BANJARMASINPOST.CO.ID - SESUAI Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Selatan (Kalsel) mengingatkan perusahaan untuk mematuhi aturan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2025. Sesuai aturan, THR wajib dibayarkan selambat-lambatnya H-7 Lebaran.
Melalui SE juga dijelaskan bahwa perusahaan harus membayarkan THR yang merupakan hak pekerja secara penuh dan tidak boleh dicicil.
Guna mengantisipasi adanya perusahaan yang tidak memberikan hak pekerja ini, Disnakertrans Kalsel juga telah membuka posko pengaduan bagi pekerja yang mengalami kendala dalam penerimaan THR, baik tak terbayar, tertunggak maupun dicicil.
Kepala Disnakertrans Kalsel, Irfan Sayuti bahkan secara tegas mengatakan bahwa perusahaan yang tidak membayarkan THR sesuai ketentuan akan dikenai sanksi, mulai dari teguran hingga pembatasan kegiatan usaha.
Dan untungnya, di Banua hingga Jumat (14/3/2025), belum ada laporan adanya perusahaan yang mengaku tak mampu membayar THR.
Pertanyaannya kemudian, efektifkah posko semacam ini? Di satu sisi, inilah bentuk perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan pekerja. Namun di sisi lain, dengan statusnya yang pasif yang hanya menerima laporan di posko, bisa jadi banyak pelanggaran di luar sana yang tidak terpantau.
Sudah saatnya pemerintah hadir dengan pemantauan langsung ke perusahaan-perusahaan. Pemantauan bisa dilakukan oleh tim atau katakan satuan tugas (satgas) yang bisa juga melibatkan serikat pekerja.
Analoginya seperti BPOM atau dinas terkait di pemerintahan yang saat ini sibuk turun ke lapangan mengecek bahan makanan di pasar. Mereka rajin merazia makanan di pasar wadai Ramadan, untuk memastikan makanan yang dikonsumsi masyarakat memenuhi syarat.
Temuan adanya makanan yang mengandung bahan pewarna berbahaya, umpamanya, didapat dari hasil mereka turun ke lapangan. Bukan semata BPOM yang membuka posko aduan.
Adapun dari informasi kepala Disnakertrans Kalsel, tahun lalu ada delapan aduan yang masuk ke mereka. Sementara secara nasional, Kemnaker menerima 1.539 pengaduan dari sebanyak 965 perusahaan.
Kalau kemudian disebut, angka delapan aduan di lokal tersebut minim. Bisa jadi, minimnya laporan karena pekerja tidak tahu harus kemana mengadukan nasibnya. Atau mereka menerima THR tidak sesuai ketentuan, tapi malas berurusan dengan birokrasi yang dianggap berbelit.
Nah, ketika pemerintah hadir langsung melakukan pemantauan, istilah umumnya jemput bola, kondisi semacam itu bisa ditemukan. Pemerintah bisa lebih aktif untuk memerikan jaminan kesejehteraan dan jaminan hak-hak dasar warganya. (*)