TIMESINDONESIA, GORONTALO – Baru-baru ini aksi parlemen jalanan terjadi di beberapa kota di Indonesia. Aksi ini di latarbelakangi oleh resistensi atas pengesaah revisi Undang-Undang TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini mendapat perlawanan dari rakyat dari berbagai kota di seluruh Indonesia.
Segala bentuk aksi demonstrasi dilakukan untuk menolak revisi UU TNI. Rakyat dan mahasiswa yang menggugat kebijakan ini mendapat intimidasi serta represi dari aparat di lapangan.
Ribuan elemen Masyarakat di beberapa kota turun langsung ke jalan untuk menyuarakan protesnya. Mulai dari buruh, mahasiswa, hingga anak STM bertumpah ruah di jalanan.
Eskalasi massa yang membludak tak mampu dikendalikan oleh aparat keamanan dan bentrokan pun terjadi. Bentrokan antara massa aksi dan kepolisian pun tak terhindarkan di beberapa tempat. Massa aksi banyak yang menjadi korban dari peristiwa ini.
Tidak hanya itu, jurnalis yang turun langsung di lapangan untuk tugas liputan tak luput menjadi korban dari aparat kepolisian. Inilah bayangan dari perang kota. Masyarakat sipil yang seharusnya memiliki hak untuk berdemonstrasi mendapatkan tindakan represif dari aparat kepolisian. Hal ini tidak hanya terjadi di aksi penolakan atas RUU TNI.
Di tahun 2019, peristiwa serupa juga terjadi saat aksi “Reformasi Dikorupsi” yang dilakukan mahasiswa dan elemen Masyarakat mendapat tindakan represif dari kepolisian. Perlunya Langkah mitigasi dan taktis secara efektif untuk mengantisipasi peristiwa serupa harusnya dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).
Sebagai negara penganut sistem demokrasi, aksi demonstrasi idealnya tidak selalu berakhir dengan represifitas terhadap massa aksi. Dimana peristiwa kekerasan dan penganiayaan dialami oleh massa aksi menjadi pemberitaan di media.
Beberapa langkah taktis dari kepolisian yang menurut penulis perlu dievaluasi pasca aksi penolakan RUU TNI. Untuk mengamankan kondisi aksi tidak selalu dengan cara represif.
Titik Eskalasi Kekerasan
Salah satu aksi demonstrasi terbesar di abad modern adalah aksi di Hong Kong yang terkenal dengan aksi “Umbrella Movement” atau “Gerakan Payung” yang lahir dari Gerakan protes terkait pemenuhan demokrasi di Hong Kong pada tahun 2014.
Salah satu peristiwa yang terarsip baik di Masyarakat adalah tindakan dari aparat keamanan aksi dimana mereka menggunakan Tear Gas (gas air mata) dengan arah sejajar kepala/mata kepada massa aksi. Hal ini yang menjadi titik eskalasi kekerasan aparat kepolisian sebagai tindakan pengurai massa saat situasi mulai tidak kondusif.
Langkah ini juga dilakukan oleh aparat keamanan di Indonesia saat aksi demo KPU (Mei 2019), Reformasi Dikorupsi (September 2019), Omnibus Law (Oktober 2020) dan Kawal Putusan MK (Agustus 2024).
Padahal, jika berdasarkan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, penggunaan gas air mata bukan menjadi pilihan pertama dalam mengambil tindakan saat menghadapi keadaan huru-hara/anarki.
Dalam Aksi penolakan RUU TNI perlu dipertanyakan apakah aparat keamanan sudah melakukan tahap-tahap penggunaan kekuatan sudah dilaksanakan. Mengingat dalam setiap aksi demo yang tak terkendali, kericuhan sering terjadi di saat menjelang malam hari untuk pembubaran massa aksi yang dimana sesuai Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang batasan waktu demonstrasi yang dibolehkan, yakni antara pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore untuk tempat terbuka.
Tindakan penggunaan senjata Gas Air Mata tidak semata mata hanya untuk membubarkan massa aksi yang sudah melewati batas waktu, tetapi pada prinsipnya harus berdasarkan legalitas, nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif, dan masuk akal (reasonable).
Jikalau massa aksi sudah melewati batas waktu untuk berdemonstrasi dan tidak melakukan hal yang melanggar hukum, alangkah bijaknya kalau pembubaran massa aksi dilakukan dengan cara persuasif dan negosiasi antara kepolisian dan massa aksi.
Penggunaan Peralatan Anti Huru Hara
Penggunaan perlengkapan anti huru hara tanpa identitas yang jelas seperti nama, pangkat, dan asal kesatuan mendorong penggunaan kekerasan/excessive force dari aparat kepolisian di lapangan. Identitas yang tidak dikenal tersebut melindungi aparat dari asas transparansi dan pertanggung jawaban atas tindakan yang mereka lakukan dalam mengurai massa.
Dalam beberapa tahun terakhir, Polri melakukan pembelanjaan peralatan - peralatan yang disiapkan untuk darurat sipil. Salah satu contohnya adalah mobil pelontar gas air mata atau kendaraan artileri yang digunakan saat aksi 22 Agustus tahun lalu tepatnya di jalan Gatot Subroto, seberang Gedung DPR RI. Ibarat kendaraan tempur militer, puluhan pelontar gas air mata seperti peluru kendali yang mendarat ke arah massa aksi.
Penggunaan peralatan saat situasi yang bahkan bukan atau belum darurat sipil selain jadi excessive force, penggunaan peralatan tersebut juga belum memiliki Standar Operasional Prosedul (SOP) yang jelas.
Bagaimanapun juga, aksi demonstrasi merupakan hak setiap warga negara untuk mengungkapkan ekspresi dan protes kepada negara. Polri sebagai penanggung jawab di setiap aksi menjadi pelindung massa untuk melakukan protes di jalanan.
Evaluasi penggunaan gas air mata di setiap aksi demonstrasi. Perlengkapan aparat perlu adanya penguatan identitas individual dalam menjalankan tugasnya. Aksi brutalitas dari aparat terhadap massa aksi tidak hanya terjadi kali ini, namun sudah berkali-kali.
***
*) Oleh : Hafiz Aqmal Djibran, S.I.Kom., Anggota PB Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo periode 2024-2026.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.