Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK), Syahril Syafiq Corebima, menyoroti imunitas jaksa yang diatur dalam UndangUndang (UU) Kejaksaan, khususnya Pasal 8 Ayat 5.
Dalam Diskusi Publik bertema “Tom Lembong, Keadilan, dan Imunitas Jaksa”, yang diselenggarakan secara daring oleh Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD), fia menilai aturan tersebut memberikan kekuasaan berlebih bagi Kejaksaan.
“Seperti yang kita ketahui, imunitas jaksa dalam UU Kejaksaan saat ini menjadi sorotan. Di kalangan mahasiswa, hal ini juga menjadi bahan diskusi, terutama terkait Pasal 8 Ayat 5 yang menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, hingga penahanan jaksa hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Jaksa Agung,” kata Syahril, Jumat (14/3/2025).
Dia menilai ketentuan ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) karena memberikan perlakuan khusus kepada jaksa dibandingkan aparat penegak hukum lainnya.
“Jika seorang jaksa melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum lain seperti kepolisian harus menunggu persetujuan Jaksa Agung sebelum bisa melakukan pemeriksaan. Ini tentu memberikan ruang bagi oknum jaksa untuk melarikan diri atau menghindari proses hukum,” kata dia.
Lebih lanjut, Syahril menyatakan bahwa hak imunitas memang diperlukan bagi jaksa, tetapi hanya dalam konteks menjalankan tugas secara profesional, bukan sebagai tameng dari tindakan yang menyimpang.
“Saya pikir hak imunitas terhadap jaksa itu sudah cukup jelas, yakni dalam hal mereka menjalankan tugas secara profesional, mereka tidak bisa dituntut," kata dia.
"Tapi ketika seorang jaksa melakukan tindak pidana, lalu harus menunggu izin Jaksa Agung sebelum diperiksa, ini jelas memberikan perlindungan yang tidak wajar bagi mereka,” papar Syahril.
Menurutnya, jika aturan ini tidak direvisi, maka penyalahgunaan wewenang dalam tubuh Kejaksaan bisa semakin marak.
“Lalu ketika Pasal 8 Ayat 5 ini tetap berlaku, sudah barang tentu penyalahgunaan kewenangan di dalam tubuh Kejaksaan itu akan terus terjadi. Karena ini memberikan jaksa ruang untuk menjadi lembaga yang ‘super power’,” ujarnya.
Dia pun menegaskan perlunya revisi terhadap aturan tersebut agar tidak menciptakan ketimpangan dalam penegakan hukum.
“Sehingga perlu adanya pertimbangan bagaimana Pasal 8 ini dapat diubah agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Jangan sampai Kejaksaan malah menjadi lembaga yang tak tersentuh hukum,” tandasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung merespons soal pelaporan yang dilayangkan terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seperti diketahui Febrie dilaporkan ke KPK oleh sejumlah orang dari Koalisi Masyarakat Sipil atas tuduhan lakukan korupsi saat menangani sejumlah perkara besar.
Menyikapi hal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan bahwa pihaknya akan terlebih dahulu mempelajari seperti apa laporan yang dilayangkan terhadap Febrie ke KPK tersebut.
Pasalnya menurut dia pelaporan yang terjadi saat ini bukan pertama kali pihaknya rasakan ketika tengah menangani suatu perkara.
"Yang pertama tentu kami akan mempelajari dulu ya, seperti apa laporannya. Karena terkait laporan seperti ini bukan yang pertama kali," kata Harli kepada wartawan, Rabu (12/3/2025).
Kendati demikian, Kejagung memastikan tetap berkomitmen dalam penegakan hukum terutama terkait tindak pidana korupsi.
Sebab lanjut Harli, hal itu juga bagian dari perintah Jaksa Agung ST Burhanuddin selaku pimpinan Korps Adhyaksa.
Tak hanya itu, Harli pun juga menyiratkan bahwa pelaporan terhadap Febrie ini merupakan bentuk perlakuan yang tidak adil.
"Bagi kami, satu orang insan Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil, itu sama dengan seluruh institusi," tegasnya.
Sebagaimana diketahui Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melaporkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun Koalisi tersebut terdiri dari Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Indonesian Police Watch (IPW) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).
Jampidsus Febrie Adriansyah dilaporkan ke KPK atas empat dugaan tindak pidana korupsi terkait penanganan kasus korupsi, di antaranya kasus Jiwasraya, perkara suap Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar, penyalahgunaan kewenangan tata niaga batubara di Kalimantan Timur dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang).