TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Aksi demo di DPRD Kota Malang berakhir ricuh dengan sejumlah laporan kekerasan terhadap massa aksi yang dilakukan oleh aparat.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang mencatat sejumlah insiden yang menunjukkan tindakan kekerasan diduga oleh aparat TNI dan Polri.
Berikut adalah lima kejadian kekerasan yang mengundang perhatian publik:
Ditangkap Dalam Kondisi Babak Belur
Koordinator LBH Surabaya Pos Malang, Daniel Alexander Siagian, menyatakan bahwa beberapa massa aksi ditangkap dalam kondisi babak belur.
Menurut Daniel, banyak dari mereka yang tertangkap dengan luka-luka serius yang diduga akibat tindakan aparat yang berlebihan.
"Kami menyoroti adanya penangkapan yang dilakukan sewenang-wenang, yang bisa jadi merupakan tindakan eksesif," ujarnya di Polresta Malang Kota.
Kepala Bocor
Daniel juga mengungkapkan bahwa salah satu demonstran mengalami luka cukup parah, dengan kepala yang bocor.
"Ada masa aksi yang kepalanya bocor," kata Daniel.
Beberapa korban yang ditangkap oleh polisi juga mendapatkan perawatan medis.
Luka Berat
Salah satu korban, Noval Helmi, mengalami luka berat setelah dipukul dengan benda tumpul keras.
Saat ini, Noval sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar, Kota Malang.
"Bagian rahang dan giginya retak," ungkap Daniel.
Luka-luka ini menambah daftar panjang kekerasan yang dialami oleh para peserta demo.
Anak di Bawah Umur Ditangkap Selain itu, LBH Surabaya Pos Malang juga mencatat ada dua anak di bawah umur yang terlibat dalam aksi tersebut dan ditangkap oleh aparat.
Mereka yang masih berstatus pelajar tersebut, sempat dipulangkan setelah dilakukan pemeriksaan.
"Kami konfirmasi ada enam masa aksi, termasuk dua anak di bawah umur," kata Daniel.
Diseret dan Dipukul
Salah satu korban kekerasan adalah Delta Nisfhu, Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Malang, yang mengaku diseret, dipukul, dan diinjak oleh aparat berpakaian preman saat sedang melaksanakan tugas jurnalistik.
"Saya diseret ke taman berbunga dan dipukuli, meski sudah menunjukkan kartu pers," terang Delta yang mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya.
Hingga berita ini diturunkan Tribunnews.com belum ada konfirmasi.
Awal Mula
Massa yang mengatasnamakan Arek-Arek Malang turun ke jalan menggelar aksi demo di depan Gedung DPRD Kota Malang, Minggu (23/3/2025) sore.
Dalam aksi tersebut, mereka dengan tegas menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI yang dinilai dapat menghidupkan kembali dwifungsi TNI, mirip dengan rezim Orde Baru.
Massa aksi tak hanya berorasi, tetapi juga menggelar aksi teatrikal seperti mencoret-coret jalan dan menuliskan berbagai kalimat penolakan UU TNI.
Mereka juga membawa spanduk berisi tuntutan yang sama, sementara beberapa kali melemparkan petasan ke arah Gedung DPRD Kota Malang.
Situasi mulai memanas pada sore hari. Hingga pukul 16.59 WIB, massa masih berkumpul di depan gedung sambil terus melancarkan orasi dan tuntutannya.
Namun, aksi tersebut kemudian berakhir ricuh pada pukul 18.34 WIB.
Pada awalnya, massa melemparkan petasan ke arah gedung DPRD, namun setelah itu, mereka justru melemparkan petasan ke arah polisi yang berjaga di sekitar gedung.
Ketegangan semakin meningkat ketika massa menjebol pagar sisi utara gedung DPRD Kota Malang, kemudian membakar pos jaga dan merusak pos lainnya hingga atapnya jebol.
