TRIBUNNEWS.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan baru yang mengenakan tarif dasar 10 persen pada semua impor ke AS.
Selain itu, tarif yang lebih tinggi juga diterapkan pada beberapa mitra dagang utama negara tersebut.
Kebijakan ini memicu respons keras dari berbagai pemimpin dunia.
Trump tidak mengenakan tarif baru sebesar 10 persen untuk barang-barang yang berasal dari Kanada dan Meksiko, Reuters melaporkan.
Tarif sebelumnya yang mencapai 25 persen tetap berlaku terkait masalah kontrol perbatasan dan perdagangan fentanil, menurut Gedung Putih.
Berikut adalah reaksi dari beberapa pejabat dunia terhadap kebijakan tarif ini:
"Trump telah mempertahankan sejumlah elemen penting dalam hubungan kami dengan AS, namun tarif fentanil, baja, dan aluminium masih berlaku," kata Perdana Menteri Kanada, Mark Carney.
"Kami akan melawan tarif ini dengan tindakan balasan, melindungi pekerja kami, dan membangun ekonomi terkuat di G7," tegas Carney.
"Pemerintah Brasil menyesalkan keputusan AS untuk mengenakan tarif tambahan 10 persen pada ekspor Brasil," jelas Kementerian Luar Negeri Brasil.
"Kami akan mengevaluasi langkah-langkah yang diperlukan, termasuk melibatkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), untuk membela kepentingan nasional." imbuh kementerian.
"Tarif ini tidak memiliki dasar logika dan bertentangan dengan dasar kemitraan antara kedua negara. Ini bukan tindakan seorang teman, dan keputusan ini akan menambah ketidakpastian serta meningkatkan biaya bagi rumah tangga Amerika," ungkap Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese.
"Dalam menghadapi kenyataan perang dagang global, pemerintah harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengatasi krisis perdagangan," kata Presiden Korea Selatan sementara, Han Duck-Soo.
"Kepentingan Selandia Baru akan lebih terlayani dalam dunia perdagangan yang lancar," kata Menteri Perdagangan Selandia Baru, Todd McClay.
"Kami akan berbicara dengan pemerintah AS untuk memperoleh informasi lebih lanjut dan memahami dampaknya terhadap eksportir kami," terangnya.
"Spanyol akan melindungi perusahaan dan pekerjanya serta tetap berkomitmen pada dunia perdagangan yang terbuka," ungkap Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez.
"Kami tidak ingin hambatan perdagangan semakin besar," tutur Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson.
"Kami ingin menemukan jalan untuk kembali bekerja sama dengan AS agar masyarakat kami dapat menikmati kehidupan yang lebih baik," imbuhnya.
"Langkah selanjutnya akan segera diputuskan oleh Dewan Federal," ungkap Presiden Swiss, Karin Keller-Sutter.
"Kepatuhan terhadap hukum internasional dan perdagangan bebas tetap menjadi nilai inti kami," lanjutnya.
"Keputusan AS untuk mengenakan tarif 20 persen pada impor dari Uni Eropa sangat disayangkan," kata Perdana Menteri Irlandia, Micheál Martin.
"Tarif ini tidak menguntungkan siapa pun, dan prioritas kami adalah melindungi lapangan pekerjaan dan ekonomi Irlandia," ungkapnya.
"Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk mencapai kesepakatan dengan AS, guna menghindari perang dagang yang dapat melemahkan Barat," jelas Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni.
Partai Terbesar di Parlemen Eropa juga berkomentar.
"Bagi sahabat-sahabat kami di AS, hari ini bukan hari pembebasan, melainkan hari kemarahan," ungkap Presiden EPP, Manfred Weber.
"Tarif Trump tidak melindungi perdagangan yang adil, tetapi justru menyerangnya, merugikan kedua belah pihak," jelasnya.
"Eropa siap membela kepentingannya dan terbuka untuk perundingan yang adil," bebernya.
"Kami sedang mempertimbangkan langkah-langkah yang diambil untuk melindungi industri nasional dan eksportir kami," ungkap Menteri Luar Negeri Kolombia, Laura Sarabia.
Trump mengenakan tarif minimum 10 persen untuk hampir semua mitra dagang AS, tetapi tarif tersebut bervariasi untuk beberapa negara:
1. Kamboja: +49 persen
2. Vietnam: +46 persen
3. Sri Lanka: +44 persen
4. Bangladesh: +37 persen
5. Thailand: +36 persen
6. Tiongkok: +34 persen
7. Taiwan: +32 persen
8. Indonesia: +32 persen
9. Swiss: +31 persen
10. Afrika Selatan: +30 persen
11. Pakistan: +29 persen
12. India: +26 persen
13. Korea Selatan: +25 persen
14. Jepang: +24 persen
15. Malaysia: +24 persen
16. Uni Eropa: +20 persen
17. Israel: +17 persen
18. Filipina: +17 persen
19. Singapura: +10 persen
20. Inggris: +10 persen
21. Turki: +10 persen
22. Brasil: +10 persen
23. Chili: +10 persen
24. Australia: +10 persen
25. Kolombia: +10 persen
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)