BRIN: Penggunaan Bahasa Daerah di RI Terus Alami Kemunduran
kumparanSAINS February 25, 2025 12:40 PM
Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menyebut bahwa penggunaan bahasa daerah di Indonesia kian berkurang akibat berbagai faktor, seperti pemekaran wilayah, migrasi penduduk, dan dominasi bahasa mayoritas. Hal itu diungkap dalam The 2nd International Conference on Language and Literature Preservation (ICLLP 2025), di BRIN Gatot Subroto, Jakarta.
Saat ini, ada sekitar 726 bahasa daerah yang masih digunakan. Namun, berdasarkan studi yang dilakukan BRIN, banyak bahasa daerah yang mengalami kemunduran akibat banyak faktor.
Dalam sesi panel “Dokumentasi, Deskripsi, dan Konservasi Bahasa”, Zainal Abidin, peneliti Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) BRIN, menyampaikan hasil riset tentang pergeseran bahasa pada komunitas Duanu di Riau, khususnya di Kecamatan Kateman. Suku Duanu yang awalnya merupakan komunitas suku laut, mengalami perubahan sosial dan budaya setelah mereka dipindahkan ke pemukiman tetap akibat kebijakan pemekaran wilayah.
“Akibat perubahan ini, mereka beradaptasi dengan kehidupan di darat dan berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama. Akibatnya, penggunaan bahasa Duanu semakin berkurang, karena masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari,” papar Zainal seperti dikutip di situs web BRIN.
Studi juga menunjukkan, vitalitas bahasa Duanu saat ini berada dalam kondisi terancam, dengan indeks keberlanjutan sebesar 0,35. Beberapa indikator seperti jumlah penutur, dominasi bahasa, sikap masyarakat terhadap bahasa daerah, dan dokumentasi menunjukkan adanya kemunduran signifikan.
Ilustrasi anak belajar bahasa Inggris. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak belajar bahasa Inggris. Foto: Shutter Stock
Salah satu faktor utama yang mempercepat pergeseran ini adalah adanya anggapan bahwa menggunakan bahasa Duanu dapat menimbulkan stigma sosial sehingga masyarakat cenderung mengajarkan bahasa Melayu kepada generasi muda.
“Selain itu, preferensi para orang tua untuk menggunakan bahasa Indonesia adalah agar dapat memperoleh pendidikan yang tinggi dan layak. Oleh karena itu, diperlukan upaya konkret dalam merevitalisasi bahasa Duanu agar tidak semakin tergerus oleh zaman,” ujarnya.
Sementara studi yang dilakukan Rissari Yayuk, Peneliti PR PBS BRIN, yang mengkaji peran leksikon peralatan dapur dalam peribahasa Banjar menemukan bahwa peribahasa Banjar yang mengandung kearifan lokal dan filosofi hidup kini semakin jarang digunakan, terutama oleh generasi muda.
“Kajian ini menunjukkan bahwa terdapat 23 leksikon peralatan dapur yang digunakan dalam 40 peribahasa Banjar, yang menggambarkan kondisi sosial, karakter manusia, dan kehidupan sehari-hari,” papar Rissari.
Karena perubahan pola komunikasi dan modernisasi, penggunaan peribahasa ini semakin berkurang dan dikhawatirkan akan hilang dalam beberapa generasi mendatang, jika tidak dilakukan upaya pelestarian.
“Leksikon peralatan dapur berperan sebagai pembentuk makna metafora dalam peribahasa Banjar yang disesuaikan dengan representasi pengetahuan masyarakat Banjar,” sambungnya.
Sejumlah murid SD Negeri Jakung mengikuti proses belajar mengajar secara daring di pos ronda di tepi jalan supaya bisa mendapat sinyal di Kampung Gunungsari, Serang, Banten, Rabu (29/7). Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah murid SD Negeri Jakung mengikuti proses belajar mengajar secara daring di pos ronda di tepi jalan supaya bisa mendapat sinyal di Kampung Gunungsari, Serang, Banten, Rabu (29/7). Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO
Tak hanya peribahasa Banjar, dalam bidang linguistik deskriptif, Deni Karsana, Peneliti PR PBS BRIN, meneliti struktur frasa dalam bahasa Lauje, sebuah bahasa yang masih minim dokumentasi. Melalui pendekatan analisis sintaksis dan semantik, penelitian ini mengidentifikasi pola tata bahasa dan hubungan antarkata dalam bahasa Lauje.
“Studi menemukan adanya pola frasa endosentris dan ekosentris yang membentuk struktur kalimat bahasa Lauje, dengan klasifikasi berdasarkan jenis kata, seperti nomina, verba, adjektiva, dan numeralia,” ungkap Deni.
Kajian ini menjadi langkah awal dalam memahami bahasa Lauje lebih mendalam serta menyediakan dasar bagi penelitian lanjutan untuk dokumentasi dan konservasi bahasa tersebut.
Studi ini memperlihatkan bahwa tantangan dalam konservasi bahasa daerah tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik, tetapi juga faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Dominasi bahasa mayoritas, stigma sosial terhadap bahasa daerah, serta kurangnya dokumentasi menjadi faktor utama yang mempercepat kemunduran berbagai bahasa daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, kata peneliti, dibutuhkan strategi yang komprehensif, termasuk revitalisasi bahasa melalui pendidikan, dokumentasi yang sistematis, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mempertahankan bahasa daerah sebagai identitas budaya.
Peneliti juga menegaskan, tanpa upaya serius dari berbagai pihak, bahasa daerah yang saat ini terancam punah dapat benar-benar hilang dalam beberapa dekade mendatang. Menurutnya, pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menyusun kebijakan pelestarian bahasa yang efektif, termasuk, integrasi bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan, pengembangan media berbahasa daerah, serta pendokumentasian bahasa melalui penelitian linguistik yang lebih luas.
Dengan demikian, bahasa daerah di Indonesia dapat tetap lestari dan menjadi bagian dari kekayaan budaya yang terus diwariskan kepada generasi mendatang.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.