Tjong A Fie Mansion sebagai Bukti Kejayaan Saudagar Tionghoa Medan
Moh. Habib Asyhad February 09, 2025 01:34 PM

[EDISI IMLEK]

Bertanya tentang siapa sosok di balik Tjong A Fie Mansion, tentu jawabannya adalah Tjong A Fie sendiri. Dialah saudagar Tionghoa Medan yang masa kecilnya penuh dengan nuansa kemiskinan.

Penulis: Gandhi Wasono M, kontributor untuk Majalah Intisari edisi Februari 2020

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, laiknya jantung kota lainnya. Sepanjang jalan berjejer pertokoan dan perkantoran, serta arus kendaraan yang lalu-lalang seolah tiada henti.

Di tengah kepadatan kawasan kota yang sibuk itu, sebuah bangunan tampak istimewa. Bangunan itu cukup luas dengan tembok kokoh mengelilinginya.

Sebuah pintu hijau tua dengan variasi warna putih, membatasi jalan raya dengan halaman rumah. Begitu kita masuk, di dalamnya terdapat halaman sekitar 200 m2 dan keberadaan sebuah pohon tepat di tengah.

Di seberang halaman, tampaklah bangunan dua lantai nan megah. Meski dari arsitekturnya bangunan terlihat sudah berumur, namun ternyata masih kokoh dan terawat.

Setiap sudut ruangan terlihat bersih dan tertata dengan apik. Dari bentuk bangunan depan, tampak karakter kuat arsitektur Cina.

Di depan teras yang didominasi lantai warna coklat terdapat pintu kayu besar diapit dua jendela besar berteralis besi. Keindahan makin tampak dengan plafon yang bermotif serta lampu gantung tepat berada di tengahnya.

“Bangunan ini sudah berusia 120 tahun, karena selesai dibangun tahun 1900 dan langsung ditempati,” kata Nazarudin, pemandu khusus dari Tjong A Fie Mansion yang siang itu menemani Intisari.

Disebut Tjong A Fie Mansion, karena rumah yang kini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah setempat itu memang dibangun oleh Tjong A Fie. Di masa lalu, nama ini melegenda lantaran pernah menjadi orang terkaya di Medan hingga meninggalnya pada 1921. Selain itu, ia juga dikenal dermawan.

Menelusuri ruang demi ruang di dalam rumah, kita seolah dibawa masuk ke dalam lorong waktu. Bisa terbayangkan, betapa megah dan mewah rumah tersebut pada masanya.

Tak hanya kesan eksotis namun tiap sudut seolah mampu “berbicara”. Setiap petak ruangan di dalamnya memiliki makna dan filosofi yang kuat.

Kemegahan dan kemewahan Tjong A Fie Mansion tercatat dalam buku Kisah Hidup Quenny Chang. Anak Tjong A Fie, Orang Terkayadi Medan. Buku yang diterbitkan 2016 itu ditulis oleh Quenny, anak pertama Tjong A Fie.

Dalam tulisannya Quenny menggambarkan, pada masa itu dia tak pernah melihat rumah yang semewah rumah milik ayahnya. Kursi panjang empuk berlapis beludru halus.

Jendela dengan kaca-kaca berukuran besar mengelilingi dinding. Langit-langit berornamen indah. Ditambah dengan gemerlap lampu listrik dari halaman depan sampai setiap sudut ruangan menyala dengan indah.

“Saking terangnya saya sampai silau. Saya tak pernah melihat lampu seindah itu. Di masa itu rata-rata masyarakat masih menggunakan lampu minyak atau lilin,” kenang Queeny yang masih berusia tiga tahun saat pertama kali menempati rumah itu.

Ruang pesta dansa

Meski Tjong A Fie seorang Cina tulen, namun dia selalu menjunjung nilai-nilai budaya tempat dia berada. Sifat atau karakter itu dituangkan dalam setiap bentuk ruangan.

Di dalam rumah yang didesain oleh tiga orang arsitektur tersebut, tercermin tiga budaya: Cina, Eropa, dan Melayu. “Tjong A Fie orangnya sangat plural,” jelas Nazar.

Di dalam rumah dengan luas tanah 6.000 m2 dan luas bangunan 4.000 m2 tersebut ada sekitar 24 kamar yang tersebar di lantai bawah, lantai dua, sayap kiri dan kanan atas. Ketika memasuki ruang tamu pertama di sebelah kiri, nuansa budaya Melayu sangat kental.

