Laporan Khusus Tim Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi anak yang melibatkan mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) serta Taman Safari Indonesia, kini menjadi sorotan publik.
Hal itu terungkap setelah sejumlah mantan pemain sirkus OCI melaporkan dugaan eksploitasi, perbudakan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) itu ke Kementerian HAM, beberapa waktu lalu.
Pendiri OCI, Tony Sumampau, mengungkap bahwa banyak dari anak-anak yang terlibat dalam sirkusnya berasal dari panti asuhan di kawasan Kalijodo, Jakarta Utara.
Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com pada Jumat (18/4/2025), di kawasan Kalijodo, hanya terdapat satu panti asuhan, yakni Panti Asuhan Hati Bangsa.
Panti asuhan tersebut berlokasi di Jalan Jembatan Dua Raya, Gang Pilin 1 Nomor 5 O, RT 002, RW 002, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Gedung Panti Asuhan Hati Bangsa menempati satu di antara beberapa ruko di sisi kiri jalan tersebut.
Setibanya di depan panti asuhan tersebut, tampak puluhan pasang alas kaki, baik sandal maupun sepatu, diletakkan dengan rapi di rak-rak yang menempel pada dinding Gedung Panti Asuhan Hati Bangsa.
Di atas pintu masuk yang menggunakan dua daun pintu kaca terdapat papan nama bertuliskan "Panti Asuhan Hati Bangsa" serta memuat alamat, nomor telepon, dan nomor rekening untuk donatur memberikan bantuan.
Hampir seluruh dinding bagian luar ruko berlantai empat tersebut menggunakan material keramik berbentuk persegi panjang kecil.
Sebagian keramik ada yang sudah menguning, diduga karena debu atau tanah yang terbawa angin maupun hujan yang kemudian menempel di keramik-keramik tersebut dalam waktu lama.
Kemudian, lantai dua dan tiga ruko tersebut menggunakan jendela geser. Dari beberapa jendela berbahan aluminium yang terbuka, terlihat adanya beberapa ranjang tingkat, yang dapat menandakan ruangan tersebut digunakan sebagai kamar tidur.
Sedangkan, di lantai paling atas tampak ruang terbuka, yang berkanopi dan ditutup menggunakan teralis besi.
Lina, seorang wanita yang merupakan satu dari beberapa pengurus Panti Asuhan Hati Bangsa, menyambut dengan ramah setiap orang yang datang ke panti tersebut.
Dia mengaku tidak mengetahui kabar soal dugaan kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan sirkus OCI dan Taman Safari.
Merespons penjelasan wartawan tentang kasus tersebut, Lina mengatakan di panti asuhan itu tidak memberlakukan sistem adopsi.
"Kalau di sini memang enggak bisa adopsi begitu sih," kata Lina.
Dia lantas memanggil pimpinan pengurus Panti Asuhan Hati Bangsa yang saat itu sedang berada di dalam gedung panti.
Saat ditemui, Mikas, Kepala Panti Asuhan Hati Bangsa membenarkan di tempatnya itu tidak menerapkan sistem adopsi.
Mikas menjelaskan, Panti Asuhan Hati Bangsa didirikan sejak tahun 2016 dan sudah mendapatkan legalitas pendirian panti asuhan dari Dinas Sosial.
Dia lantas membantah soal adanya pemain sirkus OCI berasal dari panti asuhan yang dipimpinnya tersebut.
"Kita sejak 2016 pertama buka. Enggak ada yang kayak gitu-gitu sih (adopsi sirkus OCI). Kita enggak ada program adopsi," kata Mikas, kepada Tribunnews.com.
Menurutnya, sistem adopsi tidak boleh dilakukan oleh lembaga yang sudah terlegalisasi sebagai panti asuhan. Sebab, seharusnya, panti asuhan memiliki visi dan misi untuk membangun masa depan.
Mikas mengatakan, pendirian Panti Asuhan Hati Bangsa berlatar belakang rekomendasi dari majelis-majelis gereja untuk menyelamatkan anak-anak yang terlantar.
Panti asuhan ini telah berdiri sejak 2016 dan di bawah naungan City Vision Church.
Panti ini mengasuh 36 anak usia 10-20 tahun berasal dari luar Jakarta, seperti Nias dan Rote NTT.
Para anak yang diasuh merupakan anak-anak terlantar imbas kondisi yatim-piatu ataupun broken-home (keluarga tidak utuh).
Anak-anak di Panti Asuhan Hati Bangsa menjalani pendidikan di beberapa sekolah, di kawasan sekitar panti asuhan. Dua dari 36 anak yang diasuh, kini sedang menjalani pendidikan kuliah di Universitas Trisakti dan Universitas Esa Unggul.
