TRIBUNNEWS.COM - Gempa bumi dengan magnitudo 7,7 mengguncang sebagian Myanmar dan Thailand pada Jumat (28/3/2025), mengakibatkan banyak korban jiwa dan meratakan bangunan.
Pusat gempa berada di Mandalay, Myanmar, kota terbesar kedua di negara tersebut.
Bahkan di Bangkok, yang berjarak sekitar 1.000 km dari pusat gempa, bangunan pencakar langit yang sedang dibangun runtuh total akibat getaran.
Korban diperkirakan akan terus bertambah karena upaya pencarian dan penyelamatan masih berlangsung di gedung-gedung yang runtuh di Myanmar dan Thailand, kata para pejabat.
Kini, jumlah korban tewas telah meningkat menjadi 2.056 di Myanmar, mengutip laporan ABC News.
Lebih dari 3.900 orang terluka dan 270 orang dilaporkan hilang, menurut Junta Militer Myanmar.
Di Bangkok, sedikitnya 13 orang tewas akibat keruntuhan gedung di kawasan Chatuchak, menurut Otoritas Metro Bangkok.
Pada Senin (31/3/2025), Kedutaan Besar AS di Myanmar mengumumkan bantuan sebesar $2 juta untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan pascagempa.
Kedutaan menyebut bantuan tersebut sebagai bagian dari "tanggapan langsung" Amerika Serikat terhadap bencana ini.
Selain itu, tim tanggap darurat kecil dari Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) telah dikerahkan untuk menilai situasi di Myanmar, namun hingga Senin pagi, mereka belum dapat memasuki negara tersebut.
Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan diskusi mengenai tanggapan yang lebih luas terhadap gempa bumi ini sedang berlangsung, termasuk kemungkinan mengirim Tim Tanggap Bantuan Bencana.
Sementara itu, tim internasional, termasuk dari China dan Rusia, telah berada di lapangan untuk merespons situasi di Myanmar, lapor ABC News.
Tim dari China tiba 18 jam setelah gempa dengan lebih dari 400 personel yang kini berada di lapangan.
Pada hari Senin, mereka berhasil menyelamatkan empat orang dari bangunan runtuh di Mandalay.
Beijing juga mengirimkan pesawat penuh perbekalan, dengan total bantuan senilai $14 juta. China juga memiliki beberapa tim yang membantu di Thailand.
Mao Ning, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, mengatakan di platform X: “China adalah teman dalam kesulitan.”
"Myanmar mengalami tingkat kehancuran yang belum pernah terjadi selama satu abad di Asia," kata penjabat kepala Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) setelah gempa bumi pada hari Jumat.
"Ini adalah gempa bumi yang dampaknya akan kita rasakan bukan hanya hari ini atau besok, tetapi juga dalam minggu-minggu mendatang," ujar Marie Manrique kepada CNN pada hari Minggu.
IFRC meluncurkan seruan darurat, menyerukan solidaritas global saat mereka memobilisasi tim untuk membantu upaya penyelamatan di Myanmar.
Pernyataan IFRC juga melaporkan kerusakan signifikan pada infrastruktur penting di seluruh negeri.
Bandara di Mandalay dan Naypyidaw masih ditutup karena masalah keselamatan, sementara pemadaman telekomunikasi menghambat koordinasi di beberapa wilayah.
Menanggapi banyaknya tantangan dalam upaya kemanusiaan, direktur regional IFRC untuk Asia Pasifik, Alexander Matheou, mengatakan:
"Ini bukan hanya bencana; ini adalah krisis kemanusiaan yang kompleks yang memperburuk kerentanan yang sudah ada."
"Myanmar terus menghadapi masalah pengungsian internal dan kerawanan pangan."
"Gempa bumi ini memperparah situasi yang sudah rapuh."
"Komunitas global harus melangkah maju untuk mendukung tanggapan yang berani dan berkelanjutan."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)