Dinding kamar didominasi warna kuning, yang jadi ciri khas budaya Melayu. “Dulu di ruang tamu ini Tjong A Fie menerima tamu-tamu besar yang berkebangsaan Melayu, seperti Sultan Deli IX, Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah yang selalu datang ketika hari raya Imlek tiba,” imbuh Nazarudin.

Di belakang ruang tamu terdapat ruang tidur utama Tjong A Fie. Kamar berukuran sekitar 5 x 10 m tersebut menyimpan satu tempat tidur kayu plituran warna cokelat tua dengan masing masing tiang pada setiap sudutnya.

Masih di dalam kamar tersebut, terdapat juga satu lemari kayu, lemari kecil serta dua set kursi kayu, dan beberapa lukisan diri Tjong A Fie. Salah satunya, kala konglomerat itu berpose dalam balutan jas, busana ala Eropa.

Kamar berbentuk memanjang itu memiliki lantai berornamen, didominasi warna biru tua yang didatangkan dari Cina. Suasana begitu temaram karena hanya ada dua lampu gantung di sisi kiri dan kanan tempat tidur.

"Bisa dibayangkan pada masa itu kamar tidurnya sudah seperti ini, bagaimana mewahnya," papar Nazar.

Dia juga menjamin kalau semua benda dalam kamar itu masih otentik, kecuali sebuah alat penyedot debu dengan panjang 50 cm yang ketika itu tampak disiagakan di sudut kamar.

Kamar tidur utama tersebut ternyata tembus ke ruang belakang yang dijadikan ruang makan. Ada satu set meja panjang dengan kursi mengelilinginya.

Sebuah pintu besar menghubungkan ruangan tersebut ke ruang tamu utama yang begitu luas. Di ruangan itu, nuansa Eropa tampak terasa.

Dua set meja-kursi kayu dan marmer asli dari Belanda, memperkuat kesan itu. Suasana Eropa makin terasa dengan keberadaan sebuah grand piano di sudut kiri ruangan.

Sehari-hari, piano ini dimainkan Tjong Sie Yien, putri kelima Tjong A Fie yang kebetulan hobi bermusik.

Piano ini, jelas Nazar, punya sejarah panjang karena pernah digunakan untuk pendirian Medan Music School Foundation pada 1950. Inilah sekolah musik pertama di Indonesia.

Di sebelah kanan ruang utama, terdapat ruangan memanjang bernuansakan Cina. Selain ada satu set meja-kursi kayu, tergantung pula sebuah lampu beserta lampion.

Di ruangan inilah Tjong A Fie menerima para tamu, mulai dari pejabat Cina setempat atau para delegasi dari Tiongkok yang datang.

Pertemuan Tjong A Fie dengan sejumlah pejabat di masa lalu terekam dari foto-foto yang terpajang di ruangan galeri. Di sanalah kita bisa melihat rekaman gambar pertemuan tuan rumah dengan sejumlah petinggi Belanda serta Tiongkok.

Menariknya, galeri ini juga memajang foto replika surat berharga berupa simpanan penanaman saham Tjong A. Fie, senilai 3 juta gulden pada Deli Bank. “Kalau diukur dengan uang sekarang, nilainya setara triliunan rupiah,” papar Nazar.

Kala itu Tjong A Fie memang dikenal sebagai pengusaha perkebunan terkaya di Sumatera dengan ribuan hektar kebun seperti tembakau, karet, kelapa, dll. Dia juga menjadi bankir, seperti chairman pada Batavia Bank, cikal bakal Bank Indonesia Medan saat ini.

Keberadaan ballroom di lantai dua rumah menandakan betapa mewahnya kehidupan Tjong A Fie pada masa itu. Ruangan itulah yang selalu digelar pesta dansa dan menjamu para tamu.

Sementara ruang di sayap kanan dan kirinya, dijadikan perpustakaan serta ruangan tata suara.

Merantau ke Medan

Bukan hanya bangunan rumahnya, perjalanan Tjong A Fie hingga menjadi orang terkaya sangat menarik disimak.

Awalnya pria kelahiran Sungkow, Guangdong, Tiongkok itu amat miskin. Meski pendidikannya rendah, namun Tjong Fu Nam (nama lahirnya) sangat gigih dan cerdas.