Menyikapi situasi yang semakin tak terkendali, polisi dan TNI memukul mundur massa pada pukul 18.41 WIB.
Dengan bantuan semprotan air dari mobil pemadam kebakaran, massa pun mundur hingga ke Jalan Kertanegara dan akhirnya membubarkan diri.
Beberapa peserta aksi diamankan oleh petugas, sementara petugas pemadam kebakaran segera memadamkan api yang membakar pos jaga di gedung DPRD.
Situasi mulai terkendali pada pukul 18.50 WIB, namun akibat kejadian tersebut, sejumlah personel baik polisi maupun TNI mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis lebih lanjut.
Kasi Humas Polresta Malang Kota, Ipda Yudi Risdiyanto, mengungkapkan bahwa ada tujuh personel yang terluka, termasuk enam anggota polisi dan satu prajurit TNI. Meski demikian, ia belum merinci jenis luka yang dialami oleh para korban.
"Iya benar, ada 7 personel yang terluka. Terdiri dari 6 anggota polisi dan satu orang TNI," Ujarnya pada Minggu.
Pada saat kejadian, massa juga melontarkan dua bom molotov ke arah Gedung DPRD yang mengenai teras depan gedung, menyebabkan kobaran api.
Meskipun api dapat segera dipadamkan oleh petugas Pemadam Kebakaran, insiden tersebut semakin memanaskan suasana.
Selain itu, massa juga membakar seragam loreng TNI sebagai simbol penolakan terhadap UU TNI dan merusak berbagai barang di sekitar lokasi.
Sementara itu, mereka juga menulis beragam kalimat di jalanan dengan kapur dan cat semprot, berisi berbagai tuntutan, di antaranya "Supremasi Sipil", "Gusti Mboten Sare", dan "Reneo Orba Orde Baru Paling Baru". Hingga pukul 18.38 WIB, massa masih bertahan di lokasi meskipun aksinya semakin memanas.
Kejadian ini menambah daftar panjang aksi penolakan terhadap UU TNI yang sedang disorot oleh masyarakat, dengan melibatkan berbagai pihak dan kelompok di seluruh Indonesia.
Kronologi Kericuhan
Demo yang awalnya berlangsung damai berubah ricuh sekitar pukul 18.34 WIB. Massa aksi mulai melemparkan petasan ke arah Gedung DPRD Kota Malang, yang kemudian berlanjut ke arah aparat yang berjaga.
Situasi semakin memanas ketika massa menjebol pagar sisi utara gedung dan membakar pos jaga.
Aparat keamanan, yang terdiri dari polisi dan TNI, merespons dengan menggunakan semprotan air dan alat pemukul untuk membubarkan massa.
Kericuhan ini berlangsung hingga sekitar pukul 18.50 WIB, ketika situasi mulai terkendali. Namun, dampaknya cukup serius: 6-7 massa aksi dilarikan ke rumah sakit, 10 orang dilaporkan hilang kontak, dan 3 orang diamankan oleh petugas.
Kekerasan terhadap Massa, Tim Medis, dan Jurnalis
Dalam rilis resminya, Aliansi Suara Rakyat (ASURO) menyebut adanya kekerasan fisik dan verbal yang dialami tidak hanya oleh massa aksi, tetapi juga oleh tim medis, jurnalis, dan pendamping hukum.
"Sejumlah massa aksi ditangkap, dipukul, dan mendapatkan ancaman. Tim medis, pers, dan pendamping hukum yang bersiaga di Halte Jalan Kertanegara juga mendapati pemukulan, kekerasan seksual, dan ancaman pembunuhan (verbal)," ungkap ASURO.
Selain itu, sejumlah gawai massa aksi dan alat kelengkapan medis dilaporkan dirampas oleh aparat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang proporsionalitas tindakan aparat dalam menangani demo.
