Kegagalan Perbankan Syariah di Indonesia
GH News March 25, 2025 09:05 PM

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Perbankan syariah di Indonesia berdiri dengan harapan besar: menjadi solusi keuangan berbasis prinsip keadilan, tolong-menolong, serta bebas dari riba. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia semestinya menjadi tanah subur bagi perkembangan perbankan syariah. 

Nyatanya, setelah lebih dari tiga dekade beroperasi, kontribusi bank syariah terhadap industri perbankan nasional masih di bawah 10%. Sebuah angka yang jauh dari potensi riil yang dimiliki. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: Apa yang salah dengan perbankan syariah di Indonesia?

Sejak kehadiran Bank Muamalat Indonesia pada 1991, kemudian diikuti oleh pembentukan unit usaha syariah di banyak bank konvensional, hingga akhirnya merger tiga bank BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2021.

Secara institusi perkembangan perbankan syariah memang menunjukkan angka pertumbuhan. Namun pertumbuhan tersebut lebih bersifat administratif-banyaknya lembaga, produk, dan regulasi-ketimbang pertumbuhan substansial dari sisi jumlah nasabah, penetrasi pasar, atau kontribusi pada ekonomi riil.

Laporan OJK menunjukkan bahwa hingga akhir 2023, pangsa pasar perbankan syariah baru menyentuh angka sekitar 7,2% dari total aset perbankan nasional. Ini menjadi kontras tajam jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, di mana porsi perbankan syariah telah mencapai lebih dari 30% dari industri keuangan mereka.

Ada beberapa tantangan mendasar yang membuat bank syariah di Indonesia berjalan lambat. Pertama, minimnya diferensiasi produk. Produk bank syariah cenderung hanya ‘copy paste’ dari produk bank konvensional, sekadar mengganti akad, tanpa mengakomodasi kebutuhan masyarakat secara kontekstual. 

Akad murabahah misalnya, lebih mirip dengan sistem kredit biasa, alih-alih menciptakan pembiayaan berbasis kemitraan seperti musyarakah atau mudharabah.

Kedua, tingginya margin pembiayaan yang justru seringkali lebih tinggi daripada bunga bank konvensional. Ini terjadi karena cost of fund yang lebih mahal akibat belum efisiennya penghimpunan dana.

Ketiga, lemahnya literasi syariah, baik dari sisi nasabah maupun internal SDM bank itu sendiri. Banyak pengelola bank syariah yang tidak sepenuhnya memahami fikih muamalah secara utuh, sehingga implementasinya terjebak pada formalisme hukum, bukan pada ruh keadilan sosial yang menjadi inti syariah.

Dari sisi jumlah nasabah, bank konvensional masih jauh mendominasi. Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah rekening bank konvensional mencapai lebih dari 150 juta, sedangkan nasabah bank syariah masih berkisar 47 juta. Fakta ini memperlihatkan bahwa meskipun populasi Muslim Indonesia besar, tidak serta-merta masyarakat memilih bank syariah.

Banyak dari masyarakat lebih memilih bank konvensional karena aksesnya lebih mudah, prosesnya lebih cepat, dan persepsi efisiensinya lebih baik. Ini menjadi ironi tersendiri bagi perbankan syariah yang sejatinya membawa misi keadilan dan inklusi.

Persoalan besar lainnya adalah tingginya angka masyarakat Indonesia yang belum tersentuh layanan perbankan (unbanked). Sekitar 49% penduduk dewasa Indonesia belum memiliki rekening bank. 

Alasannya cukup beragam: mulai dari akses geografis yang sulit, tidak memiliki dokumen administrasi resmi seperti KTP, hingga ketidakpercayaan terhadap institusi keuangan.

Selain itu, banyak masyarakat yang masih lebih percaya pada sistem ekonomi lokal seperti arisan, koperasi simpan pinjam, atau bahkan simpan di bawah bantal. Mereka menganggap perbankan, termasuk syariah, sebagai sesuatu yang rumit, penuh aturan, dan tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-hari.

