Masyarakat dan Polisi: Bisakah Menumbuhkan Kepercayaan lewat Kolaborasi Sosial?
Meicky Shoreamanis Panggabean April 23, 2025 12:41 PM
Sejak awal, institusi kepolisian Indonesia memikul dua peran: penegak hukum dan pelayan masyarakat. Namun, hubungan dengan publik tak selalu mulus. Masyarakat kerap sinis, meragukan integritas polisi, tapi tetap berharap pada mereka untuk menjaga keamanan dan beberapa tugas lainnya.
Ini menunjukkan bahwa kepercayaan publik sebenarnya masih ada. Di sinilah peran Perpolisian Masyarakat (Polmas) menjadi penting. Polmas menekankan bahwa keamanan yang berkelanjutan hanya bisa dibangun melalui kemitraan antara polisi dan warga. Dalam paradigma ini, polisi bukan sekadar aparat penindak, melainkan juga fasilitator dialog sosial dan katalisator perubahan di akar rumput
Model ini telah masuk dalam kebijakan nasional, yaitu Perpol No. 1 Tahun 2021, dan diwujudkan antara lain melalui Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM). Namun, pelaksanaannya belum merata. Hambatannya meliputi keterbatasan sumber daya, minimnya pelatihan, dan budaya birokratis yang belum lincah.
Meski begitu, ada figur-figur yang coba menjembatani harapan dan kenyataan tersebut. Kompol Riza Sativa, SH, S.iK, M.iK, misalnya, berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan (FIP UPH) untuk mengimplementasikan program Polmas.
Saat menjabat sebagai Kapolsek Sunda Kelapa, Kompol Riza menggagas kelas gratis belajar bahasa Inggris bagi anak-anak di pesisir Muara Angke. Ide ini dieksekusi oleh Michael Recard Sihombing, dosen FIPH UPH, dan beberapa mahasiswa calon guru.
Sekarang, Riza bertugas di Pola Metro Jaya sebagai Kepala Unit 2 namun program yang digagasnya masih berjalan. Apa yang dilakukan Riza dan timnya bukan sekadar aksi sosial. Ini adalah bentuk konkret dari kehadiran polisi sebagai mitra, bukan penguasa.
Memikirkan kemampuan apa yang sebaiknya dikuasai anak-anak bukanlah tugas polisi. Bagaimanapun, ketika pendekatan kemanusiaan menjadi fondasi, pendidikan akhirnya menjadi bagian dari pelayanan. Melalui kegiatan ini, anak-anak tidak hanya mendapat keterampilan baru, tapi juga mengalami bentuk baru dari kata 'pengayoman' yang sebelumnya dimaknai secara abstrak.
Program ini menarik karena di baliknya ada upaya untuk menelaah akar persoalan kejahatan, yakni pendidikan. Jika kriminalitas hanya diselesaikan kasus per kasus, penanganannya cenderung superfisial. Memberantas kejahatan tentu saja sangat penting, namun menggali akar masalah dan menawarkan solusi preventif merupakan langkah yang patut diapresiasi.
Program ini dilakukan di panti asuhan yang dikelola oleh Masjid AT-Taufiqul Mubarok. Kemitraan antara polisi, akademisi, dan masyarakat umum ini berjalan sejak 2022. Kolaborasi lintas sektor bisa dipandang sebagai upaya membangun rasa aman dalam masyarakat.
Tidak semua anggota polisi memiliki ruang untuk berinovasi seperti Riza. Namun, kisah semacam ini penting karena menyodorkan cara pandang alternatif: bahwa keamanan bukanlah sekadar absennya kejahatan, melainkan terwujudnya keadilan sosial yang nyata.
Di balik berbagai kekurangan institusi kepolisian, mungkin yang dibutuhkan masyarakat adalah koreksi atas cara pandang sehingga bisa menilai dengan lebih holistik dan objektif. Mengkritik kepolisian, boleh. Marah, tak apa. Kecewa, wajar. Bagaimanapun, harus kita akui bahwa ada aspek-aspek dalam hidup yang akan berantakan jika mereka tak hadir.
Bukan tanpa sebab semua negara di dunia punya departemen kepolisian. Vatikan memang tak punya tapi mereka memiliki Gendarmerie Corps, semacam pasukan keamanan internal. Jadi, tetap ada fungsi kepolisian, hanya tidak berbentuk institusi konvensional seperti negara lain.
Oleh karena itu, ada baiknya kita mengadopsi pola pikir yang konstruktif tanpa perlu tergelincir dalam toxic positivity. Ternyata, di antara rasa kecewa, masih ada ruang untuk percaya dan kesempatan kerja sama. Baik masyarakat dan kepolisian sebaiknya cermat dalam mengobservasi peluang apa saja yang ada.
Kepercayaan adalah mata uang sosial yang hanya bisa diperoleh melalui konsistensi dan kehadiran yang nyata. Ia tak bisa dibeli dengan jargon atau diklaim lewat baliho. Di sinilah pentingnya menakar ulang relasi antara polisi dan masyarakat dengan pendekatan yang lebih substansial daripada sekadar citra.
Program seperti yang dilakukan oleh Kompol Riza dan rekan-rekannya di Muara Angke tak mampu mengubah sistem secara menyeluruh. Namun, ia membuka jalan bagi munculnya praktik-praktik baik yang dapat dilipatgandakan. Prinsip ATM bisa diterapkan di sini: Ambil, Tiru, dan Modifikasi.
Program di Kamal Muara memanfaatkan bangunan posyandu warga yang terdiri dari satu ruangan.
zoom-in-whitePerbesar
Program di Kamal Muara memanfaatkan bangunan posyandu warga yang terdiri dari satu ruangan.
Kolega Riza di kepolisian Muara Angke, Tri Gunarto, S.H, juga melakukan hal serupa. Tri adalah Ketua RW 03 di Kamal Muara. Atalya Agustin, juga dosen FIP UPH, membantu Tri dalam mengadakan program gratis bahasa Inggris untuk anak-anak yang ada di wilayah tersebut. Kendati program Riza dan Tri sama-sama berlokasi di Jakarta Utara, terdapat perbedaan signifikan dalam demografi murid. Materi belajar, format ruangan, dan strategi pedagogi, juga berlainan. Di sinilah lantas prinsip ATM dijalankan.
Praktik semacam ini menawarkan narasi alternatif dari dominasi berita negatif, sekaligus menyisipkan optimisme yang berakar pada realita. Berminat untuk melakukannya?
Kompol Riza (kiri), Michael (kanan), dan  beberapa mahasiswa serta anak yang mengikuti program belajar gratis bahasa Inggris di Muara Angke.
zoom-in-whitePerbesar
Kompol Riza (kiri), Michael (kanan), dan beberapa mahasiswa serta anak yang mengikuti program belajar gratis bahasa Inggris di Muara Angke.
Pembukaan program belajar gratis bahasa Inggris di Kamal Muara. Hadir ketua tim pengajar, Atalya (kiri), dan penggagas program yaitu Tri (paling belakang).
zoom-in-whitePerbesar
Pembukaan program belajar gratis bahasa Inggris di Kamal Muara. Hadir ketua tim pengajar, Atalya (kiri), dan penggagas program yaitu Tri (paling belakang).
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.