JAKARTA - Di era modern ini, persaingan di dunia kerja semakin ketat. Teknologi terus berkembang dengan cepat, dan keterampilan yang dibutuhkan di tempat kerja juga berubah dengan cepat.
BACA JUGA - Profil CEO TikTok Shou Zi Chew yang Larang Anaknya Bermain TikTok Oleh karena itu, penting bagi seseorang yang sedang mencari pekerjaan untuk membekali diri dengan keterampilan yang relevan dan diminati oleh pasar.
Peran dari para content creator masih diperhitungkan di dalam kegiatan pemasaran. Hal ini yang dilihat oleh platform penghubung antara influencer dan brand, PopStar.
Perusahaan pun menyoroti perbedaan algoritma untuk para brand yang mengerahkan influencer marketing di Instagram dan di TikTok.
Perusahaan melihat, ekosistem ini influencer marketing di Indonesia masih akan terus bertumbuh, khususnya di tingkatan nano dan micro influencer.
Segmen ini menjadi elemen kunci untuk sebuah strategi influencer marketing yang sukses di TikTok. Hal ini diungkapkan oleh Yosuke Fukada, CEO PopStar saat menggelar acara eksklusif yang mengumpulkan para micro-nano influencer.
“Kami melihat hampir semua anak muda Gen Z Indonesia punya passion untuk membuat konten dan memberikan impact ke sekitarnya. Di sisi lain, banyak brand yang kesulitan mencari nano dan micro influencer. Di sini, platform kami berperan,” ujar Yosuke Fukada di Jakarta Jumat (31/1/2025).
Pria yang akrab disapa Kyon ini juga menyebut bahwa pasar Indonesia merupakan pasar kedua setelah mereka hadir di Filipina. Selanjutnya, ekspansi akan diteruskan ke Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
“Ekspansi akan kami lakukan karena ekosistem content creator ini sangat potensial dan memiliki kreativitas yang tinggi,” ujar pria yang akrab disapa Kyon ini.
Kyon menambahkan, micro-nano influencer ini kian populer. Ia melihat saat ini banyak anggaran dari pemasaran digital perusahaan yang bergeser alih ke micro-nano influencer. Bahkan beberapa brand hanya berfokus ke micro-nano influencer karena melihat mega influencer dinilai mahal dan beberapa di antara mereka memberikan dampak yang tidak sesuai nilainya.
“Para pemasar akan selalu melihat angka dari biaya dan KPI atau hasil yang diberikan oleh para influencer. Di beberapa case, para brand melihat bahwa performa dari micro-nano ini lebih baik ketimbang mega dan macro influencer dan mulai agreasif ke micro-nano influencer,” lanjutnya.
Menurutnya, kekuatan micro-nano ini terletak pada kreativitas konten yang jumlahnya yang jika menggunakan anggaran untuk menunjuk macro dan mega influencer, para brand bisa mendapatkan micro-nano influencer dengan jumlah yang jauh lebih banyak dan hasil yang lebih besar.
“Fenomena ini sering terjadi di TikTok dengan algoritmanya yang melihat jumlah dari konten. Konten di TikTok ini seperti sedang audisi untuk menjadi FYP. Bedanya dengan Instagram, influencer is the king, tapi di TikTok content is the king. Sebab itu, bagi pemasar yang ingin mengerahkan influencer marketing di TikTok, number of content is very important,” imbuh Kyon.
Teruslah beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan tren pasar kerja untuk tetap relevan dan kompetitif. Belajar melalui kursus online, pelatihan, atau belajar mandiri bisa menjadi langkah awal yang baik untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan ini.