IBARAT ujian sekolah, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Banjarbaru pada 27 November 2024 lalu, dinilai gagal.
Harus “remidial” atau dilakukan perbaikan. Karena itu, melalui putusannya pada 24 Februari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Menindaklanjuti perintah itu, Sabtu 19 April 2025 ini menjadi hari pengujian apakah pesta demokrasi di Ibu Kota Kalimantan Selatan (Kalsel) tersebut sudah memenuhi syarat “lulus” atau sebaliknya, “remidial” lagi.
PSU memang bukanlah tahap akhir Pilkada. Sesuai konstitusi, hasilnya masih bisa digugat lagi.
Bahkan, KPU RI pada 17 April 2025 kemarin mengungkapkan sudah ada tujuh hasil PSU yang
digugat ke MK.
Gugatan-gugatan tersebut berasal dari daerah yang menjalankan PSU pada 22 Maret 2025 dan 5
April 2025. Jumlahnya bisa saja bertambah karena masih ada beberapa daerah yang akan menggelar PSU, termasuk Banjarbaru.
Pada Pilkada 2024, terdapat 24 daerah yang diperintahkan MK untuk menghelat PSU. Sebanyak
14 daerah di antaranya menyelenggarakan PSU di seluruh TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Un tuk Banjarbaru, MK memerintahkan KPU menggelar PSU di seluruh TPS dan menghadirkan kolom kosong di surat suara.
Pada dasarnya PSU adalah koreksi terhadap penyelenggaraan Pilkada yang dinilai MK tidak sejalan dengan asas dan prinsip pemilihan yang jujur, adil, dan demokratis.
Karena itu, apabila dalam pelaksanaan PSU ditemukan adanya pelanggaran yang mempengaruhi
kredibilitas hasil pemilihan, secara hukum pihak yang keberatan juga dapat mengajukan gugatan ke MK.
Dan, bila dikabulkan, MK dapat memerintakan “remidial” dalam bentuk Pilkada ulang.
Tentu ini menjadi tantangan sekaligus ajang pembuktian bagi penyelenggara Pilkada, baik KPU maupun Bawaslu.
Munculnya gugatan terhadap hasil Pilkada dan masih adanya gugatan terhadap hasil PSU Pilkada, tentu memunculkan pertanyaan mendasar: sudah maksimalkah penyelenggara dalam bekerja sehingga pesta demokrasi di tingkat daerah itu terjadi kecurangan?
Padahal, bila dicermati, banyak komisioner penyelenggara baik di KPU maupun Bawaslu, bukan
orang baru dan “awam”. Tidak sedikit pula orangorang yang memiliki kemampuan akademis dan
pengalaman di bidang kepemiluan, berada di kedua lembaga tersebut.
Sementara, permasalahan yang kerap menjadi dasar gugatan, sebenarnya pernah terjadi pada Pil-
kada-Pilkada sebelumnya.
Seharusnya ada antisipasi dari penyelenggara agar pelanggaran serupa
tidak terulang, termasuk masalah multitafsir.
Mitigasi risiko dan krisis sudah harus disiapkan secara matang sejak tahapan Pilkada dimulai.
Menjadi harapan bersama, penyelenggara kali mampu menghadirkan PSU yang jujur dan adil di Banjarbaru. Soalpuas atau tidak puas itu relatif.
Tidak hanya KPU, Bawaslu dan masyarakat, PSU juga menjadi ujian bagi sejarah demokrasi di Banjarbaru yang akan berulang tahun ke-25 pada Minggu 20 April 2025 besok. Akankah hasil PSU menjadi kado manis? Atau sebaliknya, kado pahit? (*)