TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa hari lalu, tidak sengaja saya melihat satu kasus di media sosial tentang berbagi, di akun media sosial tersebut bercerita bahwa pamannya sudah muak untuk berbagi kepada orang-orang sekitar karena berujung teror.
Awalnya begini, ia menceritakan bahwa pamannya sering berbagi di sekitar lingkungan tempat tinggal, mereka membagikan sembako yang cukup besar nominalnya dengan waktu yang cukup sering yaitu dua minggu sekali dengan jumlah paket 20 hingga 50 paket sembako.
Namun pertengahan Bulan Ramadan lalu ia mulai muak untuk berbagi, karena banyak warga yang meminta THR kepada pamannya padahal kondisinya sedang kurang baik, bahkan berujung teror dengan merusak sebagian fasilitas rumahnya, hingga mobil yang terparkir di sana.
Ketika mengadu kepada pihak RT pun tanggapannya justru mengagetkan karena lebih baik berbagi daripada memicu kemarahan warga. Dari kejadian tersebut paman si pemilik akun enggan kembali berbagi kepada warga sekitar dan memilih pindah rumah setelahnya.
Kasus seperti ini beberapa kali terjadi di Indonesia, warganet merespons kejadian tersebut dengan membenarkan bahwa memberi jangan rutin dilakukan di lingkungan sekitar karena sekali berbagi akan mengucapkan terima kasih, namun jika terlalu sering maka akan dianggap kewajiban.
Kejadian lainnya pernah terjadi ketika Calon Anggota Legislatif di suatu daerah tidak terpilih padahal ia telah membantu mengalirkan air dengan uang pribadinya, karena dianggap sebagai kewajiban oleh masyarakat, ia kalah oleh Caleg yang membagikan serangan fajar, dan akhirnya Caleg yang membantu tidak lagi ingin membantu karena keuangannya menipis.
Jika kita lihat kejadian di atas, sebetulnya kejadian tersebut sudah sering terjadi di masa lalu pada era 1990-an. Buktinya muncul teori pertukaran sosial yang disampaikan oleh Tokoh Sosiologi asal Amerika Serikat George C. Homans (1961) dan Peter Blau (1964).
Homans menyampaikan bahwa sebagai dasar teori pertukaran sosial menekankan pada prinsip psikologis perilaku Individu, ia berpendapat bahwa perilaku sosial adalah pertukaran barang dan jasa, baik yang nyata maupun simbolis antara dua orang atau lebih. Jika individu akan mengulangi tindakan tersebut dan menghasilkan imbalan dan menghindari tindakan yang menghasilkan hukuman.
Sedangkan Blau memperluas teori pertukaran sosial ke tingkat struktur sosial di mana proses pertukaran antar individu menghasilkan pola hubungan yang lebih kompleks, termasuk kekuasaan dan status.
Bila kita analisa kembali kasus berbagi yang diceritakan di awal, memang pemberian sembako merupakan pertukaran yang positif karena paman si pemilik akun melakukan pemberian dengan tindakan sukarela, dan masyarakat merespons dengan mengucapkan terima kasih, dan ini menjadi pertukaran sosial yang positif dan saling memberikan imbalan baik materii maupun psikologis.
Namun karena sang pemberi melakukan secara rutin dari sejak covid hingga saat ini dan dilakukan dalam dua pekan sekali, mulai terjadi pergeseran ekspektasi dan hak dan masyarakat mulai berpikir awalnya mendapatkan bantuan mengucapkan terima kasih dan dilihat dari kebaikan hari, perlahan masyarakat berubah ekspektasi bahkan sebagian lainnya si pemberi wajib memberikan sembako sebagai hak masyarakat.
Setelah adanya pergeseran ekspektasi dan hak, maka mulai hilang keseimbangan pertukaran sosial, masyarakat menganggap jika si pemberi tidak lagi memberikan bantuan, masyarakat menganggap “kontrak sosial” yang tidak tertulis telah dilanggar, dan mereka merasa kehilangan hak-nya ketika tidak diberikan bantuan dan akhirnya beraksi marah, hingga menimbulkan teror seperti pada cerita di atas.
Kemana Kita Harus Berbagi?
Kejadian yang terjadi di pertengahan bulan ramadan lalu, membuat sebagian orang mulai berpikir untuk membantu lingkungan sekitar secara langsung, dan tentu mereka mulai melihat untuk berbagi melalui lembaga sosial.
Dibentuknya lembaga filantropi atau lembaga sosial memiliki tujuan yang lebih baik, adil dan sejahtera, karena lembaga filantropi dapat mengoptimalkan sumbangan melalui pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan.
Ada beberapa manfaat jika bantuan disalurkan melalui lembaga filantropi, pertama jangkauan penerima manfaat lebih luas dan tepat sasaran sehingga dapat memperluas dampak kebermanfaatan bagi pemberi.
Kedua, tidak akan terjadi kegagalan proses pertukaran sosial yang terjadi di atas, karena lembaga filantropi memberikan bantuan secara acak sesuai dengan tingkat kemiskinan dan juga dibagi merata dan tidak terfokus pada satu lingkungan.
Ketiga, lembaga filantropi memiliki banyak program pemberdayaan, sehingga bantuan tidak terfokus pada satu jenis saja, biasanya memiliki banyak program seperti pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, kemanusiaan hingga lingkungan.
Tetap Berbagi Apapun Caranya
Namun berbagi melalui lembaga filantropi pun harus hati-hati, tidak semua melakukan manajemen programnya dengan baik. Pilih lembaga yang terpercaya mulai dari adanya audit keuangan yang profesional, program yang tersebar di manapun, kanal digital yang aktif serta yang mensejahterakan karyawannya karena kecil kemungkinan untuk penyelewengan dana bantuan karena semua sudah sejahtera.
Adapun ingin tetap berbagi dengan cara sendiri, mungkin caranya diubah, misalnya berbagi sembako bagi yang membutuhkan di pinggir jalan dan jauh dari rumah, berbagi di lingkungan boleh saja asal tidak rutin.
Saya yakin bagaimanapun niat berbagi itu baik dan akan ada kebaikan yang kembali kepada si pemberi, namun melihat kejadian yang beberapa kali menuntut kebaikan si pemberi, tentu lebih bijak ketika kita memberi kepada orang yang berbeda dalam waktu yang relatif singkat.
***
*) Oleh: Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.