TIMESINDONESIA, BANDUNG – Mahkamah Konsitusi telah memutuskan sengketa hasil Pilkada 2024 dengan memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah dari total 40 perkara yang diperiksa secara lanjut. Sejumlah 19 daerah PSU di semua wilayah dan 5 daerah PSU di sebagian wilayah.
Adapun dua putusan pada perkara Nomor 305/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang terkait dengan Kabupaten Puncak Jaya, MK menginstruksikan untuk melakukan rekapitulasi suara ulang hasil suara. Perkara Nomor 274/PHPU.BUP-XXIII/2025 berkaitan dengan Kabupaten Jayapura, MK menginstruksikan adanya perbaikan penulisan pada keputusan KPU mengenai penetapan hasil Pilkada Bupati dan Wakil Bupati 2024.
Faktor penyebab 24 daerah yang diperintahkah untuk melakukan PSU oleh MK cukup beragam. Mulai dari masa jabatan dan periodisasi kepala daerah, keterlibatan kepala desa untuk mendukung pasangan calon, jual beli suara, kandidat yang masih dipidana, ijazah palsu, kandidat yang tidak jujur dan hal teknis lainnya.
Dugaan pelanggaran yang sangat klasik, tetapi selalu terulang dan nyaris tidak ada solusi konkrit. Padahal, seharusnya hal ini bisa diantisipasi jika penyelenggara pemilu tidak melakukan kecerobohan.
Dalam bukunya “Risk Management in Elections : A Guide for Electoral Management Bodies” (2021) yang diterbitkan oleh International IDEA menekankan pentingnya manajemen risiko dalam pilkada yang menyangkut kesiapan penyelenggara pemilu menghadapi berbagai tantangan, termasuk bencana alam dan gangguan lainnya.
Strategi ini dilakukan untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko yang dapat mempengaruhi proses pilkada. Dengan melakukan pemetaan kerawanan, diharapkan penyelenggara pemilu lebih kompeten dan profesional dalam melaksanakan tahapan penyelenggaraan pilkada.
Penyelenggara Pemilu Tidak Profesional
Namun, tidak profesionalnya penyelenggara pemilu justru tercermin dalam tahapan pencalonan mengenai keabsahan calon. Misalnya di tiga daerah yakni Kabupaten Tasikmalaya, Kutai Kertanegara dan Kabupaten Bengkulu Selatan terdapat adanya perbedaan tafsir terkait masa jabatan dan periodisasi antara yang ada di PKPU 8 Tahun 2024 dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, 67/PUU-XVIII/2020, 2/PUU-XXI/2023, dan 129/PUU-XXI/2024. Mahkamah menekankan bahwa satu periode harus dimaknai dalam satu tarikan nafas atau sebagai satu kesatuan.
Dalam putusan-putusan tersebut, mahkamah secara terang dan jelas menyatakan, cara menghitung masa jabatan seorang kepala daerah yang tidak selesai dalam menjalankan jabatan selama lima tahun dan di tengah masa jabatan digantikan oleh wakil kepala daerah, satu periode adalah dua tahun enam bulan atau lebih, dengan tidak membedakan antara jabatan definitif dan jabatan sementara.
Sementara dalam PKPU 8 pencalonan Pasal 19 syarat belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.
Cara pandang penyelenggara pemilu yang multitafsir ini menyebabkan ketidakpastian dalam pencalonan kepala daerah. Dalam teori strategic communication, sifat informasi itu harus ekstrim dan tunggal (Bajari, 2022).
Justru ketika terjadi banyak tafsir, maka akan menyebabkan kebingungan di penyelenggara pemilu daerah sebagai penerima dan pengeksekusi pesan. Misinformasi yang terjadi ini menyebabkan amburadulnya manajemen birokrasi dan buruknya komunikasi publik.
Satu sisi, KPU di daerah memang sudah benar melakukan konsultasi ke KPU Republik Indonesia dan provinsi secara hirarki dan berjenjang. Namun, yang terjadi bukan menemukan solusi, yang terjadi justru menambah permasalahan yang baru.