Pengaruh Budaya terhadap Akses Perbankan

Budaya lokal sangat berperan dalam cara masyarakat memandang perbankan. Masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan, hidup dalam budaya komunal yang mengutamakan gotong royong, musyawarah, dan saling percaya dalam lingkup komunitas. Perbankan yang hadir dengan sistem formal, birokratis, dan berorientasi profit dianggap kaku dan tidak mengerti nilai-nilai lokal.

Ada jurang lebar antara budaya masyarakat dengan budaya perbankan. Contohnya bisa kita lihat dari sisi pakaian dan sikap. Pegawai bank tampil rapi dengan jas formal, bicara dengan bahasa administrasi yang sulit dimengerti masyarakat awam. 

Sebaliknya, masyarakat petani, nelayan, atau pedagang pasar berpakaian sederhana, mengedepankan kepercayaan verbal, dan terbiasa dengan pendekatan kekeluargaan. Ini menciptakan gap sosial yang kerap membuat masyarakat merasa tidak nyaman berurusan dengan bank.

Sistem pembiayaan di bank syariah pun sering kali tidak memperhatikan realitas mata pencaharian masyarakat. Contoh paling nyata, skema pembiayaan di sektor agraris. Para petani umumnya memperoleh penghasilan saat masa panen yang bersifat musiman. Namun bank tetap menetapkan skema cicilan bulanan yang kaku, tanpa fleksibilitas menyesuaikan siklus panen.

Hal ini membuat banyak masyarakat enggan mengakses pembiayaan bank karena sistem tersebut terasa membebani dan tidak ramah terhadap realitas hidup mereka.

Distrust Budaya terhadap Perbankan
Ketidakpercayaan ini berakar pada pengalaman masa lalu di mana masyarakat menjadi korban investasi bodong, koperasi gagal, atau skema pinjaman rentenir yang memeras. 

Perbankan, termasuk syariah, dianggap bagian dari sistem besar yang tidak berpihak pada masyarakat kecil. Label syariah saja tidak cukup tanpa adanya perubahan pendekatan yang substantif.

Beberapa contoh sukses bisa kita lihat di luar negeri. Grameen Bank di Bangladesh, misalnya, berhasil mengembangkan model perbankan berbasis komunitas, tanpa agunan, dengan pendekatan langsung ke masyarakat desa.

Bank ini mengadopsi budaya lokal, membangun kepercayaan, dan fleksibel terhadap kebutuhan nasabah.
Di Malaysia, konsep Bank Wakaf Mikro juga efektif karena memanfaatkan institusi agama (masjid) sebagai pusat aktivitas keuangan syariah, menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Perbankan masuk dalam budaya masyarakat. Maksud dari “perbankan masuk dalam budaya masyarakat” adalah lembaga keuangan tidak berdiri eksklusif di menara gading. Bank harus hadir sebagai bagian dari komunitas, berbicara dalam bahasa masyarakat, menghormati adat, serta fleksibel menyesuaikan sistem dengan budaya lokal.

Untuk itu, perlu ada formulasi tata kelola perbankan syariah yang benar-benar berpihak pada masyarakat tradisional: Skema Pembiayaan Musiman – Pembiayaan disesuaikan dengan siklus panen atau penghasilan musiman, bukan cicilan rigid bulanan. Keterlibatan Tokoh Adat dan Ulama Lokal-Tokoh masyarakat menjadi perantara untuk membangun kepercayaan. 

Produk Berbasis Komunitas Mengedepankan model koperasi syariah atau Baitul Maal wat Tamwil yang menyatu dengan komunitas. Edukasi dan Pendampingan Langsung-Bank hadir bukan sekadar memberi produk, tapi mendampingi masyarakat mengelola keuangan mereka.

Perbankan syariah masa depan harus berpijak pada pemahaman mendalam mengenai sosiologi, budaya, serta kearifan lokal masyarakat. Tidak cukup hanya mengedepankan akad syariah di atas kertas. Ia harus menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, memahami bahasa, siklus ekonomi, hingga nilai-nilai komunal masyarakat.

Saat bank syariah benar-benar mampu masuk dalam relung budaya masyarakat, saat itulah trust akan tumbuh, inklusi keuangan akan meningkat, dan fungsi sosial perbankan syariah benar-benar terwujud.

*

*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA, Ketua Prodi Akuntansi UNUSIA, Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.