalu bereksperimen dengan narasi-narasi yang dibangunnya lewat film yang digarap.
Ketika cerita persilatan disukai masyarakat etnis Tionghoa dan pribumi, The Teng Chun mencoba memasukkan folklor lokal setelah suksesnya film Terang Boelan. Itu terlihat pada film Nyai Dasima.
“Dia mengangkat folklor lokal yang sudah diketahui banyak orang di Batavia. Dia sudah tahu bagaimana mengubah folklor yang sudah diketahui umum ke dalam film. Punya formula seperti itu,” tutur Umi.
“Tapi di sisi lain The Teng Chun masih memproduseri film-film genre silat. Juga unsur horor. Kayak tengkorak hidup gitu. Oleh sebagian peneliti dianggap sebagai film horor paling awal di Hindia Belanda.”
Beberapa rumus film The Teng Chun pun diadopsi “muridnya”. Sebut saja Nawi Ismail ketika menggarap Dono, Kasino, Indro yang tergabung dalam Warkop DKI.
Adegan slapstick seperti orang yang iseng mengambil kursi ketika orang mau duduk, kemudian orang itu jatuh dan gerr … pernah dipakai The Teng Chun dalam film yang dia produseri.
“Sama Nawi dipakai di film Benyamin Tukang Ngibul,” kata Umi sambil menambahkan bisa jadi The Teng Chun terinspirasi dari film-film Charlie Chaplin mengingat dia pernah belajar ke Amerika pada 1920-1930an.
Pada awal-awal film cerita dibuat, aspek sinematografis belum diperhatikan. Lebih menonjolkan cerita dan adegan-adegan daripada unsur-unsur sinematografi.
Untuk menutupi sisi itu, maka pada saat itu produser banyak merekrut orang-orang seni pertunjukan ke timnya.
Sisi sinematografis baru dilirik ketika Wong Bersaudara membuat film Pareh (1934). Film yang dibintangi Rd. Mochtar dan sentuhan sutradara Mannus Franken ini banyak dibicarakan orang pada waktu itu karena segi artistiknya. Namun menurut Umi, film Pareh gagal di Hindia Belanda meski sukses di Eropa.
Era Jepang etnis Tionghoa harus berubah haluan karena studio-studio mereka ditutup. Wong bersaudara berusaha di bidang pembuatan kecap.
Dalam buku Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, H. Misbach Yusa Biran menuliskan bahwa begitu Jepang memegang negeri ini, mereka menutup semua studio film yang ada, yang kesemuanya milik Cina, kecuali satu milik Belanda, Multi Film.
“Alasan pertama adalah agar jangan digunakan untuk membuat film yang anti-Jepang. Kedua, pastilah Jepang tidak percaya kepada para produser film yang seluruhnya adalah Cina Peranakan, yang budayanya tidak menentu dan oleh karenanya, mereka diragukan akan bisa memahami semangat perjuangan yang sedang dilakukan oleh Jepang,” tulis Biran.
Baru setelah masa kemerdekaan mereka aktif kembali di dunia film.
“Wong Bersaudara menarik perhatian karena bergabung dengan Berita Film Indonesia. Di masa revolusi itu Wong Bersaudara mengikuti Soekarno ke mana-mana,” terang Umi.
“Bersama-sama teman BFI merekam peristiwa-peristiwa penting seperti rapat Ikada, mural-mural di jalanan ibukota medio Agustus - September 1945. Ikut Soekarno juga pas pindah Jogja. Nah saat suasana sudah tenang, film-film mereka dijadikan bukti ke PBB. Gara-gara film mereka itu Indonesia diakui kedaulatannya oleh PBB di tahun 1949. Secara tidak langsung mereka berkontribusi juga dalam menegakkan kedaulatan RI ini.”