Tidak nanggung, Putusan MK merugikan keuangan negara, dimana pemungutan suara harus diulang. Dalam penyusunan PKPU, KPU melakukan konsultasi kepada pemerintah dan DPR. Disinilah terjadi ketimpangan regulasi. Ada upaya sistematis untuk memanipulasi putusan MK.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-XIV/2016 telah membatalkan hasil konsultasi antara KPU, DPR, dan pemerintah yang ‘bersifat mengikat’ terkait dengan perumusan dan penetapan peraturan KPU serta pedoman teknis dalam setiap tahapan pemilu ataupun pilkada.
Artinya, kemandirian KPU didefinisikan tidak ada pengaruh dan benturan kepentingan dari pihak manapun kepada penyelenggara pemilu yang sedang melaksanakan tugas dan kewenangannya.
KPU harus bekerja tanpa campur tangan manapun dan independen dalam pengambilan keputusan (International IDEA, 2019). Semestinya, KPU tidak mengakal-akali konstitusi demi berpihak pada penguasa, yang pada akhirnya rakyatlah yang dikorbankan.
Bukan hanya KPU, keteledoran juga dilakukan oleh Bawaslu yang tidak sigap dalam melakukan pengawasan. Peluit Bawaslu masih senyap dan masih terdapat banyak dugaan pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti serius sehingga harus dibawa ke MK.
Lembaga pemantau pemilu Democracy and Election Empowerment Partnerhsip (DEEP) Indonesia menyerahkan kurang lebih tiga puluh dugaan pelanggaran berrkaitan dengan politik uang, netralitas ASN, netralitas kepala desa, abuse of power in local election, kampanye diluar jadwal dan dugaan pelanggaran lainnya, tetapi hingga saat ini belum mendapatkan jawaban dan tindaklanjut apapun dari Bawaslu.
Kasus di Pilkada Banjarbaru yang inkonstitusional, namun, Bawaslu tidak sama sekali menganggap terdapat adanya pelanggaran. Bahkan, Bawaslu menilai bahwa langkah Komisi Pemilihan Umum sudah sesuai norma atau regulasi yang berlaku.
Pihak yang masih tidak menerima atau dirugikan malah dipersilakan untuk menempuh upaya hukum lain. Padahal, ketika satu kandidat didiskualifikasi oleh Bawaslu dan tersisa hanya satu pasangan calon, semestinya Pilkada hanya diikuti satu pasangan calon. Disinilah keadilan pemilu itu dipertanyakan.
Evaluasi Komperhensif
Dari berbagai peristiwa yang terjadi, baik daerah yang diperintahkan untuk PSU, rekapitulasi ulang atau daerah yang tertolak di MK, bukan berarti tanpa ada masalah dalam proses penyelenggaraan Pilkada 2024. Begitupun dengan daerah yang tidak mengajukan gugatan sengketa ke MK.
Rentetan kasus yang terjadi, menunjukkan bagaimana buruknya pelakasanaan pilkada. Hal ini akan menjadi ujian berat integritas penyelenggara pemilu kedepan. Evaluasi secara komperhensif memang penting untuk dilakukan, agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisir.
Pembenahan mulai dari aktor pilkada, penyelenggara pemilu, pemilih, tata kelola manajemen pilkada, partai politik dan penguatan regulasi harus kembali dipikirkan ulang oleh para pemangku kebijakan dalam rancangan undang-undang (RUU) pemilu, pilkada dan penyelenggara pemilu berdasarian kajian akademik. Termasuk juga reformasi pilkada untuk jangka panjang.
Hal mendesak yang bisa direalisasikan dalam jangka waktu terdekat ini adalah merealisasikan PSU yang kredibel dan berintegritas, baik itu hasil maupun prosesnya.
PSU untuk semua wilayah tentu menghadapi tantangan yang tidak mudah karena harus melakukan ulang rekrutmen penyelenggara pemilu, kampanye, debat, distrubusi logistik dan tingkat partisipasi pemilih.
Dengan waktu yang sudah ditetapkan oleh MK yang sangat terbatas, semua pihak tanpa kecuali harus ikut serta mensukseskan daerah yang menggelar PSU.
***
*) Oleh : Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnerhsip (DEEP) Indonesia, Mahasiswi S3 Fikom Universitas Padjadjaran.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.