TIMESINDONESIA, JAKARTA – Institute for Humanitarian Islam menggelar Iftar Talk dengan mengundang pembicara seperti Penasihat Presiden Palestina Mahmoud Al-Habbash, Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla.
Kegiatan yang diselenggarakan Institute for Humanitarian Islam pada Selasa (18/3/2025) ini mengusung tema "Masa Depan Palestina: Dampak Kebijakan Presiden Trump".
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyampaikan bahwa dukungan masyarakat dunia perlu dilakukan dengan menunjukkan solidaritas dan keprihatinan di media sosial. Hal ini untuk mendorong perubahan kebijakan negara-negara Barat.
"Dengan memberdayakan rakyat Amerika Serikat untuk melakukan tindak konstitusional di negaranya adalah salah satu opsi. Ini penting kita lakukan. Terus memviralkan tindakan kejam dari tentara Israel dari PM Netanyahu ke media sosial," ujar sebutnya.
Hal serupa juga disampaikan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla yang menilai kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump cenderung membungkam gerakan demonstrasi di Amerika. Hal itu antara lain dilakukan dengan penangkapan aktivis Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa Universitas Columbia yang dianggap menjadi aktor intelektual di balik gelombang dukungan untuk Palestina dan protes terhadap kebijakan Amerika untuk Israel.
"Di era Trump saat ini terlihat ada upaya memberangus opini simpati kepada Palestina," kata Ulil.
Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa dukungan terhadap Palestina merupakan satu amanat pendirian Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya dalam sambutannya mengawali diskusi saat Iftar Talk yang diselenggarakan Institute for Humanitarian Islam di Jakarta pada Selasa (18/3/2025).
“Masalah Israel Palestina bagian dari concern Proklamasi Kemerdekaan. Kita mau merdeka bukan hanya merdeka sendiri tapi melihat bangsa dunia juga merdeka,” ucap Ketum PBNU Gus Yahya dalam sambutannya.
Gus Yahya menjelaskan, bangsa Indonesia didirikan dengan visi yang terkonsep sangat baik menyangkut masa depan peradaban global. Bangsa Indonesia didirikan tidak hanya pada aspirasi eksklusif Indonesia saja. Hal itu, lanjut Gus Yahya, termaktub di dalam rumusan dokumen fondasional.
“Kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan perikeadilan,” jelas Gus Yahya menyebutkan Pembukaan UUD 1945.
Atas dasar itu, Gus Yahya mendorong agar rujukan utama gerakan bangsa Indonesia ini tidak boleh lepas dari visi peradaban global.
“Secara lebih praktis operasional, tujuan didirikannya pemerintahan salah satunya untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia,” ungkapnya.
“Seterusnya itu menjadi rujukan utama dan tidak boleh lepas dari visi Indonesia,” tandas Gus Yahya. (*)