Etnis Tionghoa kembali
Selepas masa revolusi, Wong Bersaudara merger dengan Tan’s Film milik Tan Khoen Youw menjadi Tan&Wong Bros. Dalam buku Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, Biran menulis bahwa studio Tan&Wong Bros terletak di daerah Legok, Bidara Cina.
Film yang dihasilkan studio ini tidak jauh berbeda pendekatannya dengan film yang mereka buat sebelum Jepang datang. Pemain andalan adalah Sofia, pendatang baru yang diharapkan menjadi pengganti Roekiah (1917 – 1945), bintang cemerlang sebelum Jepang datang yang dikontrak Tan’s Film.
Dalam masa ini pula, The Teng Chun kembali ke dunia film Indonesia dengan membawa nama Bintang Soerabaja yang didirikan bersama Fred Young. Studionya memakai studio Java Industrial Film milik Chun yang merupakan studio terbesar dan terlengkap pada masa sebelum perang.
“Nama Bintang Soerabaja diambil dari nama grup sandiwara milik Fred Young, yang amat populer pada masa pendudukan Jepang. Para pemainnya juga mengambil dari pemain sandiwara Bintang Soerabaja,” tulis Biran.
Fred Young dan The Teng Chun sama-sama Tionghoa peranakan dan anak orang kaya. Bapak Fred adalah pengusaha bioskop di Malang dan Surabaya.
Mereka berteman saat sekolah di San Fransisco, AS. Keduanya punya idealisme meski tetap dipengaruhi jiwa dagang yang besar.
Kemunculan Tan&Wong dan Bintang Soerabaja tak lepas dari beroperasinya kembali perusahaan Belanda South Pacific Film Corporation, serta ramainya orang menonton film buatan negeri. Penduduk butuh hiburan, sementara film dari luar masih sedikit yang masuk.
Beroperasinya dua studio itu memicu pemain lama muncul kembali. Muncullah kemudian Indonesian Film Coy yang didirikan oleh Touw Teng Iem di Bandung, Golden Arrow yang didirikan Cho’ Chin Hsin di daerah Pasar Senen yang kelak melahirkan sutradara terkenal Wim Umboh, Studio Olympiad di Mangga Besar yang didirikan oleh anak muda Cina Liu Kwan Hun (LK Hasanudin), serta Garuda Film di Kebayoran Lama.
Biran menambahkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan film tentu memiliki studio sendiri. Di dalamnya terdapat tempat pengambilan gambar, laboratorium tempat mencuci dan mencetak film, serta ruang editing.
Tempat pengambilan gambar ini berupa bangunan semacam gudang besar dengan tata lampu dan perekaman suara yang terintegrasi. Nah, produser yang tak punya studio disebut freelance producer.
Gegap gempitanya dunia film saat itu akhirnya memunculkan perusahaan film pribumi pada 1950, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan Perseroan Artis Film Indonesia (Persari).
Perfini didirikan oleh Usmar Ismail dkk pada 30 Maret 1950. Film pertamanya adalah Darah dan Doa. Di Perfini berkumpul seniman muda idealis (Usmar sendiri waktu itu berumur 29 tahun) yang ingin membuat pembaruan dalam film di Indonesia.
Pada akta notaris pendirian Perfini disebutkan maksud mendirikan perusahaan film ini adalah “… ikut membina kebudayaan nasional Indonesia, terutama kesenian film nasional bermutu internasional.”
Sementara Persari didirikan oleh Djamaluddin Malik beberapa bulan setelah Perfini berdiri.
Sejak itu bermunculan perusahaan film pribumi tak hanya di Jawa namun juga Sumatra. Ada NV Radial Film di Medan, Anai Film di Padang, Palembang Film di Palembang, serta Murni Film di Jambi.
Perfilman Indonesia pun mulai merangkak mencari identitas diri. Keluar dari identitas film sebelumnya yang kurang jelas, “karena ceritanya tiruan dari film Cina, Amerika, atau dipungut dari mana saja,” tulis Misbach Yusa Biran dalam bukunya.