TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Dyah Roro Esti mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunda penerapan tarif resiprokal bagi negara-negara mitra dagangnya adalah momentum bagi Indonesia untuk melakukan negosiasi.
“Langkah ini membuka peluang bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya untuk melakukan negosiasi lebih lanjut,” kata Roro dalam diskusi yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Roro tidak menampik kebijakan ini juga menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi Indonesia.
Sebab, dianggap akan mengancam stabilitas dagang Indonesia maupun negara ASEAN lainnya.
“Kebijakan ini menjadi tantangan nyata bagi pertumbuhan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara yang telah lama menjunjung tinggi prinsip perdagangan bebas dan terbuka,” ujarnya.
Diketahui, ASEAN merupakan pasar ekspor terbesar kelima bagi produk pertanian Amerika Serikat. Dengan total nilai perdagangan barang mencapai USD 306 miliar pada tahun 2024.
“Indonesia sendiri menyumbang USD14,34 miliar terhadap defisit perdagangan Amerika Serikat,” ucap Roro.
Namun, Roro mengatakan bahwa Indonesia memiliki mitra dagang yang cukup strategis dengan beberapa negara.
Enam perjanjian perdagangan tersebut di antaranya Indonesia–Canada CEPA, Indonesia–Peru CEPA, Indonesia–EU CEPA, Iran PTA, dan protokol amandemen Indonesia–Jepang (IJEPA) dan Trade & Investment Framework Agreement (TIFA) antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).
Dia berharap, mitra ini bisa meningkatkan pasar ekspor Indonesia melalui penyelesaian beberapa perjanjian perdagangan bebas (FTA).
“Ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk memperluas akses pasar, meningkatkan ketahanan dagang, dan membuka lapangan kerja baru,” tuturnya.
Sebagai informasi, pada Rabu (9/4/2025), Trump menunda kenaikan tarif impor terhadap sebagian besar negara selama 90 hari.
Namun, secara bersamaan Trump juga menaikkan tarif impor dari China menjadi 125 persen.
Keputusan tersebut, kata Trump, diambil setelah lebih dari 75 negara berupaya berunding dan tidak melakukan tindakan balasan.