TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus yang tergabung dalam Oriental Circus Indonesia (OCI) tengah menjadi sorotan.
Terkait itu, Polri akan melakukan pendalaman jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan membuat laporan polisi.
"Selama ada aduan atau laporan, pasti akan kami tindak lanjuti dan dalami kasusnya," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro saat dikonfirmasi, Kamis (17/4/2025).
Hingga kini, belum ada laporan polisi yang masuk terkait kasus tersebut.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pemberantasan Perdagangan Orang (PPA-PPO) Brigjen Nurul Azizah mengatakan saat ini tim yang dipimpin Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tengah bekerja.
"Untuk permasalahan tersebut saat ini sedang difasilitasi oleh Kemen PPPA dgn melibatkan Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Dit PPA-PPO," ucapnya.
Nurul menjelaskan pelaku eksploitasi terhadap pemain sirkus tidak bisa diterapkan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang peristiwa tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Karena asas non-retroaktif menyatakan bahwa UU itu tidak berlaku surut.
"Non retroaktif adalah asas hukum yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut. Asas ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat," tuturnya.
Untuk informasi, Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) merespons kabar dugaan eksploitasi mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI).
Diketahui, para mantan pemain sirkus itu belakangan buka suara soal kekerasan yang mereka dapat selama bekerja di tempat hiburan.
Terkait hal ini, Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengaku telah melakukan mediasi.
Jadi memang hari ini kami mendengarkan (keluhan) mereka.
"Kami sudah membaca dan mendengar, karena kasus ini memang sudah viral tentang apa yang terjadi pada mantan karyawan Oriental Circus Indonesia. Mereka minta audiensi, dan kami terima serta dengarkan," ujar Mugiyanto, Selasa (15/4/2025) dikutip dari Tribun Jabar.
Mugiyanto mengatakan, testimoni para korban menunjukkan bahwa ada banyak hak asasi yang dirampas, termasuk kekerasan.
“Ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana, banyak kekerasan"
"Salah satu yang penting adalah soal identitas. Identitas seseorang adalah hak dasar, dan beberapa dari mereka bahkan tidak tahu siapa orang tuanya," ujar Mugiyanto.
Dalam audiensi itu, Mugiyanto juga meminta maaf kepada para korban karena harus menyampaikan testimoni yang memilukan dan membuat korban traumatik.
Namun, pihaknya berjanji akan mengupayakan peristiwa serupa tidak terulang.
"Setelah mendengar laporan dari para korban, kami juga akan mencari keterangan dari pihak yang dilaporkan sebagai pelaku."
"Ini harus kami lakukan secepatnya untuk mencegah hal yang sama terulang,” kata Mugiyanto
Salah seorang korban, Fifi, mengaku mendapat perlakuan kejam. Ia sempat diseret hingga dikurung di kandang macan.
Mendapati perlakuan kejam, ia mengaku sempat kabur.
"Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya nggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi di hadapan Wakil Menteri HAM, Selasa, dilansir Tribun Jabar.
Bukannya evaluasi, pihak atau oknum Taman Safari kembali memberikan siksaan kepada Fifi, bahkan berkali-kali lipat lebih kejam.
Setelah kembali, ia diseret, dipasung hingga disetrum di bagian sensitifnya.
"Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum,” ujar Fifi dengan suara lirih.
Selain mendapatkan kekerasan, Fifi ternyata juga tak mengetahui identitas aslinya.
Sejak lahir, Fifi memang dibesarkan di lingkungan sirkus tanpa mengetahui siapa orang tuanya.
Ia diambil oleh salah satu bos sirkus saat ia baru lahir.
Belakangan terungkap bahwa Fifi anak seorang pemain sirkus lainnya bernama Butet.
Saat beranjak dewasa, Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain lantaran belum memiliki kehidupan yang layak.