TRIBUNNEWS.COM - Serangan udara Amerika Serikat di wilayah Yaman yang dikuasai kelompok Houthi kembali menelan korban jiwa.
Menurut media Houthi, al-Masirah, enam orang tewas dan lebih dari dua puluh lainnya terluka dalam serangan terbaru di Provinsi Sanaa, Minggu (13/4/2025).
Al Jazeera melaporkan bahwa dua serangan tambahan juga menghantam daerah al-Yatmah di distrik Khab dan al-Sha'af di Provinsi al-Jawf, wilayah utara Yaman.
Kelompok Houthi menuduh AS bertanggung jawab atas serangan yang mereka klaim menargetkan fasilitas sipil, termasuk pabrik keramik di lingkungan Bani Matar, Sanaa.
Rekaman dari al-Masirah memperlihatkan kobaran api besar dan tim penyelamat membawa korban dari lokasi yang porak-poranda.
Arab News menyebut bahwa petugas pemadam kebakaran berjuang memadamkan api di tengah puing-puing bangunan.
Dalam pernyataan terpisah, Houthi mengklaim telah menembak jatuh pesawat tanpa awak MQ-9 Reaper milik AS di atas Provinsi Hajjah menggunakan rudal darat-ke-udara buatan lokal.
Komando Pusat Militer AS (CENTCOM) mengatakan pihaknya menyadari adanya laporan tersebut, namun belum memberikan konfirmasi lebih lanjut.
Juru bicara militer Houthi, Yahya Saree menyebut ini merupakan kali keempat mereka berhasil menjatuhkan drone Reaper dalam dua pekan terakhir.
Pesawat nirawak MQ-9 Reaper buatan General Atomics bernilai sekitar US$30 juta per unit, mampu terbang hingga ketinggian 12.000 meter dan bertahan di udara selama lebih dari 30 jam.
Pesawat ini kerap digunakan AS dan CIA dalam operasi militer di Afghanistan, Irak, dan kini Yaman.
Sejak 15 Maret 2025, AS telah melancarkan lebih dari 200 serangan udara terhadap Houthi sebagai bagian dari operasi yang diberi otorisasi langsung oleh Gedung Putih di bawah Presiden Donald Trump.
Serangan-serangan ini disebut menargetkan peluncur rudal, pangkalan militer, hingga personel senior Houthi, sebagai tanggapan atas gangguan mereka terhadap lalu lintas kapal di Laut Merah dan Teluk Aden.
Kementerian Kesehatan yang dikelola Houthi mengklaim lebih dari 120 orang telah tewas sejak kampanye udara dimulai.
Kelompok Houthi menuduh AS membunuh warga sipil, menghancurkan fasilitas militer dan memaksa ribuan keluarga mengungsi.
Kekerasan ini berakar dari konflik yang lebih luas setelah pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023.
Houthi mulai menargetkan kapal dagang dan militer yang diduga berafiliasi dengan Israel dan AS sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina.
Setelah Israel menghentikan pasokan ke Gaza pada awal Maret dan melanjutkan operasi militer pada 18 Maret, Houthi melanjutkan serangan mereka.
Minggu lalu, Houthi mengklaim meluncurkan rudal ke pangkalan militer Israel di Ashdod dan Bandara Internasional Ben Gurion.
Militer Israel mengonfirmasi adanya upaya serangan namun mengklaim berhasil mencegat rudal yang masuk.
Houthi juga menegaskan dukungannya terhadap kesepakatan gencatan senjata Gaza antara Israel dan Hamas.
Mereka menyatakan akan menghentikan serangan jika gencatan senjata diberlakukan kembali.
Lebih dari 100 kapal telah menjadi target Houthi sejak November 2023, dua di antaranya tenggelam dan menewaskan empat pelaut.
Sementara itu, upaya menyerang kapal perang AS sejauh ini belum membuahkan hasil.
Operasi udara AS menunjukkan eskalasi, karena kini tak hanya menargetkan fasilitas peluncuran rudal, tetapi juga menghantam kota-kota dan tokoh militer penting Houthi.
Langkah ini juga disebut sebagai bagian dari tekanan Washington terhadap Iran terkait program nuklirnya yang berkembang pesat.
Iran membantah mempersenjatai Houthi, meskipun beberapa persenjataan buatan Teheran ditemukan dalam pengiriman laut yang dicegat menuju Yaman.
PBB sendiri telah memberlakukan embargo senjata terhadap Houthi sejak konflik meningkat.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)