TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di tengah derasnya arus modernisasi, seni ukir khas Bali di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi tetap bertahan berkat kegigihan Kayan Eka Mahardika.
Seniman berusia 38 tahun ini tak hanya menjaga warisan budaya leluhurnya, tetapi juga terus berkarya di tanah yang disebut sebagai “Secuil Bali di Banyuwangi”.
Darah Seni yang Mengalir Sejak Kecil
Lahir dan besar di Desa Patoman, Eka telah mengenal seni ukir sejak kecil. Sejak lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia mulai serius menekuni seni ukir khas Bali, terinspirasi dari para pengukir Bali yang sering ia lihat.
"Saya dulu senang melihat orang Bali yang sedang mengukir, jadi saya ingin belajar," ujar Eka, Sabtu (15/3/2025).
Tak cukup belajar secara otodidak, Eka rela menimba ilmu langsung dari para pengukir di Bali. Ia merasakan sendiri jatuh bangun dalam memahami teknik ukir, mulai dari menggambar pola hingga menghasilkan pahatan yang indah dan bernilai seni tinggi.
"Menggambar pola itu yang agak rumit, karena harus menyatu dengan pahatan yang dibuat. Setelah itu, memahatnya tinggal mengikuti alur," jelasnya.
Seni Ukir Sebagai Mata Pencaharian
Kecintaan Eka pada seni ukir kini menjadi sumber penghidupannya. Ia menerima berbagai pesanan, mulai dari souvenir gantungan kunci, patung, topeng, hingga ukiran pintu dan ornamen khas Bali. Salah satu karyanya bahkan pernah dipesan untuk acara Festival Kebangsaan Banyuwangi.
Namun, Eka mengakui bahwa seni ukir tidak bisa ditekuni secara instan. Butuh ketekunan, kesabaran, dan waktu yang lama untuk menguasai berbagai tingkatan teknik ukir.
"Belajar seni ukir membutuhkan waktu lama, biasanya tahunan. Mungkin karena itu, banyak anak muda sekarang enggan belajar," ujarnya.
Harapan untuk Generasi Muda
Sayangnya, generasi muda di Desa Patoman mulai kehilangan minat terhadap seni ukir. Menurut Eka, banyak yang lebih memilih pekerjaan instan dibandingkan proses panjang dalam belajar seni.
"Anak sekarang berpikir pekerja seni sulit mendapatkan uang. Mereka ingin kerja yang langsung dapat uang," katanya.
Meski begitu, Eka tetap berharap seni ukir khas Bali di desanya tidak punah. Ia ingin melihat pemuda-pemudi Desa Patoman tetap bangga dan melestarikan warisan leluhur mereka.
"Semoga tidak lupa dengan jati diri budayanya. Saat kita bisa bekerja dari hobi, itu akan terasa sangat nyaman," pungkasnya. (*)