“Sehari-hari dia membantu orangtuanya berdagang kelontong,” cerita Nazar.

Dalam buku Queeny Chang, anak pertama dari hasil perkawinan dengan istri ketiganya bernama Koei Yap, tertulis: walau miskin, Tjong A Fie berkarakter kuat. Di balik kesederhanaannya, dia pandai bersosialisasi dan berkomunikasi.

Tjong A Fie jadi andalan untuk menyelesaikan persoalan keluarga. Kecerdasan dan kejujuran, jadi kunci kewibawaannya.

Tjong A Fie tidak ingin terus terbelenggu dalam kemiskinan. Setelah ayahnya meninggal, sekitar 1875, pada usia 18 tahun ia merantau ke Hindia Belanda.

Dia merantau ke Medan yang kala itu bernama Deli Tua, untuk menyusul Tjong Yong Hian, kakaknya yang sudah lima tahun lebih dulu merantau ke sana.

Saat itu Tjong A Fie sebenarnya sudah berkeluarga, namun istrinya tidak ikut karena harus menunggui orangtuanya. Meski kakaknya sudah mulai sukses sebagai pedagang, namun Tjong A Fie tidak serta merta mendompleng ketenaran.

Dia justru bekerja dengan orang lain, mulai dari penjaga toko, mengerjakan pembukuan, bahkan melakukan penagihan di perkebunan. Ibarat pepatah, meski di dalam lumpur, namun butir berlian akan tetap terlihat bersinar.

Demikian juga dengan osok Tjong A Fie. Kegigihan, keuletan, kesabaran serta kepandaiannya membawa diri di lingkungan baru, ia mendapat simpati dari majikannya.

Lambat laun Tjong A Fie dipercaya mengurus lahan perkebunan. Kariernya terus menanjak, hingga, lagi-lagi karena keuletannya, dia akhirnya juga bisa memiliki perkebunan sendiri.

Usaha Tjong A Fie terus berkembang pesat. Sepetak demi sepetak lahan perkebunan tembakau, sawit, dan kelapa, terus bertambah. Lahannya ribuan hektare di seluruh Sumatera. Karyawan mencapai 10 ribu orang di berbagai daerah.

Tidak memandang suku

Karena kepribadiannya, pada akhirnya Tjong A. Fie, tak hanya dikenal sebagai saudagar sukses. Kemampuannya beradaptasi dengan warga asli Melayu, etnis Cina, maupun Belanda, membuatnya dipercaya oleh pemerintah Hindia-Belanda menjadi Kapitan.

Dalam bukunya, Queeny Chang menyebutkan, ayahnya dikenal sebagai sosok yang sangat baik dan dermawan. Dia gemar membantu daerah-daerah yang terkena musibah, termasuk tanah leluhurnya di Tiongkok jika terjadi kekeringan.

Ketika mengulurkan tangan dia tak pernah membeda-bedakan siapa pun dan dari golongan apa pun. Semasa hidup dia membantu untuk pembangunan masjid, gereja, maupun kuil Hindu.

“Salah satunya adalah ketika Sultan Deli IX membangun masjid Raya Al-Mashun tahun 1906, sekitar 30 persen dana yang digunakan tersebut adalah sumbangan dari Tjong A. Fie. Gereja Katedral Medan juga demikian,” tambah Nazarudin.

Karena itu hubungan antara Tjong A Fie dengan pemerintah Belanda maupun kesultanan begitu dekat. Menurut Queeny yang lahir pada 1896, ketika adik lelakinya lahir, tetamu memberikan bingkisan berbagai bentuk emas.

Salah satunya Sultan Deli yang memberi kado miniatur bangunan kesultanan dengan hiasan batu berlian.

Pada 8 Februari 1921 Tjong A Fie meninggal dunia akibat stroke. Ribuan orang memadati rumah dan jalan ketika jenazah dibawa menuju ke Pulo Brayan, tempat peristirahatannya terakhir.

Para pelayat bahkan datang dari jauh seperti Kalimantan, Jawa, dan pulau-pulau lain. Untuk mengenang jasa baik Tjong A Fie, rumah keluarga tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya.

“Untuk perawatan rumah agar tetap terjaga dengan baik, kami berusaha perbaiki,” terang Mimi Tjong (70) cucu Tjong A Fie dari pasangan Tjong Kwet Liong dan Lim Eng Liang yang saat ini tinggal di rumah penuh kenangan itu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.