Artikel ini tentang faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia, semoga bermanfaat.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sistem Tanam Paksa benar-benar menguntungkan bagi Belanda. Tapi di lain pihak, itu merugikan dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Di luar itu, faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia?
Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa alias Cultuurstelsel merupakan sistem penanaman tumbuhan komoditas yang diberlakukan Belanda di Indonesia pada tahun 1830. Yang mengusulkan pelaksanaan culturstelsel di Indonesia yaitu Johannes van den Bosch yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tujuan utama adanya kebijakan tanam paksa di bawah gubernur van den Bosch yaitu menyelamatkan Belanda dari krisis ekonomi. Sebab saat itu kas pemerintah Belanda kosong.
Cultuurstelsel mewajibkan setiap desa menyisihkan tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah mendapat berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870.
Cultuurstelsel muncul karena kebijakan sewa tanah yang diterapkan pada era Raffles tidaklah berjalan seperti yang seharusnya. Bukannya mendapat keuntungan besar, sistem ini justru membawa kerugian dengan menurunnya pendapatan dari hasil pertanian.
Hal tersebut kemudian menjadi dasar van den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa sejak dirinya menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830. Selain itu, kebijakan ini juga dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan yang dialami Hindia Belanda.
Latar belakang penerapan kebijakan tanam paksa oleh kolonial Belanda adalah menutupi kerugian dalam perang di Eropa dan perlawanan rakyat Indonesia. Pada dasarnya, Cultuurstelsel bertujuan untuk mengembalikan kondisi keuangan Belanda selepas krisis usai perang Jawa.
Aturan Sistem Tanam Paksa sebagia berikut:
-Tuntutan kepada setiap rakyat Pribumi agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
- Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
- Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
- Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
- Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah
- Belanda Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Sistem Tanam Paksa tak lepas dari kritik -- bahkan dari kalangan orang Belanda sendiri.
Menurut catatan dari seorang inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis, ia menyebutkan bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan. Berawal dari situ, serangan dari orang-orang non pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir tahun 1840.
Masalah tersebut kemudian diangkat ke permukaan dan menjadi konflik bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi berlebih terhadap bumiputra Jawa.
Kritik terutama datang dari golongan Liberal di negeri Belanda.Dari masalah yang muncul, mereka kemudian berusaha untuk menghapuskan sistem tanam paksa.
Upaya tersebut pun berhasil dilakukan pada 1870 dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet. Selain bertujuan untuk menghapuskan Cultuurstelsel, kaum Liberal juga memiliki tujuan lain, yaitu kebebasan di bidang ekonomi.
Kaum Liberal berpendapat bahwa seharusnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertugas sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, dan menegakkan hukum.
Kritik juga datang dari golonga humanis. Salah satunya datang dariEduard Douwes Dekker, seorang asisten residen di Lebak, Banten.
Douwes Dekker menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat cultuurstelsel dalam bukunya bertajuk Max Havelaar (1980). Namun, di dalam buku tersebut ia menggunakan nama samaran, yaitu Multatuli.
Selain Douwes Dekker, terdapat tokoh lain juga, seperti van Deventer, ia menulis buku berjudul Een Eereschuld yang membocorkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda. Dalam buku tersebut, Deventer menghimbau agar pemerintah Belanda memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya.
Dasar pemikiran dari van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Sistem Tanam Paksa meninggalkan beberapa dampa. Dalam bidang pertanian di antaranya:
-Penananam tanaman komoditas di Hindia Belanda membesar dan luas, yaitu teh, kopi, tebu, dan lain-lain.
- Meningkatkan kesadaran pemerintah kolonial untuk meningkatkan produksi beras.
Sementara di bidang sosial:
- Terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
- Ikatan antara penduduk dan desanya semakin menguat yang justru menghambat perkembangan dari desa itu sendiri.
Lalu di bidang ekonomi:
- Pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk.
- Lebih mengutamakan sistem kerja sama dan gotong royong.
- Terjadinya sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa.
- Timbulnya kerja rodi, yaitu sistem kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak.
- Penduduk desa wajib memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang, dan sebagainya.
Kesimpulan
Jadi, bisa disimpulkan bahwa faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Belanda menghabiskan biaya yang besar karena terlibat dalam peperangan di masa kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa.
2. Terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
3. Belanda menghabiskan biaya sekitar 20 juta gulden untuk menghadapi perang Diponegoro hingga menjadi perang termahal bagi Belanda.
4. Kas Belanda kosong dan utang yang ditanggung cukup banyak.
5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak mencukupi.
6. Kegagalan upaya mempraktikkan gagasan liberal dalam mengeksploitasi tanah jajahan agar memberikan keuntungan yang besar bagi Belanda. Tanam paksa dilakukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri jajahan untuk mengisi kas Belanda.
Begitulah artikel tentangfaktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia, semoga bermanfaat.