Tuduhan Kekerasan Seksual dan Ancaman Pembunuhan
Tuduhan kekerasan seksual dan ancaman pembunuhan yang dilayangkan oleh ASURO menjadi sorotan utama. Jika terbukti benar, ini merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang harus ditindak tegas.
"Kami mengecam keras tindakan kekerasan terhadap tim medis dan jurnalis yang seharusnya dilindungi selama demo. Ini adalah pelanggaran terhadap kebebasan pers dan hak asasi manusia," tegas perwakilan ASURO.
Respons Aparat dan Upaya Penanganan
Setelah kericuhan, aparat keamanan melakukan penyisiran di sekitar lokasi demo, termasuk di Jalan Kertanegara, Balai Kota Malang, Jalan Suropati, Jalan Sultan Agung, dan Jalan Pajajaran.
Aparat yang berpakaian lengkap dan membawa alat pemukul terlihat memukul mundur massa yang berusaha menyelamatkan diri.
Meskipun situasi telah terkendali, insiden ini meninggalkan pertanyaan tentang apakah tindakan aparat proporsional atau justru berlebihan.
Masyarakat menuntut transparansi dan pertanggungjawaban atas kekerasan yang terjadi.
Diuji Materi ke MK
Tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan DPR RI pada Kamis (20/3/2025) kemarin.
Kuasa hukum para pemohon yang juga mahasiswa FHUI, Abu Rizal Biladina, mengatakan gugatan mereka dilayangkan karena dinilai ada kecacatan prosedural dalam revisi UU TNI.
"Alasan kami menguji itu karena kami melihat ada kecacatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan a quo. Jadi, sehingga ya kami menyatakan bahwasanya Undang-Undang tersebut inkonstitusional secara formal," kata Rizal saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Ada lima pokok permohonan atau petitum yang dilayangkan para pemohon.
Pertama, meminta MK mengabulkan seluruh permohonan.
Kedua, menyatakan UU TNI yang baru disahkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Lalu yang ketiga, itu tentunya kami meminta bahwasanya Undang-Undang tersebut tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945," imbuhnya.
Keempat, mereka meminta agar MK menghapus norma baru dalam UU TNI yang baru disahkan dan mengembalikan norma lama sebelum terjadinya revisi.
"Kelima, seperti biasa memerintahkan keputusan dimuat ke dalam berita negara," kata Rizal. Rizal juga menjawab strategi mereka yang menggugat UU TNI meskipun beleid tersebut belum memiliki nomor atau belum diundangkan.
Rizal percaya, meskipun saat ini obyek gugatan belum memiliki nomor, masih ada waktu koreksi atau perbaikan yang diberikan oleh MK.
Misalnya, waktu registrasi berjalan 5-10 hari, kemudian sidang pendahuluan 1 hari, dan sidang perbaikan 14 hari.
"Jadi total lebih dari 30 hari. Sedangkan UU a quo (UU TNI yang baru) pada tanggal 20 Maret disahkan oleh DPR, maka 30 hari wajib diundangkan (diberikan nomor)," katanya.
Di waktu yang sempit itu, mereka akan memperjelas obyek gugatan dan berharap MK menerima gugatan mereka.
Adapun tujuh mahasiswa dan dua penasihat hukumnya tersebut merupakan para mahasiswa aktif FHUI.
Para pemohon adalah
Muhammad Alif Ramadhan,
Namoradiarta Siahaan,
Kelvin Oktariano,
M. Nurrobby Fatih,
Nicholas Indra Cyrill Kataren,
Mohammad Syaddad Sumartadinata,
dan Yuniar A. Alpandi.
Kuasa hukum mereka adalah Abu Rizal Biladina dan Muhammad.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah resmi mengesahkan Revisi UU (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU).
Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis (20/3/2025).
Diketahui, RUU TNI yang ditolak banyak pihak ini mencakup perubahan empat pasal, yakni Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 15 soal tugas pokok TNI, Pasal 53 soal usia pensiun prajurit, serta Pasal 47 berkait dengan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.