Membumikan Metode Saintifik Dalam Birokrasi
Ahmad Syahrus Sikti Official February 25, 2025 08:00 AM
Mengapa birokrasi K/L terkadang jalan di tempat, kemajuan tidak terlalu signifikan, perilaku koruptif masih saja merajalela hingga membuat layanan publik semakin amburadul? Karena para elit birokrat masih asing dengan metode saintifik dalam bekerja. Dirinya mengidap penyakit status quo yang sukar disembuhkan, mereka lebih mempertahankan pola kinerja lama yang diyakini sejak awal bahkan dipraktikkan turun temurun dari pendahulunya dan enggan berubah dengan temuan baru padahal sudah terang-benderang terbantahkan dengan segudang bukti yang lebih valid dan terkonfirmasi secara faktual.
Menurut Jim Al-Khalili di dalam The Joy of Science, 2023 menyatakan metode saintifik adalah metode terbuka yang bersifat korektif ke dalam (self-correcting) yang selalu bisa difalsifikasi dengan didukung bukti-bukti akurat dengan proses eksperimentasi dan pengamatan. Artinya sains mengajarkan kita tentang perilaku bersedia dikoreksi dan ditinggalkan apabila pengetahuan yang kita miliki selama ini keliru dan terbantahkan dengan temuan teori baru.
Sains tidak menginginkan para birokrat semakin congkak dengan sedikit pengetahuannya, justru membuat dirinya semakin ditertawakan di hadapan ilmu pengetahuan. Yang diingini sains adalah para birokrat semakin sadar diri, harus terbuka dan siap sedia meninggalkan pengetahuannya yang sudah mapan apabila teorinya dapat difalsifikasi dengan kertas kerja temuan baru dan sudah tidak relevan di tengah anjungan realitas.
Ada beberapa cara mengimplementasi metode saintifik dalam birokrasi yaitu membangun budaya skeptis-kritis, mementingkan bukti bukan opini, mengenal bias informasi, dan menghargai realitas.
Pertama, membangun budaya skeptis-kritis. Keraguan dalam setiap pekerjaan akan mendorong lahirnya kritisisme yang berpengaruh terhadap kualitas output birokrasi. Persoalan klasik birokrasi yang tidak ramah di kantong warga, lambat dan berbelit serta “kotor” dapat diselesaikan sekalebet dengan membangun semangat saling mengkritisi, tidak mudah percaya antara satu individu dengan yang lain serta tidak mudah silau dengan ajaran/doktrin para pendahulunya. Mengapa? karena bisa jadi apa yang diyakini dan dikerjakan dalam roda birokrasi ternyata tidak sesuai dengan kebenaran ilmiah.
Budaya skeptik dalam birokrasi akan menciptakan iklim kinerja yang objektif. Salah satu keunggulan metode saintifik adalah kertas kerjanya yang sangat objektif, terbebas dari segala nilai karena sudah melewati berbagai tahap uji coba berbagai bukti dan teori serta selalu siap dikritisi. Meskipun sains sudah "rendah hati" tetap saja metode saintifik malah mendapatkan tanggapan keras dari para ahli ilmu sosial (social science) yang menyatakan bahwa kesimpulan para saintis bersifat subjektif, tidak bebas nilai sebab dipengaruhi oleh anasir etika, moral, politik bahkan kepentingan penyokong dana penelitiannya. Terkait polemik tersebut, penulis tidak mau memperuncingnya.
Birokrasi yang jauh dari skeptisisme akan terjebak kepada sikap superioritas ilusi (illusory superiority) yang cenderung menggantungkan kepada pengetahuan yang “diada-adakan” dengan rela mencari berbagai bukti guna mendukung padangannya yang telah lampau. Para birokrat akan berusaha mencari berbagai alibi, argumen dan pembenaran apa yang sudah dikerjakan selama ini meskipun sudah tidak sesuai dengan konteks dan kebutuhan realitas saat ini.
Ironinya, pengetahuannya yang sudah "bolong-bolong", ketat tidak sesuai dengan zaman tetap bersikeras dipertahankan. Jika para birokrat tetap mempertahankan sikap seperti ini maka apa yang dikerjakannya tidak mampu menjawab segala persoalan dan kebutuhan pengguna layanan. Birokrasinya semakin jeblok ke dalam kubangan pengetahuan yang tidak ada ujungnya.
