Melirik Potensi Indonesia dalam Perdagangan Karbon Internasional
Andar Abdi Saragih February 07, 2025 02:23 AM
Salah satu komitmen Indonesia pada setiap Conference of the Parties (COP) atau konferensi tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim adalah berpartisipasi aktif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca serta serius dalam memitigasi dampak yang ditimbulkannya.
Eksploitasi hutan yang sporadis, industrialisasi dan pertambahan jumlah penduduk secara eksponensial masyarakat dunia berandil besar dalam peningkatan emisi karbon.
Pola kehidupan ekstraktif masyarakat modern yang memanfaatkan bahan baku yang berasal dari alam secara berlebihan untuk kebutuhan produksi telah berkontribusi nyata dalam peningkatan emisi gas rumah kaca.
Misalnya; industri pertambangan, transportasi, kebutuhan listrik, perkebunan hingga pemanfaatan pupuk kimia secara berlebihan memicu perubahan iklim. Selain itu, sifat masyarakat yang konsumtif secara cepat ditangkap oleh para pelaku industri untuk tujuan ekonomi menjadi trigger kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana.
Harus diakui pula masalah yang paling mengkhawatirkan di abad ke-21 ini, selain krisis politik dan ekonomi adalah krisis lingkungan. Akibatnya berbagai bencana alam menghampiri manusia seperti banjir, tanah longsor, bencana asap, badai, banjir rob, gelombang panas dan kekeringan.
Bencana itu datang bertubi-tubi sehingga mengakibatkan kelaparan, kesengsaraan, pemiskinan bahkan kematian. Kerusakan lingkungan terjadi terus-menerus hingga hari ini. Pembangunan dengan motif ekonomi menjadi argumen utama sebagai pembenaran tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia tanpa pernah memperhatikan aspek-aspek ekologis dan dampak yang akan ditimbulkan.
Mekanisme Perdagangan Karbon
Posisi Indonesia di forum internasional perubahan iklim dunia sangat sentral. Alasannya luas hutan Indonesia tahun 2024 mencapai 125 juta hektar atau setara dengan 63 persen dari seluruh luas wilayah Indonesia.
Selain itu jumlah itu sangat signifikan mengingat luasan hutan tersebut setara dengan 2,3 persen dari seluruh luas dunia. Sehingga setiap kerusakan hutan atau kerusakan lingkungan di Indonesia secara otomatis akan berdampak secara global.
Atas dasar ini pula pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-29 (COP-29) yang diikuti 200 negara berlangsung di Baku, Azerbaijan pada 11–22 November 2024 lalu setiap negara selalu menunggu sikap dan komitmen Indonesia terkait krisis iklim.
Pada COP-29 Azerbaijan, posisi Indonesia setelah bernegoisasi dengan negara-negara maju menyentuh 5 (lima) aspek. Pertama, Indonesia berkomitmen mengembangkan teknologi carbon capture and storage (CCS). Kedua, Indonesia berkomitmen membangun kapasitas energi baru hingga 100 gigawatt dalam 15 tahun mendatang.
Ketiga, Indonesia berkomitmen akan mencapai net zero emission pada tahun 2060. Keempat, Indonesia membuka kerja sama perdagangan karbon internasional dan Kelima, Indonesia berkomitmen memperkuat kemitraan global dalam membangun ketahanan iklim.
Pada poin kerja sama perdagangan karbon (carbon trading) tentu menjadi variabel yang menggiurkan untuk Indonesia. Selain bisa berkontribusi dalam menekan laju deforestasi di Indonesia, juga secara ekonomi bisa memberikan kebermanfaatan dalam pendapatan negara.
Apalagi ada komitmen negara-negara maju untuk memobilisasi dana sebesar 100 miliar dolar untuk kompensasi bagi negara-negara terdampak perubahan iklim seperti banjir, badai, dan kekeringan ekstrim.
Artinya perdagangan karbon dioksida (CO2) bisa dimaknai khusus manfaatnya bagi Indonesia untuk aktif dalam tindakan preventif dalam agenda penurunan emisi karbon. Selain itu keterlibatan Indonesia dalam perdagangan karbon bisa mendorong inovasi masyarakat dalam negeri untuk bisa aktif dalam kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan terkaitan agenda keberlanjutan kelestarian lingkungan.
Pada perdagangan karbon secara teknis tentu harus ada permintaan dan penawaran yang melibatkan antara pembeli dan penjual. Dimana stakeholders (pemangku kepentingan) yang terlibat antara lain adalah pemerintah, sektor swasta dan masyarakat lokal.
Posisi pemerintah memainkan peran sebagai pembuat regulasi baik itu berbentuk undang-undang atau peraturan pemerintah terkait kuota maksimal atau minimal karbon yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan. Selain itu, mekanisme harga pasar dan insentif ekonomi yang didapatkan oleh masyarakat lokal dari penting dilindungi secara hukum.
Sementara sektor swasta melalui industri atau perusahaan harus didorong bisa berinvestasi pada teknologi dan sumber energi bersih yang bisa menekan emisi karbon dengan penetapan kuota. Pun sebaliknya bagi industri yang masih menggunakan teknologi lama dengan tingkat emisi karbon tinggi harus membayar kelebihan emisi yang dihasilkan dari kuota yang telah ditetapkan.
Misalnya; kuota yang diberikan untuk satu perusahaan mengeluarkan emisi karbon adalah 1.000 ton CO2 sementara perusahaan tersebut mampu menekan emisi menjadi 900 ton CO2 sehingga terdapat kredit 100 ton CO2 yang dihasilkan perusahaan tersebut. Selanjutnya, satu ton emisi CO 2 setara dengan satu unit kredit karbon maka kesimpulannya terdapat 100 unit kredit karbon yang bisa jual.
Sebaliknya, jika perusahaan tersebut tidak mampu menekan emisi karbon justru berdampak pada peningkatan emisi hingga 1500 ton CO2 maka mereka harus membayar kelebihan dari kuota yang telah ditetapkan yaitu 500 unit karbon. Dengan asumsi 1 unit karbon di Indonesia dihargai Rp 69.600 per ton maka harga yang harus dibayarkan perusahaan untuk 500 unit karbon adalah Rp 34.800.000.
Pada konteks yang lebih spesifik tentu akan muncul pertanyaan, siapa yang akan menjadi pembeli kredit karbon ? jawabannya adalah sektor industri, negara atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon yang tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil atau mengkonsumsi energi dalam jumlah besar khususnya; pabrik baja, pembangkit listrik batu bara (PLTU) dan sektor transportasi.
Lebih lanjut, pedagangan karbon yang ada di Indonesia saat ini terdiri dari 2 (dua) tipe. Pertama, pasar karbon sukarela yang bebas dari intervensi pemerintah, dimana setiap unit karbon yang dihasilkan oleh perusahaan harus disahkan serta dibuktikan melalui terbitnya sertifikat melalui lembaga independen, seperti : Plan Vivo, Verra dan Gold Standard.
Dan kedua, pasar karbon wajib yang mekanismenya ditentukan oleh pihak berwenang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dimana tujuan pasar karbon wajib adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan basis regulasi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Potensi Sektor Kehutanan dalam Perdagangan Karbon
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) pada 20 Januari 2025 lalu menyebutkan bahwa pemerintah saat ini sedang mempersiapkan skema terbaik perdagangan karbon internasional sebagai komitmen dari pertemuan internasional COP-29 Azerbaijan.
Adapun selama ini perdagangan karbon nasional masih didominasi oleh sektor energi. Namun melihat potensi yang dimiliki Indonesia, ucapan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam melihat peluang sektor kehutanan sebagai objek perdagangan karbon menghadirkan peluang sekaligus tantangan.
Peluangnya berkaitan dengan luasan hutan di Indonesia yang dipenuhi pepohonan mampu menyerap karbon melalui proses fotosintesis yang mengubah energi dari sinar matahari menjadi energi yang digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan respirasi.
Juga secara ilmiah satu ton karbon dapat diimbangi penyerapan 31 pohon hingga 46 pohon dengan asumsi perhitungan bahwa satu pohon dapat menyimpan sekitar 167 kg CO2 per tahun. Sementara tantangannya berkaitan dengan potensi luasan 125 juta hektar hutan di Indonesia untuk segera dilakukan pemetaan, pengukuran, pelaporan dan verifikasi terkait potensi karbon yang bisa menjadi kredit untuk dijual dalam perdagang karbon luar negeri.
Disamping itu pelibatan sektor swasta dan masyarakat dalam perdagangan karbon internasional akan memperluas peluang Indonesia dalam memperkuat ekonomi secara keseluruhan.
Selain akan membuka lapangan pekerjaaan, hasil dari kredit karbon dan pajak karbon bisa menambah pendapatan negara. Dan terakhir, yang paling penting dalam potensi perdagangan karbon internasional adalah memperbesar kontribusi Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim global.