Masyarakat Bisa Gugat dan Minta Ganti Rugi ke Pertamina Jika Pertamax yang Beredar Oplosan Pertalite
GH News February 26, 2025 03:06 PM

Masyarakat Indonesia yang merupakan konsumen dari PT Pertamina disebut bisa menggugat dan meminta ganti rugi jika Pertamax yang beredar terbukti adalah Pertalite hasil oplosan.

Hal tersebut disampaikan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) saat menanggapi terkait temuan dan dugaan sementara dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 20182023.

Permintaan ganti rugi itu bisa dilakukan melalui mekanisme gugatan yang telah diatur undangundang.

"Konsumen atau masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam perundangundangan."

"Salah satunya dapat secara bersamasama karena mengalami kerugian yang sama," ujar Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (26/2/2025), dari Kompas.com.

Dijelaskan oleh Mufti, berdasarkan UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK), pemerintah atau instansi terkait juga harus turut serta melakukan gugatan karena kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit. 

Apabila dugaan oplosan ini benar, maka para tersangka telah meniadakan hak konsumen.

Seperti hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan.

"Konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, malah mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah," kata Mufti. 

Tindakan para tersangka itu, lanjut Mufti, juga diduga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 

"Dalam kasus ini, diduga konsumen telah memperoleh informasi yang palsu dan menyesatkan karena label RON 92 pertamax yang dibayarkan tetapi ternyata mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah," ujarnya.

Untuk menindaklanjuti dugaandugaan tersebut, BPKN akan segera memanggil Direktur Utama Pertamina untuk meminta klarifikasi atas dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi. 

BPKN juga akan segera melakukan uji sampling terhadap Pertamax yang tengah beredar di SPBU. 

"BPKN bersama Pemerintah (Kementerian ESDM dan BUMN) akan membentuk tim kerja bersama yang melibatkan stakeholder terkait untuk melakukan mitigasi, penyuluhan informasi kepada masyarakat, dan aktivasi mekanisme pengaduan konsumen bagi yang mengalami kendala akibat kejadian ini," urai Mufti.

Sebelumya, Kejagung mengungkapkan dugaan kasus korupsi yang menyeret Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS). 

Di mana, RS diduga melakukan pembayaran produk kilang untuk RON 92 (Pertamax), tetapi BBM yang dibeli adalah jenis RON 90 (Pertalite). 

BBM RON 90 itu kemudian dicampur di Depo untuk menjadi RON 92.

"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax)."

"Padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Dan hal tersebut tidak diperbolehkan," demikian keterangan dari Kejagung, dilansir Kejagung.go.id, Rabu.

Klarifikasi Pertamina

Sementara itu, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, memastikan BBM Pertamax yang dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Indonesia saat ini bukanlah campuran Pertalite.

Dia menegaskan BBM Pertamax yang terjual itu telah memenuhi spesifikasi Migas ron 92.

"Pertamax yang dijual sudah sesuai dengan spek Migas untuk produk dengan RON 92," kata Heppy, Selasa (25/2/2025).

Pernyataan ini muncul setelah terungkapnya dugaan kasus korupsi yang menyeret Riva Siahaan (RS). 

Dalam kasus ini, Kejagung total menetapkan tujuh tersangka.

Akibat perbuatan tujuh tersangka itu, negara mengalami kerugian sebesar Rp193,7 triliun.

Para tersangka itu diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UndangUndang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHP.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka mereka kini ditahan selama 20 hari kedepan.

Berikut daftar ketujuh tersangka beserta perannya dalam kasus korupsi tersebut:

RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga SDS selaku Direktur Feedstock And Produk Optimitation PT Pertamina International YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping AP selaku Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa  DW selaku Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Dalam hal ini, Riva Siahaan bersama SDS dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum. 

Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92). 

Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut diblending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. 

Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan. 

Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.

Dalam hal ini, negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. 

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."

"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."

"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," demikian keterangan dari Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, Senin (24/2/2025).

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.