TIMESINDONESIA, MALANG – DZ Sandyarto, yang lebih dikenal sebagai Bejo Sandy, berupaya menghidupkan kembali alat musik tradisional Malang yang telah lama terlupakan: Rinding Malang.
Dalam suasana hujan deras di akhir Februari 2025, Bejo Sandy berbagi kisah perjalanannya menemukan kembali Rinding.
Semuanya bermula saat ia aktif di dunia teater bersama kelompok CELOTEH. Ia membutuhkan musik latar untuk memperkaya pementasan, tetapi merasa kurang puas jika hanya mengandalkan musik dari pihak lain.
"Masa kita terus memakai musik orang lain? Takutnya nanti ada masalah hak cipta untuk pementasan teater kita," ujar Bejo.
Dari keresahan itu, ia mulai mencari alternatif dan menemukan Karinding, alat musik harpa mulut khas Sunda.
Awalnya, suara Karinding terasa asing bagi penonton. Namun, seiring waktu, orang-orang mulai terbiasa. Dari situ, Bejo tak hanya menggunakannya dalam teater, tetapi juga bertekad memperkenalkannya lebih luas kepada masyarakat.
Mengungkap Jejak Rinding Malang
Dalam prosesnya, Bejo menemukan bahwa nama Rinding masih samar dalam sejarah Malang karena minimnya dokumentasi. Namun, saat berdiskusi dengan orang-orang tua asli Malang, ia mendapat petunjuk penting.
"Iki mbiyen dolananku pas cilik, nok Malang yo akeh (ini duku mainanky saat kecil, di Malang ya banyak)," kata mereka, mengenang alat musik yang serupa dengan Karinding.
Kumpulan Rinding Malang karya Bejo Sandy (Foto: Instagram @galeribejo)
Kesaksian ini membakar semangat Bejo. Ia mulai menggali lebih dalam, mewawancarai banyak orang tua, dan menemukan bahwa alat musik ini memang pernah ada di Malang, meski dikenal dengan berbagai nama. Mayoritas menyebutnya Rinding.
"Setelah mendengar cerita mereka, saya semakin yakin. Ternyata, Malang punya alat musik yang mirip dengan Karinding. Sejak itu, saya terus menelusuri jejaknya hingga akhirnya menemukan nama Rinding," katanya penuh semangat sambil memegang alat musik tersebut.
Pencapaian dan Pengakuan
Selama lebih dari satu dekade memperkenalkan Rinding Malang, Bejo akhirnya mendapat berbagai pengakuan dan penghargaan, termasuk pencatatan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) di tahun 2020 dengan nomor registrasi 2020009770 dalam domain Seni Pertunjukan.
Harapan untuk Masa Depan
Menurut Bejo Sandy, budaya harus terus dilestarikan agar tetap eksis dalam kehidupan masyarakat. Dalam upaya menjaga warisan ini, ia menekankan tiga faktor kunci. Yang pertama Produksi – Tanpa produksi alat musik, tidak akan ada pemain baru. Kedua Pemain – Keberadaan musisi yang memainkan Rinding sangat penting.
"Ketiga, Dokumentasi Historis – Tanpa pencatatan sejarah, generasi mendatang tidak akan tahu bahwa Rinding pernah ada," ucapnya.
Melalui perjalanannya, Bejo Sandy telah membuktikan bahwa warisan budaya bisa kembali hidup jika ada tekad dan perjuangan.
Ia berharap semakin banyak orang yang tertarik untuk mempelajari dan memainkan Rinding Malang, sehingga alat musik ini kembali mendapat tempat di hati masyarakat. (*)