TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) masih melakukan pengembangan terkait kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO yang melibatkan hakim.
Dari tujuh orang tersangka, penyidik Jampidsus Kejagung tidak menemukan uang saat menggeledah tempat tinggal Hakim Djuyamto di Apartemen The Mansion Kemang, Jakarta Selatan pada Minggu (13/4/2025) yang lalu.
Dalam surat berita acara penyitaan barang bukti elektronik, terlihat hanya ada tiga buah handphone yakni Iphone 15 pro max beserta sim card, Redmi 9A dan Samsung E1272 dalam keadaan mati.
"Sesuai berita acara nggak ada uang kan? Itu yang yerus didalami ke mana," kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar saat dihubungi, Selasa (15/4/2025).
Sementara itu, sejauh ini barang bukti berupa uang hingga mobil mewah baru disita dari enam orang tersangka lainnya.
"Ada 6 yang sudah dirilis lah, mulai dari MAN. Kan MAN itu malah dari tasnya. Ada dari AR, dari MS," tuturnya.
Adapun rincian barang bukti yang disita yakni 40 lembar mata uang dolar Singapura pecahan SGD 100, 125 lembar mata uang dolar Amerika pecahan USD 100 yang disita dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta (MAN).
Kemudian, 10 lembar dolar Singapura uang pecahan SGD 100, 74 lembar dolar Singapura pecahan SGD 50, tiga unit mobil yaitu satu Toyota Land Cruiser dan dua Land Rover, 21 (dua puluh satu) unit speda motor, 7 (tujuh) unit sepeda disita dari tersangka Ariyanto.
Lalu, uang senilai USD 36.000 dan satu unit mobil Fortuner dari tersangka Hakim Ali Muktarom, uang senilai SGD 4.700 dari tersangka Marcela Santoso dan uang tunai Rp616.230.000 dari tersangka Hakim Agam Syarif Baharudin.
Untuk informasi, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.
Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.
Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.
Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.
Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut.
"Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp 60 miliar," tuturnya.
Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.
"Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut," ungkapnya.
Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs.
Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp 22,5 miliar.