Rumah Sakit Kadipolo tak bisa dilepaskan dari sosok Radjiman Wedyodiningrat, dokter sekaligus tokoh pergerakan nasional. Sayang, kondisinya sekarang memprihatinkan.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Reputasi bekas Rumah Sakit Kadipolo sebagai bangunan angker tak diragukan lagi. Padahal dulu, di sinilah tempat dokter Radjiman Wedyodiningrat, dokter sekaligus tokoh pergerakan nasional, praktik.
Letaknya di Jalan Dr. Rajiman No. 315, Rumah Sakit Kadipolo adalah rumah sakit umum milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Pendirinya adalah KSIS Paju Buwono X.
Mengutip Budaya-data.kemdikbud.go.id, pada mulanya bangunan itu diperuntukkan sebagai poliklinik bagi para abdi dalem keraton yang dinamakan Panti Raga. Tapi lambat laut, peruntukannya meluas, seiring dengan dibangunnya Rumah Sakit Jiwa Mangunjaya pada 1916.
Masih dari sumber yang sama, RS Kadipolo berdiri pada 1915. Ketika itu pendirian rumah sakit ini untuk mengobati wabah penyakit pes yang melanda wilayah Kasunanan Surakarta.
RS Kadipolo didirikan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X. Seperti disebut di awal, awalnya bangunan ini didirikan khusus untuk poliklinik para abdi dalem Keraton.
Tahun 1960, pihak Keraton menyerahkan RS Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan beserta seluruh pegawai dan perawatnya kepada Pemda Surakarta karena kesulitan keuangan. Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan RS Kadipolo dengan RS Jebres dan RS Mangkubumen, di bawah satu direktur yaitu dr. Sutejo.
Kemudian masing-masing rumah sakit mengadakan spesialisasi, RS Jebres untuk anak-anak, RS Kadipolo untuk penyakit dalam dan kandungan, serta RS Mangkubumber untuk korban kecelakaan.
1 Agustus 1976 diadakan pemindahan pasien dari RS Kadipolo ke RS Mangkubumen sebagai persiapan berdirinya SPK (Sekolah Pendidikan Keperawatan). Pemindahan pasien selesai pada awal April 1977.
24 April 1977 SPK resmi berdiri dengan menempati bangunan RS. Kadipolo. Sejak tahun 1985 bangunan tersebut menjadi milik klub sepakbola Arseto sebagi tempat tingal dan mess bagi para pemain Arseto Solo. Namun kini sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tak terawat.
Dokter dan juga tokoh pergerakan nasional, Radjiman Wedyodiningrat dulu juga pernah praktik di RS Kadipolo. Selain fasih dalam urusan kedokteran, Radjiman adalah salah satu tokoh kebangkitan nasional.
Dia terlibat dalam sejumlah organisasi pergerakan nasional, mulai dari Budi Utomo hingga Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sebaliknya, aktif dalam organisasi pergerakan nasional tidak membuatnya lalai dalam tugas sebagai dokter.
Radjiman juga bukan dokter sembarangan, dia adalah dokter lulusan Sekolah Dokter Tinggi di Amsterdam dan tercatat sebagai dokter Keraton Solo.
Radjiman Wedyodiningrat lahir di Desa Melati, Kampung Glondongan, Yogyakarta pada tanggal 21 April 1879. Walaupun lahir di Jogja, Radjiman memiliki darah Gorontalo dari ibunya.
Ayahnya adalah Sutodrono. Dia masih tercatat sebagai saudara tokoh nasional Wahidin Sudirohusodo. Jadi, Radjiman adalah keponakan Wahidin.
Lahir dari keluarga biasa, membuat Radjiman harus ditempat beratnya kehidupan sejak kecil. Dalam satu catatan disebutkan Radjiman awalnya hanya mengikuti pelajaran dari luar jendela kelas saat mengantar anak Dokter Wahidin.
Lalu guru Belanda yang iba akhirnya mempersilakan Radjiman untuk masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Radjiman berhasil menyelesaikan pendidikan di Europese Lagere School (ELS) pada tahun 1893.
Radjiman kemudian melanjutkan studi di STOVIA atau Sekolah Dokter Jawa di Batavia, dan berhasil lulus pada tahun 1899. Sejak saat itu, Radjiman mendapat tugas kedokteran dari pemerintah Hindia Belanda ke beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kota-kota yang pernah menjadi tempat tugas Radjiman antara lain Banyumas, Purworejo, Semarang, Madiun, Sragen, dan Lawang. Pada 1905, Radjiman memutuskan mengundurkan diri sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda.
