TRIBUNNEWS.COM - Kasus penemuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Desa Argosari, Kecamatan Senduro terungkap setelah adanya larangan menerbangkan drone yang ramai di media sosial.
Menanggapi kabar tersebut, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Rudijanta Tjahja buka suara.
Pihaknya menepis anggapan yang mengaitkan tarif penggunaan drone dengan penemuan ladang ganja.
Dalam pernyataan resmi yang diterima, Rudijanta menjelaskan larangan menerbangkan drone di kawasan TNBTS telah diberlakukan sejak 2019.
Aturan tersebut tercantum dalam standar operasional prosedur (SOP) Nomor.SOP.01/T.8/BIDTEK/BIDTEK.1/KSA/4/2019 tentang Pendakian Gunung Semeru di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Dalam aturan tersebut, tertulis larangan penggunaan drone bertujuan agar para pendaki tetap fokus selama perjalanan.
Pihaknya juga menegaskan, lokasi ladang ganja di sekitaran Bromo berada cukup jauh dari kawasan wisata.
"Lokasi tersebut (temuan ganja) berada di sisi timur Kawasan TNBTS. Sedangkan Wisata Gunung Bromo berada di sisi barat dengan jarak sekitar 11 kilometer. Serta jalur pendakian Gunung Semeru berada di sisi selatan dengan jarak sekitar 13 kilometer," katanya.
Sementara itu, Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni mengatakan bahwa staf di lingkup Kementerian Kehutanan dan taman nasional tidak ada yang menanam ganja di kawasan TNBTS.
Ia menekankan bahwa stafnya lebih memilih menanam singkong daripada ganja.
"Inshaallah staf kami tidak ada yang menanam yang begitu (ganja), paling menanam singkong," kata Menhut Raja saat ditemui di Jagat Satwa Nusantara, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Selasa (18/3/2025).
Ia juga menegaskan, penutupan wilayah dan pembatasan penggunaan drone di Taman Nasional tidak ada kaitannya dengan ditemukannya ladang ganja di Bromo.
"Itu tidak terkait dengan penutupan taman nasional, kan isunya sengaja ditutup supaya tanam ganjanya tidak ketahuan. Justru drone yang dimiliki oleh teman-teman Taman Nasional yang menemukan titiknya," jelas Raja Juli, dikutip dari Kompas.com.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengungkapkan, ladang ganja di TNBTS pertama kali ditemukan pada September 2024.
Sidang kasus penemuan ganja di kawasan TNBTS tersebut digelar oleh Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Senin (18/3/2025).
Dalam kasus ini melibatkan empat terdakwa. Mereka adalah Bambang, Ngatoyo, Tomo, dan Tono.
Namun, Ngatoyo meninggal dunia akibat sakit saat proses persidangan berlangsung.
Keempat terdakwa tersebut diketahui merupakan warga Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Saat ini, pihak kepolisian tengah memburu seorang warga bernama Edy. Namanya beberapa kali kerap disebut dalam persidangan oleh para terdakwa.
Edy diduga sebagai aktor intelektual penanaman ganja di wilayah tersebut.
Kini nama Edy telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Salah satu terdakwa, Bambang, mengatakan bahwa Edy merayunya dengan upah Rp 150 ribu agar mau bekerja di ladang ganja tersebut.
"Saya dijanjikan upah Rp 150 ribu per hari oleh Edy," ujar Bambang di hadapan majelis hakim yang diketuai Redite Ika Septiana, dilansir dari Surya.co.id.
Bambang mengutarakan dirinya diberi tugas oleh Edy untuk merawat tanaman ganja di lokasi yang telah ditentukan.
Di hadapan majelis hakim, ia mengakui bahwa keterampilan menanam ganja diperolehnya langsung dari Edy, yang saat ini berstatus sebagai buronan.
"Cara menanam memupuk semua diberitahu. Setiap ke lokasi itu bawa pupuk," bebernya.
Saat ditanya mengenai keberadaan Edy, Bambang menyatakan bahwa ia tidak mengetahuinya.
Kepada majelis hakim, Bambang mengungkap ciri-ciri fisik sang pelaku utama.
Edy diketahui sehari-hari bekerja sebagai petani sekaligus pedagang sayuran. Ia merupakan penduduk Dusun Pusung Duwur.
"Edy orangnya (berkulit) putih, berkumis," jelasnya singkat.
Sedangkan, terdakwa Tomo menuturkan alasan dirinya tergiur masuk dalam sindikat ladang ganja karena ekonomi.
Karena penghasilannya sebagai petani tidak mencukupi, ia akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran dari Edy.
"Kalau saat panen upah yang dijanjikan mencapai Rp 4 juta setiap kali panen," beber Tomo.
Senada dengan 2 terdakwa lainnya, terdakwa Tono dengan tegas menyatakan bahwa upah yang dijanjikan tak pernah ia terima hingga akhirnya ia ditangkap oleh polisi.
"Sampai sekarang saya tak pernah menerima upah. Seperti semuanya diperdaya saja oleh Edy," tutur Tono.
Para terdakwa mengaku tidak menyadari bahwa ladang ganja tempat mereka bekerja atas arahan Edy berada di kawasan konservasi TNBTS.
"Selama ini bebas masuk keluar hutan tak ada penjagaan," ujar para terdakwa.
Sementara itu, Hakim Ketua Redite Ika Septiana menyarankan agar sketsa wajah pelaku utama yang masih buron disebarluaskan di wilayah Desa Argosari.
"Foto Edy ini bisa dipasang di pintu-pintu masuk desa (Argosari)," pesan Redite.
Di sisi lain, sidang lanjutan terkait kasus ladang ganja di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur, akan digelar pada dua pekan mendatang.
Sidang berikutnya akan berkonsentrasi pada pemeriksaan saksi, termasuk keluarga para terdakwa serta pihak-pihak yang berkaitan dengan kasus ini.
(Falza) (Surya.co.id/Erwin Wicaksono) (Kompas.com/Suci Wulandari Putri Chaniago)