Kedua, mementingkan bukti dan opini. Birokrasi yang sehat akan mementingkan bukti ketimbang opini. Segala klaim dan pernyataan dari atasan maupun rekan sejawat dapat diterima apabila didukung tumpukan bukti yang valid. Setiap bukti yang disodorkan harus diteliti tingkat akurasinya, dari mana sumbernya dan konteksnya seperti apa hingga para birokrat terhindar dari segala bentuk misinformasi yang menyesatkan. Tanpa bukti yang dapat diverifikasi, setiap klaim dianggap palsu dan tidak memiliki kekuatan apapun sehingga tidak visibel sebagai bahan baku kebijakan strategis.
Ketika berbicara perbaikan birokrasi, seorang birokrat harus berangkat dari data dan informasi yang akurat. Birokrat tidak boleh gagap dalam menganalisis data dan informasi yang ada karena dapat berbahaya dalam merumuskan kebijakan. Hasil analisis data dan informasi lebih sahih dirumuskan sebagai bahan kebijakan ketimbang opini sepihak dari atasan, rekan sejawat bahkan seorang pakar sekalipun sebab analisis data lebih mendekati kebenaran hakiki.
Dalam konteks relasi birokrasi, beredarnya rumor negatif dan informasi hoaks jamak ditemukan di tengah situasi kondisi banjirnya informasi dari berbagai platform media. Transmisi informasi bohong atau rumor negatif sangat cepat beredar di kalangan birokrat yang justru dapat merusak hubungan antar sesama birokrat. Relasi yang selama ini sudah terbangun harmonis dapat hancur lebur ketika informasi bohong merajalela tanpa kontrol. Oleh karena itu, kemampuan analisis data bagi seorang birokrat menjadi “sekoci emosional” dalam rangka mengimbangi peredaran berita hoaks yang semakin masif.
Ketiga, mengenal bias informasi. Para birokrat dituntut melek informasi. Tidak ada alasan tertinggal berita aktual sebab tsunami informasi kerap kita peroleh dari berbagai media sosial maupun media elektronik. Fenomena tsunami informasi tidak terlepas dari kemajuan teknologi digital namun teknologi bukan satu-satunya penyebab menjamurnya berita bohong di ruang publik.
Kita tidak perlu khawatir, saat ini para saintis sedang mengembangkan algoritma yang mampu menangkal segala berita bohong yang akan tampil di setiap gawai birokrat sehingga para birokrat tidak mengalami turbulensi informasi yaitu suatu kondisi kosongnya informasi bermutu yang dimiliki birokrat karena tidak mampu menyeleksi setiap asupan informasi yang diperolehnya.
Persoalan bias informasi ini sangat meresahkan bagi birokrat. Informasi yang keliru dapat menyebabkan kebijakan yang keliru. Kebijakan yang keliru dapat berimbas kepada layanan publik. Jika layanan publik tidak sesuai harapan maka suatu organisasi akan mengalami penurunan indeks kepercayaan (trust index). Jika kepercayaan publik menurun, maka eksistensi organisasi dan ketahanan nasional dapat terganggu. Lalu apa yang dapat dilakukan birokrat? Diam ketika tidak tahu dan berbicara apa yang tahu.
Keempat, menghargai realitas. Seorang birokrat harus memiliki sikap terbuka, rasional dan tidak mudah percaya kepada klenik, mitos atau hal-hal supranatural. Realitas yang teramati secara indrawi sebagai tolak ukur dalam mengambil kebijakan birokrasi bukan berdasarkan informasi sepihak ahli nujum atau mitos sesat sebab semua persoalan birokrasi dapat dipecahkan dengan akal sehat dan keseriusan untuk merenungkan akar persoalan. Artinya tadarus akal sehat jauh lebih bermakna dalam mengkreasi birokrasi ketimbang duduk merenung di depan dupa.
Setiap birokrat harus mengenal realitasnya bukan berdasarkan informasi bohong atau praduga sepihak akan tetapi berdasarkan navigasi akal, proses pembuktian dan uji coba. Realitas sesungguhnya tidak boleh dibantah dengan paham-paham “konyol” yang tidak rasional justru terus dieksplorasi dengan memperkuat literasi informasi agar menggenjot wawasan para birokrat dan masyarakat secara kolektif. Pada akhirnya realitas birokrasi diukur dengan efektivitas dan utilitas yakni seberapa jauh para birokrat berhasil menghadirkan kultur layanan yang murah, cepat dan bermanfaat bagi publik, itu saja.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.