Ada satu lagi masjid yang cocok untuk iktikaf pada 10 malam terakhir Ramadhan. Inilah Masjid Cipto Mulyo, masjid tertua di Boyolali yang dibangun oleh Pakubuwono X.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Tak masjid tertua di Kabupaten Boyolali, Masjid Cipto Mulyo Pengging juga masih pertama yang dibangun oleh Kasunanan Surakarta. Masjid ini dibangun oleh Sunan Pakubuwono X pada 1905.
Pakubuwono X sendiri adalah biangnya pembangunan dalam sejarah Keraton Sukarta. Ikon-ikon Kota Solo yang kita kenal sekarang banyak dibangun olehnya.
Usia Masjid Ciptomulyo saat ini sudah seabad lebih. Meski begitu,struktur bangunan masjid ini masih sangat kokoh.
Yang menjadi khas dari masjid peninggalan PB X ini adalah desain Jawa kuno yaitu berbentuk limasan dan menyerupai pendopo. Pada bagian depan atas pintu masuk terlihat tanda bertuliskan Pakubuwono X, sebagai tanda bahwa masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X.
Mengutip Kompas.TV, bangunan MasjidCiptomulyo terdiri atas dua bagian: serambi masjid dan ruang utama masjid. Untuk beduk dan kentongan merupakan asli peninggalan Sunan Pakubuwono X, hingga saat ini masih utuh dan masih dipergunakan karena masih berfungsi dengan baik.
"Sebelum merdeka, masjid ini sudah berdiri, jadi kalau dihitung usianya sudah 119 tahun kurang lebih 1 abad 19 tahun. Keadaan bangunan masih kokoh sampai sekarang, ini peninggalan Sunan Pakubuwono X," ujar Achmadi Harjono, imam Masjid Ciptomulyo, kepada Kompas TV.
Keunikannya lainnya, masjid ini mempunyai arah kiblat yangmengarah barat daya, karena bangunan masjid mengarah ke tenggara. Hal ini menjadikan arah kiblat tidak seperti masjid pada umumnya.
Agar pengunjung maupun jamaah dari luar Kabupaten Boyolali tidak kebingungan, pada bagian lantai paling depan terdapat gambar kompas yang menunjuk arah kiblat.
Penamaan masjid juga beda pada umumnya yang rata-rata menggunakan bahasa Arab. Masjid ini justru menggunakan bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata cipto dan mulyo yang berarti diciptakan agar mulia baik dunia maupun akhirat.
Mengutip Dila Puspitasari dalam tulisannya "Refleksi Filosofi Masjid Cipto Mulyo sebagai Ruang Spiritual dan Budaya Bagi Generasi Z" yang tayang di sejarah.fkip.uns.ac.id, pembangunan Masjid Cipto Mulyo oleh PB X erat kaitannya dengan pembangunan Pesanggrahan Ngeksi Purna.
"Masjid ini dibangun dengan tujuanagar ketika Kanjeng Sunan Pakubuwana X beserta para abdi keraton berkunjung ke Pengging, mereka dapat menunaikan ibadah di masjid yang dekat dengan tempat peristirahatan atau yang biasa disebut dengan Pesanggrahan Ngeksi Purna," tulis Dila.
Kenapa Pengging begitu istimewa bagi Keraton Surakarta, menurutpemerhati sejarah Kota Solo KRMAP L. Nuky Mahendranata Adiningrat, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com, Pengging adalah tanah yang diberkahi.
Dia bilang, jauh sebelum ada pesanggrahan, tanah Pengging sudah menjadi pusat peradaban manusia. Pada masa Medang,Prabu Anglingdriya sudah menjadi Pengging sebagai pusat peradaban.
Tak hanya itu, Pengging juga diberkahi dengan sumber air melimpah, udaranya juga sejuk.
Alasan lainnya, PB X menjadi Pengging sebagai miniatur Keraton Surakarta karena mengikuti jejak leluhurnya. Pesanggrahan Ngeksi Purna kemudian dibangun PB X pada 14 Juli 1908 ini diberi nama Ngeksipurna.
"Untuk Melengkapi Pesanggrahan itu, dibangun pula Masjid Cipto Mulyo dan tentu saja pemandian keluarga Raja yang dinamai Tirtamarta," tambahnya. Sebelum dibangun, umbul yang ada masih berupa sendang-sendang (sumber mata air) yang masih alami.
Di dalam kompleks pemandian Tirtomarto ini raja kerap menggunakan Umbul Ngabean untuk mandi. Itulah mengapa, ketika mandi di pemandian Tirtomarto (atau yang sekarang dikenal sebagai Umbul Pengging) sensasinya seperti mandi ala raja.
Menjadi bagian dari pesanggrahan itu adalah Umbul Pengging, sebuah kompleks pemandian yang dibangun oleh PB X yang sekarang masuk wilayah Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali.
Konon, pemandian itu dulunya adalah tempat raja dan keluarganya bersantai. Itu bisa kita lihat dari keberadaan bangunan tempat peristirahatan yang tak jauh dari pemandian itu.
Karena tempat peristirahatan raja, tentu dulu pemandian ini tidak dibuka untuk umum. Tapi seiring berjalannya waktu, masyarakat luas bisa menggunakannya.
Pengging tentu bukan nama baru dalam sejarah Indonesia, terutama yang terkait dengan Kerajaan Mataram Islam. Pengging adalah sebuah wilayah kuno di antara Solo dan Yogyakarta yang kira-kira mencakup wilayah Boyolali, Klaten, dan sebagian Salatiga.
Tokoh yang paling terkenal dari wilayah itu adalah Ki Ageng Pengging, penyebar agama Islam sekaligus disebut sebagai pemberontak Kesultanan Demak. Sebagian kalangan menyebut Pengging sebagai cikal bakal Kesultanan Pajang.
Setelah Mataram Islam berkuasa, peran Pengging beralih menjadi pusat spiritual dan ritual bagi keluarga kerajaan.
Di Umbul Pengging ada tiga macam kolam pemandian: Umbul Temanten, Umbul Ngabean, dan Umbul Sungsang.
Umbul Temanten bentuknya persegi mpanjang dengan kedalaman sekitar 50 hingga 170 sentimeter. Di area pemandian ini juga terdapat tempat pemandian khusus untuk anak-anak, yang dilengkapi juga dengan pelampung dan beberapa bola.
Menurut cerita masyarakat, asal mula Umbul Temanten berawal dari kunjungan PB X yang melihat dua buah sumber air (umbul) yang terletak berdekatan di area Umbul Temanten ini. Setelah melihat kedua umbul tersebut, dia berdoa kepada Tuhan agar kedua umbul tersebut dipersatukan.
Setelah selesai berdoa, akhirnya permintaan Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X itu dikabulkan Tuhan. Bersatunya kedua umbul itu kemudian diberi nama Umbul Temanten yang diibaratkan menyatunya dua mempelai yang rukun menjadi satu.
Umbul kedua adalah Umbul Ngabean, dengan kedalaman sekitar 150 cm, yang diperuntukkan bagi kalangan dewasa. Pelancong dapat berenang dengan leluasa di kolam ini karena kedalaman airnya sama di segala sisinya.
Yang terakhir adalah Umbul Sungsang, di mana tradisi kungkum oleh masyarakat setempat biasa dilakukan. Konon, pemandian ini adalahpusat laku batin Kungkum masyarakat Pengging dan tak sedikit pula diikuti oleh para pengunjung yang berasal dari berbagai kota di sekitar Jawa Tengah.