Tatib DPR: Senjata Baru Legislator untuk Kepentingan Politik?
Firdaus Arifin February 07, 2025 02:03 AM
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan. Kali ini, bukan karena fungsi legislasi atau pengawasan yang tajam, melainkan langkah kontroversial yang menimbulkan kegaduhan dalam tatanan hukum kita. Revisi Tata Tertib (Tatib) DPR yang memungkinkan lembaga legislatif mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang mereka pilih menjadi persoalan serius. Pasal 228A yang baru disisipkan seakan menjadikan DPR sebagai lembaga superbody yang tak lagi sekadar memilih, tetapi juga berhak menilai dan, dalam praktiknya nanti, berpotensi ‘menghakimi’.
Jika dicermati dari perspektif hukum tata negara, revisi ini menunjukkan betapa DPR semakin mengabaikan prinsip-prinsip dasar dalam sistem ketatanegaraan kita. Logika yang digunakan dalam perubahan Tatib ini melawan teori dasar hierarki norma hukum dan prinsip pemisahan kekuasaan. Bukankah evaluasi terhadap pejabat negara yang telah dilantik seharusnya berlandaskan mekanisme yang jelas dalam undang-undang, bukan sekadar aturan internal yang dibuat sendiri oleh DPR?
Tatib DPR vs. Konstitusi
Dalam teori Hans Kelsen tentang hierarki norma hukum, aturan internal sebuah lembaga—dalam hal ini Tatib DPR—tidak bisa melampaui konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di atasnya. Tatib seharusnya hanya menjadi pedoman internal kerja, bukan alat untuk menambah atau memperluas kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi dan undang-undang.
Dengan kewenangan baru ini, DPR tampak ingin memperkuat posisinya dalam lanskap politik nasional, bukan dalam rangka check and balances sebagaimana klaim mereka, melainkan demi kepentingan yang lebih pragmatis. Lihat saja narasi yang digunakan: “meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR.” Frasa ini terdengar baik, tetapi dalam praktiknya bisa menjadi alat politik bagi kelompok mayoritas di parlemen untuk menekan atau bahkan menggiring pejabat negara agar tunduk pada kehendak mereka.
Lebih berbahaya lagi, dengan hasil evaluasi yang “bersifat mengikat,” DPR bisa dengan mudah menjadikan Tatib ini sebagai senjata untuk mengintervensi pejabat negara yang sudah mereka pilih sendiri. Di sinilah bahaya terbesar muncul: DPR bukan hanya menjadi lembaga yang memilih, tetapi juga menentukan nasib pejabat yang mereka pilih, tanpa mekanisme hukum yang jelas.
DPR Menuju Otoritarianisme Parlemen?
Konsekuensi dari aturan ini bisa sangat luas. Bayangkan seorang pejabat yang telah dilantik melalui mekanisme sah tiba-tiba harus tunduk pada evaluasi subjektif DPR, yang bisa saja dipengaruhi kepentingan politik atau transaksional. Jika ini dibiarkan, DPR dapat dengan mudah menekan pejabat negara agar sejalan dengan kepentingan politik mayoritas di parlemen, bukan kepentingan rakyat.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemisahan kekuasaan bukan sekadar teori, tetapi prinsip fundamental yang harus dijaga. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif memiliki batasan masing-masing untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Jika DPR bisa mengevaluasi pejabat negara secara berkala dan hasilnya bersifat mengikat, ini adalah awal dari pola baru otoritarianisme parlemen, di mana kekuatan legislatif bisa mengintervensi kekuasaan eksekutif dengan dalih pengawasan.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini? Pertama, penting untuk mengembalikan diskursus konstitusional bahwa pengawasan DPR harus tetap dalam koridor checks and balances yang sehat, bukan menjadi alat tekan terhadap pejabat negara. Kedua, uji materi terhadap perubahan Tatib ini perlu dipertimbangkan, karena bertentangan dengan prinsip hierarki hukum. Dan yang paling utama, kesadaran publik harus dibangun agar tidak membiarkan penyalahgunaan kekuasaan ini terus berlanjut.
Jika tidak, kita akan semakin jauh dari demokrasi yang sehat, dan DPR akan menjelma menjadi kekuatan baru yang menentukan siapa yang layak berkuasa berdasarkan kepentingan politik mereka, bukan berdasarkan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Negara ini tidak boleh dibiarkan dikendalikan oleh aturan yang dibuat atas dasar kepentingan politik sesaat. Kita harus melawan, sebelum hukum dan demokrasi benar-benar runtuh di tangan para legislator yang lupa diri.