Para anak yang diasuh juga mendapatkan pendidikan musik dan bahasa Inggris. Kata Mikas, banyak mahasiswa dan lembaga-lembaga bimbel yang menjadi relawan untuk mengajar di Panti Asuhan Hati Bangsa.
Lebih lanjut, Mikas mengatakan, Panti Asuhan Hati Bangsa tidak sembarangan memilih anak untuk dilakukan pengasuhan. Melainkan, pihak panti asuhan terlebih dahulu melakukan observasi terkait layak atau tidaknya anak tersebut untuk diasuh.
"Enggak langsung. Kita harus observasi dulu, latar belakangnya gimana. Karena kan banyak modus-modus dari orang-orang. Misalnya dia pura-pura miskin padahal enggak," jelasnya.
Namun, pengakuan pihak panti tersebut berbeda dengan pernyataan Pendiri OCI, Tony Sumampau sebelumnya.
Tony mengklaim bahwa beberapa anak yang dibawa ke OCI sejak kecil memang berasal dari panti asuhan Kalijodo, yang menurutnya diambil dengan alasan kebaikan orang tuanya yang ingin menolong anak-anak terlantar.
"Orang tua itu suka menampung anak, jadi dari bayi entah anaknya siapa itu, ternyata waktu saya tanya 'ini anak dari mana?' katanya anak dari panti asuhan. 'Panti asuhannya di mana?', 'di daerah dekat Kalijodo'. 'Kenapa diambil?', dia bilang 'saya suka sumbang uang untuk panti asuhan'," kata Tony dalam bincang bersama media, di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).
Tony menjelaskan, anak-anak ini dibesarkan oleh keluarganya hingga berusia 6-7 tahun, dan kemudian dilatih untuk menjadi pemain sirkus.
Ia juga menanggapi tuduhan penculikan yang sempat mencuat, dengan menyebut bahwa banyak dari anak-anak tersebut berasal dari hubungan gelap, yang membuat identitas mereka kabur.
"Setahu saya itu anak-anak dari hubungan gelap. Bapaknya pasti enggak ada yang tahu, ibunya pasti tahu, panti asuhan tahu.
Tapi bapaknya pasti gak tahu, karena anak itu kan anak, kita hanya enggak enak kalau bicara melukai hati anak-anak itu," ucap Tony.
"Tapi memang kejadiannya seperti itu. Saya kira kalau memang ibu bapak mau ngecek pasti ketemu lah di Kalijodo itu. dulu ya," katanya.
Kasus ini mencuat setelah sejumlah mantan pemain sirkus OCI, seperti Vivi, menceritakan pengalaman mereka yang penuh penderitaan.
Vivi, yang mengaku tidak tahu siapa orang tuanya sejak kecil, menyatakan bahwa ia dipaksa bekerja sebagai pemain sirkus di Taman Safari Indonesia, bahkan mendapatkan penyiksaan fisik.
"Saya dipukuli dan dipaksa latihan tengah malam, hingga akhirnya nekat kabur," ujar Vivi dengan suara bergetar saat menceritakan pengalamannya yang mencekam.
Vivi akhirnya kabur ke hutan, hanya untuk ditangkap dan dibawa kembali oleh Frans Manansang, pendiri Taman Safari Indonesia, yang juga dikenal sebagai keluarga pemilik OCI.
Ia mengungkapkan bagaimana dirinya dipukuli saat berada di dalam perjalanan pulang. Kisah Vivi menggambarkan penderitaan yang dialami oleh beberapa mantan pemain sirkus OCI yang akhirnya berbicara demi mencari keadilan.
Komnas HAM mengungkapkan bahwa penyidikan kasus dugaan tindak pidana terhadap pemain anak-anak di OCI sempat dihentikan oleh Polri pada tahun 1999.
Penghentian tersebut tercatat dalam Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um tertanggal 22 Juni 1999. Kasus ini terkait dengan laporan polisi yang diajukan pada tahun 1997 terhadap dua individu yang diduga melanggar Pasal 277 dan 335 KUHP.
Komnas HAM menyatakan bahwa penghentian penyidikan tersebut menghambat pencarian keadilan bagi korban.
Sejak 1997, Komnas HAM telah memantau kasus ini, yang mencakup pelanggaran hak anak, seperti hak untuk mengetahui asal-usul, kebebasan dari eksploitasi ekonomi, hak atas pendidikan, dan perlindungan sosial.
Sementara itu, Taman Safari Indonesia (TSI) lewat juru bicaranya, Finky Santika Nh, membantah semua keterkaitan dengan kasus eksploitasi anak yang melibatkan OCI.
"Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud," ujarnya, dalam keterangan tertulis, pada Kamis, 17 April 2025.
Finky berharap masyarakat bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital.