Sejarah dan Bagaimana Kedudukan Selat Muria yang Menjadi Pelabuhan Kerajaan Demak pada Saat Itu
Moh. Habib Asyhad April 22, 2025 02:34 PM

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Selat Muria menduduki posisi penting dalam eksistensi Kerajaan Demak, yang disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Artikel ini akan menjawab soal sejarah dan bagaimana kedudukan Selat Muria yang menjadi pelabuhan Kerajaan Demak pada saat itu.

Selat Muria adalah jalur transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk perdagangan pada abad ke-17. Selat Muria membuat Kota Demak menjadi kota pelabuhan yang sangat ramai dan populer untuk kegiatan jual beli dan perdagangan lainnya.

Di tepi Selat Muria, ada pelabuhan-pelabuhan perdagangan yang menawarkan berbagai komoditas, seperti kain tradisional dari Jepara, garam dan terasi dari Juwana, dan beras dari wilayah pedalaman Pulau Jawa dan Pulau Muria.

Selat Muria juga menjadi tempat untuk galangan-galangan kapal yang membuat kapal Jung Jawa dari kayu jati yang banyak terdapat di Pegunungan Kendeng, yang letaknya di selatan selat. Kapal Jung Jawa adalah kapal layar kuno yang berasal dari Jawa dan sering dipakai oleh pelaut Jawa dan Sunda.

Dengan kondisi tersebut, Selat Muria menjadi pelabuhan Kerajaan Demak yang berkembang pesat. Namun karena ada konflik politik, komoditas yang semula ada di Selat Muria pindah ke Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta.

Selanjutnya, berdasarkan laporan pada tahun 1657, disebutkan bahwa selat ini semakin dangkal karena endapan-endapan dari sungai yang bermuara ke Selat Muria, seperti Kali Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi. Akibatnya, kapal-kapal besar tidak bisa masuk ke Selat Muria.

Lama-kelamaan, Selat Muria pun menghilang. Sekarang, sisa-sisa dari Selat Muria bisa dilihat di Sungai Kalilondo yang membujur dari Juwana di timur sampai Ketanjung di barat.

Selain itu, ada juga sungai-sungai yang terbentuk dari bekas Selat Muria, seperti Sungai Silugunggo yang melewati wilayah Kabupaten Pati, Jawa Tengah,

Sejarah Selat Muria

Selat Muria diperkirakan "menghilang" sekitar abad ke-17. Ketika masih ada,di sepanjang tepian Selat Muria terdapat pelabuhan perdagangan dengan berbagai komoditas yang datang dari wilayah pedalaman Jawa, maupun Pulau Muria.

Dalam buku karya Tome Pires, seorang penulis berkebangsaan Portugis, pada awal abad ke-16, kawasan Selat Muria merupakan lokasi galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal jung Jawa. Keberadaan industri pembuatan kapal membuat kawasan ini didominasi oleh para saudagar muslim, dan Tome Pires memberinya julukan sebagai penguasa jung.

Selat Muria semakin ramai ketika dilalui oleh kapal-kapal dagang yang menuju Kerajaan Demak, yang kala itu berperan sebagai pelabuhan utama. Ketika menggambarkan ekologi Demak, De Graaf dan Pigeaud menulis bahwa distrik Demak terletak di pantai selat, yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa.

Selat Muria memiliki peran penting bagi perekonomian Kerajaan Demak, yang bergantung pada sektor maritim sekaligus agraris.

Pelabuhan Demak menjadi tujuan kapal-kapal dari Maluku untuk menjalankan transaksi perdagangan, sehingga lalu lintas di Selat Muria cukup ramai. Selat Muria cukup lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga menjadi jalan pintas bagi para pedagang dari Semarang yang hendak menuju Rembang atau sebaliknya.

Keberadaan Selat Muria membantu para pedagang tidak perlu memutar melewati Pelabuhan Jepara ataupun memutari Pulau Muria.

Menurut De Graaf dan Pigeaud, pada abad ke-17, selama musim hujan orang dapat berlayar dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana, dengan sampan lewat tanah yang tergenang air. Dengan kata lain, saat itu Selat Muria sudah surut, dan sungai-sungai di sekitar pantai utara Jawa juga mengalami pendangkalan.

Pada 1657, Tumenggung Pati sempat mengumumkan bahwa ia bermaksud menggali saluran baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana bisa menjadi pusat perdagangan.

Diperkirakan, Tumenggung Pati ingin memulihkan jalan air lama, yang satu abad sebelumnya masih dapat dipakai. Saat itu, Selat Muria sudah tidak dapat lagi dilayari dengan perahu-perahu yang besar karena telah menjadi dangkal oleh endapan lumpur.

Proses sedimentasi pada Selat Muria, dengan cepat membuat selat tertutup pasir sehingga menjadi sebuah daratan. Material sedimentasi pada Selat Muria berasal dari beberapa sungai, seperti Sungai Jragung, Tuntang, Lusi, Juwana, dan Jratunseluna.

Selat Muria, yang perlahan berubah menjadi rawa-rawa dan perairan yang dangkal, membawa dampak besar, terutama bagi aktivitas pelayaran dan perdagangan. Semenjak Selat Muria mengalami sedimentasi, Pelabuhan Demak tidak lagi menjadi pelabuhan utama dan digunakan kapal-kapal untuk berlabuh. Pasalnya, Selat Muria tidak dapat dipakai sepanjang tahun, karena saat musim kemarau menjadi dangkal.

Kondisi itu membuat kapal-kapal yang hendak berlabuh di Pelabuhan Demak harus menunggu air pasang, yang membuat kegiatan perdagangan menjadi tersendat. Akibatnya, para pedagang dari Maluku berpindah berlabuh di Pelabuhan Jepara, karena selain aman dari terjangan gelombang besar, perairannya stabil.

Endapan sungai yang bermuara di Selat Muria membuat selat ini semakin dangkal dan akhirnya hilang. Hilangnya Selat Muria menjadi dataran rendah membuat Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa. Selat Muria sekarang Di masa sekarang, Selat Muria sudah menjadi bagian dari Kabupaten Pati, Demak dan Kudus.

Wilayah Selat Muria juga digunakan sebagai tempat hunian warga setempat serta aktivitas pertanian. Bukti dari sisa-sisa Selat Muria juga dapat dijumpai pada Situs Purbakala Patiayam, Kudus, yang banyak menyimpan fosil-fosil hewan laut serta bangkai kapal.

Setiap tahun, kawasan yang dulunya merupakan Selat Muria kerap tergenang air saat musim hujan. Memasuki tahun 2024, Kabupaten Demak dilanda banjir terparah dalam 30 tahun, dengan daerah terdampak jauh lebih luas dari tahun-tahun sebelumnya.

Bencana tersebut menghidupkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa Selat Muria akan terbentuk lagi. Dikutip dari Kompas.com, Selat Muria tidak bisa muncul kembali dalam waktu dekat. Dosen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Salahuddin Husein, mengatakan bahwa pembentukan selat memerlukan proses geologis berupa pembentukan cekungan laut yang membutuhkan waktu hingga jutaan tahun.

"Suatu selat akan terbentuk secara geologis, yaitu apabila kerak Bumi di kawasan tersebut mengalami peregangan (rifting) dan penurunan (subsidence) secara tektonis," kata Salahuddin. Hingga saat ini, Salahuddin melaporkan bahwa indikasi awal proses tektonis tersebut masih belum terlihat. Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa Selat Muria tidak akan terbentuk kembali dalam skala waktu manusia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.