Dia memilih mengabdikan diri sebagai dokter Keraton Solo atau Kasunanan Surakarta yang saat itu dipimpin Pakubuwono X. Jasa dan pengabdian Radjiman Wedyodiningrat dilingkungan keraton membuat Pakubuwono X memberikan gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).
Tak hanya itu, Radjiman juga mendapat kesempatan belajar ke luar negeri dengan dibiayai dari keraton. Radjiman mengenyam pendidikan di Amsterdam, Belanda dan mendapat gelar Europees Art pada tahun 1910.
Dia kemudianmelanjutkan studi di bidang Ilmu Kebidanan di Berlin, Jerman. Lalu kembali ke Amsterdam untuk memperdalam Ilmu Rontgenologie pada tahun 1919.
Seperti disinggung di awal, Dokter Radjiman punya hubungan yang begitu dengan RS Kadipolo. Dalam skripsi Gusmiyuda Pri Martin yang berjudul "Revitalisasi Cagar Budaya Ex Rumah Sakit Kadipolo Solo Sebagai Museum Kesehatan Berbasis Wallness Tourism" disebutkan hahwa RS Kadipolo adalah satu dari tiga rumah sakit tertua di Solo.
Dua lainnya adalahZending Ziekenhuis (Rumah Sakit Jebres) dan Ziekenzorg Ziekenhuis (Rumah Sakit Mangkubumen).
Dua rumah sakit itu kebanyakan melayani golongan atas, golongan Eropa saja. Akibatnya, golongan Pribumi kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan. Untung saja, beberapa tahun kemudian berdiri rumah sakit untuk pribumi.
Tapi sebelum itu, sebagaimana dikutip dari National Geographic Indonesia, penguasa Kasunanan Surakarta saat itu, Sunan Pakubuwono X, mempunyai sorang dokter pribumi yang terkenal tangkas dan pemberani.
Dokter itu bernamaRadjiman Wedyodiningrat. Radjiman, yang sudah menjadi dokter keraton sejak 1905, kemudian menggagas klinik yang khusus untuk melayani para abdi dalem keraton yang diberi nama Panti Hoesodo. Tak hanya itu, pribumi yang kurang mampu juga boleh berobat di situ.
Tak berhenti sampai situ,Radjiman lalu mengusulkan kepada Pakubuwana X untuk membuka pelayanan kesehatan publik khusus untuk pribumi. Usul itu kemudian terwujud pada 1915 dalam bentuk klinik bernama Panti Rogo yang terletak di Kadipolo.
Oleh masyarakat setempat, tempat itu dikenal sebagai Rumah Sakit Kadipolo.
Tak hanya mewujudkan usul Dokter Radjiman, PB X juga menunjuknya memimpin rumah sakit. Di sinilah segala keahlian Dokter Radjiman dikerahkan dan dikeluarkan. Tak sekadar melayani, Dokter Radjiman juga membuka kursus kebidanan dankandungan bagi pribumi setempat yang ia beri nama voedvrouw.
Di RS Kadipolo, Dokter Radjiman mengabdi hingga 1934. Saat usianya memasuki 55 tahun, dia memutuskan pensiun. Tugasnya diterukan oleh dokter-dokter pribumi lainnya.
Sayang, tak lama setelah Dokter Radjiman pensiun, dilanjutkan dengan PB X yang turun takhta, RS Kadipolo perlahan-perlahan meredup sinarnya. Pada 1960, RS Kadipolo diserahkan kepada pemerintah Kota Surakarta.
Lalu pada1977, hak kepilikan RS Kadipolo jatuh ke pihak swasta yang hendak mendirikan Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) Kesehatan. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 1982, RS Kadipolo dikosongkan karena terjadi pemindahan ke Mojosongo oleh Departemen Kesehatan Pusat.
Setelah kosong, bangunan bekas rumah sakit kemudian beralih fungsi dan dijadikan mess klub sepakbola Arseto Solo. Di sinilah bakat-bakat terbaik sepakbola Indonesia lahir. Dari Ricky Yacobi hingga Rochy Putiray.
Sayang, pada 1998 Arseto bubar. Dan sejak saat itulah bangunan itu tak berpenghuni dan lama-kelamaan lapuk dimakan tumbuhan. Yang tersisa sekarang adalah kesan horor dan angker, bagian-bagian bangunannya juga hancur dimakan lumut.
Statusnya yang sudah menjadiBangunan Cagar Budaya (BCB) membuat banyak pihak kesulitan untuk mengakuisisinya. Begitulah riwayat bekas Rumah Kadipolo tempat praktinya Radjiman Wedyodiningrat, dokter sekaligus tokoh pergerakan nasional.