DPR Banjir Kritik usai Revisi Tatib Bisa Copot Pejabat Negara, Dianggap Tak Paham Tata Negara
GH News February 06, 2025 07:04 AM

Banjir kritik dilontarkan berbagai pihak kepada DPR usai merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib).

Kritik tersebut usai DPR menambahkan satu pasal yaitu Pasal 228A yang dinilai membuat lembaga legislatif tersebut bisa mengevaluasi pejabat negara dan memberikan rekomendasi yang bersifat mengikat.

Berbagai pihak menafsirkan ketika DPR semisal merekomendasikan pemberhentian atau pencopotan terhadap salah satu pejabat negara, maka hal tersebut harus dilakukan oleh lembaga terkait.

Adapun hal tersebut tertuang dalam Pasal 228 A ayat 2 yang berbunyi: 

"Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku," demikian bunyi dari pasal tersebut.

Di sisi lain, penambahan pasal dalam Tatib dinilai bisa merusak ketatanegaraan karena seharusnya aturan tersebut hanya mengikat dalam lingkup internal DPR.

Namun, saat ini usai ada revisi aturan tersebut, maka DPR dianggap bisa mencampuri 'dapur' lembaga negara lain.

Berbagai pihak pun kini mengkritik keras revisi aturan yang disahkan secepat kilat tersebut.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menganggap revisi Tatib hingga membuat DPR bisa mengevaluasi pejabat negara 'ngaco'.

Menurutnya, aturan Tatib tersebut hanya mengatur internal DPR saja, alihalih bisa digunakan untuk eksternal.

"Ini menurut IPW ngaco, ya! Kita harus melihat yurisdiksi yang disebut dengan tata tertib, kekuatan berlaku aturan tatib itu hanya berlaku untuk internal DPR RI di dalam mengatur mekanisme kerja mereka," katanya kepada Tribunnews.com, Rabu (5/2/2025).

Sugeng mengatakan memang DPR bisa untuk menyampaikan sebuah rekomendasi kepada mitranya jika dirasa ada yang salah.

Namun, imbuhnya, rekomendasi tersebut tidak bersifat mengikat terhadap mitra yang dievaluasi.

"Misalnya, ada dia (DPR) punya catatan untuk mencopot Jaksa Agung karena dinilai kinerja lemahnya. Kan, harus ada ukuran bukan penilaian politis."

"Atau, ada ukuran pelanggaran hukum. Kalau pelanggaran kinerja kan debatable dan ukurannya jelas," tegas Sugeng.

Sugeng juga menegaskan bahwa jika memang semisal DPR merekomendasikan ada pejabat tinggi negara perlu dicopot seperti Jaksa Agung atau Kapolri, maka hal tersebut dilaporkan kepada Presiden dan bukannya melakukannya sendiri.

Dia menilai ketika aturan ini akhirnya dipraktekan, maka evaluasi atau penilaian terhadap pejabat tinggi negara lebih bersifat politis alihalih obyektif.

Selain itu, aturan revisi Tatib ini dianggap bakal merusak konstitusi.

"Ini permainan politik. Keputusankeputusan politik menjadi lebih kuat daripada norma hukum itu sendiri. Ini bisa rusak negara ke depan kalau seperti ini."

"Bisa semaumaunya keputusan politik seakanakan menjadi hukum yang mengikat dan bahkan melebihi konstitusi," tuturnya.

Lebih lanjut, Sugeng berharap DPR tetap bijaksana dalam menggunakan aturan revisi Tatib tersebut ke depannya.

Dia tidak ingin aturan itu digunakan seenaknya dan semakin banyak muncul keputusankeputusan politis yang tidak bersifat obyektif dan bukan untuk kepentingan rakyat.

"Kita harus menguatkan kembali jiwa daripada konstitusi tentang Indonesia adalah negara hukum dan bukannya negara kekuasaan."

"Sehingga, ketika politik menjadi panglima, maka akan mengarah menjadi negara kekuasaan yang mengatur sedemikian rupa. Padahal, ada normanorma yang mengikat yaitu norma hukum yang diutamakan dalam praktek ketatanegaraan kita," tuturnya.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menganggap revisi aturan ini akan berdampak secara lebih jauh.

Dia menilai tidak hanya akan berdampak kepada pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara sesuai keinginan DPR, tetapi secara konsep, revisi yang dilakukan sudah salah.

"Buat saya (revisi tatib DPR) bukan sekedar like and dislike. Secara konseptual ini salah," katanya ketika dihubungi, Rabu malam.

Bivitri lantas mencontohkan ketika seorang hakim atau komisioner sudah dipilih, maka yang bersangkutan mengikuti aturan dari lembaga tinggi negara yang dipimpinnya.

Sehingga, DPR tidak bisa mencopot pejabat tersebut dengan seenaknya.

"Pemilihan hakim dan komisioner itu masuk aturan main pemilihan. Bukan pemberian mandat, yang bisa dicabut kapan saja."

"Begitu sudah dipilih, maka si komisioner atau hakim diatur dalam UU masingmasing lembaga seperti UU MK, UU KPK, dan lainlain," jelasnya.

Bivitri menganggap revisi aturan DPR ini sudah melanggar konstitusi karena tiap lembaga negara diatur dalam UUD 1945.

"Peraturan DPR tidak bisa melanggar UU dan bahkan ini melanggar konstitusi karena susunan, kedudukan, dan fungsi lembagalembaga negara itu diatur dalam UUD," jelasnya.

Sementara, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman tidak setuju atas adanya revisi tatib DPR ini.

Menurutnya, revisi yang dilakukan sudah cacat secara formil dan materil.

"Saya tidak setuju atas perubahan tata tertib DPR baik secara formil maupun materil."

"Formil dan materilnya, menyangkut secara ketentuan, harusnya menjadi produk undangundang bukan dalam peraturan tatib DPR yaitu kan menyetujui pejabat negara itu kan atas dasar undangundang," katanya.

Boyamin menuturkan sebenarnya, tatib DPR ini hanya mengatur terkait mekanisme di internal lembaga legislatif dan tidak pula mengatur urusan lembaga negara lainnya.

"Jadi, tidak pas kalau tentang evaluasi ini diatur dalam tata tertib DPR," jelasnya.

Dia juga mengatakan pejabat negara seperti hakim MK hingga komisioner KPK baru bisa diberhentikan ketika memenuhi syarat yang tertuang dalam undangundang.

Sehingga, kata Boyamin, DPR tidak bisa merekomendasikan pejabat negara untuk diberhentikan hanya berdasarkan keputusan tiap komisi.

"Dan kemudian itu mereka diberhentikan itu kalau memenuhi persyaratan dalam undangundang seperti mengundurkan diri, tidak memenuhi syarat, atau melakukan pidana. Jadi, itu harus dipedomani," katanya.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna menilai aturan revisi Tatib ini menjadi wujud DPR tak ingin Indonesia berdiri tegak di atas UUD 1945.

Palguna menjelaskan, seharusnya DPR memahami soal hierarki dan beragam kekuatan mengikat dalam norma hukum.

Ia menganggap revisi yang dilakukan DPR terkait Tatib itu bisa merusak tatanan kenegaraan.

"Jika mereka mengerti tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945) tetapi di atas hukum yang mereka suka dan mau, dan mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini, bos," kata Palguna, Rabu, dikutip dari Kompas.com.

Palguna juga mempertanyakan ilmu hukum dari DPR yang seharusnya mengerti bahwa Tatib hanya mengikat internal anggota dewan dan bukannya mengikat keluar institusi.

"Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab. Cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tata tertib bisa mengikat keluar? Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances?" imbuh dia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.