TIMESINDONESIA, JAKARTA – Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) menggelar diskusi publik bertajuk Berebut Kuasa Penyidikan, Membaca Hidden Goal di Balik RUU KUHAP di Universitas Islam Jakarta (UIJ), Rabu (19/3/2025). Acara ini dihadiri oleh perwakilan berbagai universitas di Jakarta dan menghadirkan akademisi Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi, sebagai narasumber.
Dalam pemaparannya, Erfandi secara tegas menyatakan dukungannya terhadap pengesahan RUU KUHAP yang baru. Menurutnya, rancangan KUHAP yang baru lebih baik dibandingkan dengan KUHAP yang berlaku sejak 1981.
"Terkait dengan RUU KUHAP, kita harus melihatnya dengan jernih. Ini adalah langkah perbaikan hukum pidana kita, dan saya mendukung penuh agar segera disahkan," ujarnya kepada TIMES Indonesia, Jumat (21/3/2025).
Erfandi menambahkan bahwa meskipun ada pro dan kontra, draf RUU KUHAP yang memuat 334 pasal merupakan bentuk perbaikan hukum. Ia mencontohkan perubahan signifikan dalam pasal terkait kekerasan seksual.
"Jika sebelumnya, dalam kasus hubungan seksual suka sama suka tidak bisa diproses hukum meskipun pihak keluarga tidak setuju, kini dalam RUU KUHAP yang baru, laporan semacam itu dapat diajukan ke pihak berwenang," jelasnya.
Namun, di balik dukungannya terhadap RUU ini, Erfandi juga menekankan pentingnya memperkuat posisi polisi dalam sistem penyidikan, tetapi dengan batasan yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).
"Polisi memang perlu diperkuat, tetapi harus ada pembatasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan seperti yang terjadi pada KUHAP sebelumnya. Dalam pasal 23, misalnya, disebutkan bahwa jika laporan tidak diterima oleh penyidik, pelapor dapat mengajukan laporan ke penyidik di atasnya atau ke pengawas dalam jangka waktu 14 hari," tutupnya.
Diskusi ini membuka wawasan peserta terkait berbagai aspek dalam RUU KUHAP, khususnya dalam aspek penyidikan dan perlindungan hak-hak masyarakat dalam sistem hukum pidana yang lebih transparan dan akuntabel. (*)