Insiden tragis yang dialami oleh dua pendaki senior, Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono, di Gunung Carstensz sudah semestinya menjadi pelajaran penting bagi pendakian gunung tertinggi di Indonesia itu. Muncul tuntutan perubahan regulasi pendakian.
Kematian pendaki di Gunung Carstensz bukan pertama kali terjadi. Sebelum Lilie dan Elsa, sudah ada korban yang yang pernah tewas di sana.
Pada 2016, Erik Airlangga, anggota Tim Kartini Freeport mendaki Gunung Carstensz bersama 31 orang. Mereka mendaki untuk memperingati hari Kartini. Badai salju menerjang Carstensz saat itu dan Erik tewas karenanya.
Selanjutnya pada 2018, seorang pemandu bernama Andika Pratama tewas tertimpa batu saat mendaki puncak. Ya, batuan di Gunung Carstensz memang mudah longsor, sehingga dibutuhkan keahlian untuk bisa mendaki ke sana.
Kematian Lilie dan Elsa menambah panjang daftar keangkeran Carstensz. Pertaruhan nyawa pendaki begitu tipis, karena karakteristik GununG Carstensz berbeda dengan gunung lain di Indonesia.
Ketinggiannya yang mencapai 4.884 mdpl, memiliki salju di puncaknya, dan membutuhkan perjalanan panjang mulai dari 2000 mdpl. Para pendaki setidaknya membutuhkan waktu delapan hari melalui hutan tropis yang lembab, berlumpur, dan penuh lintah untuk mencapai titik awal pendakian ke puncak.
Kalau pun memotong jalur dengan helikopter, dengan tiba-tiba berada di Lembah Kuning yang ada di ketinggian 4.200 mdpl, bukanlah perkara mudah. Tubuh membutuhkan aklimatisasi dengan ketinggian tersebut.
Sudah begitu, jalur menuju puncak Jaya bukan jalur pendakian biasa, namun jalur memanjat yang membutuhkan kemampuan teknikal dengan menggunakan tali dengan peralatan lainnya. Jalur ini menuntut kecepatan dan kecermatan para pendaki dalam menghitung waktu pendakian dan saat turun dari puncak. Ditambah lagi cuaca buruk yang menerpa area itu setiap saat.
Hal lain yang membedakan pendakian di Gunung Carstensz adalah perizinan. Para pendaki harus mengantongi izin atau rekomendasi dari aparat kepolisian. Aturan itu tertuang dalam surat Nomor: PG.20/T.27/HMS.2.8/B/04/2024 yang dikeluarkan Balai Taman Nasional Lorentz sebagai pengelola Cartenz di Wamena pada 19 April 2024.
Fandhi Achmad, pendiri operator tur PAT Adventure sekaligus atlet ultra trail Indonesia, mengatakan tragedi itu bakal membuat perizinan semakin sulit diterbitkan. Kepolisian telah memastikan bahwa pendakian ke PUncak Jaya ditutup sementara hingga waktu yang tidak ditentukan.
"Sudah ada permintaan ke kita, tapi kita lagi lihat dulu masalah perizinan helikopter dan lain-lain, kita mau lihat dulu ini berjalan enggak. Apalagi ada kejadian ini, bisa jadi penghambat (pendakian) di masa depan," kata dia.
Sebagai anggota dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI), ia telah meminta agar asosiasi membuat regulasi yang jelas di masa depan.
"Saya sudah bilang ke asosiasi, ini harus dibikin regulasinya. Mendaki ke Carstensz itu bukan cuma asal punya duit," ujar dia.
Ia menegaskan bahwa Carstensz bukan untuk pendaki pemula. Kecelakaan yang terjadi membuat rasio kematian lebih bedar dari Everest.
"Dari rasio kematian udah enggak wajar, kalau diterusin nambah nih. Saya minta lakukan persiapan yang benar, kalau cuma naik gunung untuk kebutuhan konten, akan banyak yang meninggal. Mereka bisa selamat kalau cuaca bagus, kalau cuaca buruk ya, meninggal," kata dia.
Diakui atau tidak kebutuhan konten membuat pendakian ke gunung-gunung Indonesia menjadi incaran, apalagi Gunung Carstesz. Fandhi berharap agar ke depannya, mereka yang ingin mendaki bisa belajar tentang pendakian dengan benar.
"Carstensz bukan gunung yang gampang, butuh persiapan khusus, enggak cukup asal mau melangkah bisa sampe, butuh fikik, mental, dan basic rock climbing. Jadi kalau naik Carstensz harus prepare itu semua," dia menegaskan.
Carstensz adalah gunung teknikal yang sudah diakui banyak pendaki di forum-forum Seven Summit dunia sebagai satu-satunya gunung climbiing peak yang mematikan.