Dialah Snouck Hurgronje, Sosok di Balik Runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam: Secara Lahiriah Saya adalah Seorang Muslim
Moh. Habib Asyhad April 28, 2025 03:34 PM

Snouck Hurgronje punya andil besar terhadap runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Sumatera, terutama lewat nasihat-nasihatnya selama Perang Aceh.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Perang Aceh yang berkepanjangan berakhir dengan kemenangan Belanda dan runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Sumatera. Perang Aceh juga membuat nama Snouck Hurgronje semakin cemerlang dan banyak dikenal orang.

Snouck Hurgronje punya andil besar terhadap menangnya Belanda dalam Perang Aceh. Dan secara tidak langsung, dia punya andil besar terhadap bubarnya Kerajaan Aceh Darussalam.

Inilah sosok Snouck Hurgronje, utusan kolonial Belanda yang ternyata pernah menjadi Syaikhul Islam Jawa. Snouck juga punya gelar Haji.

ProfilSnouck Hurgronje

Snouck tiba di Batavia pada 11 Mei 1889. Tugasnya di Hindia Belanda adalah sebagai penasihat pemerintaha kolonial dalam urusan pribumi, khususnya dalam urusan Islam.Snouck, bisa dibilang, adalah arsitek dari segala kebijakan terkait islam zaman Belanda.

Yang jelas, sebagaimana ditulis oleh Intisari,Snouck masuk Islam. Ini sebuah kenyataan, sebagaimana yang tercatat dalam buku hariannya. Tapi apakah dia benar-benar meyakini Islam, hanya Tuhan yang tahu.

Yang jelas, selama hampir setahun tinggal di Jeddah dan Mekkah, serta 17 tahun di Hindia Belanda, sulit menganggapnya bukan seorang Islam. Dia dikhitan, naik haji, berzakat, taat melakukan salat, juga berpuasa.

Semua kewajiban berat, yang hampir mustahil dilakukan hanya untuk sekadar berpura-pura. Anehnya, dalam surat kepada rekannya, seorang islamolog Jerman, Snouck pernah menulis bahwa dia hanya sekadar melakukan izhar al-Islam, bersikap lahiriah Islam.

Dengan kata lain, apakah batinnya tidak Islam?

Tak hanya keislaman Snouck yang tidak jelas. Iman Kristen-nya juga sering diragukan. Soalnya, setelah menginjak dewasa ia juga tak pernah menunjukkan tanda-tanda sebagai pengikut Kristus yang taat.

Tak ada seorang pun yang menuntutnya berkelana jauh sampai ke Arab. Waktu itu, 1884, sebenarnya kedudukannya sudah lumayan sebagai dosen muda di Universitas Leiden. Namun, Snouck ingin sekali mempelajari kebudayaan dan bahasa Arab di negeri asalnya. Sesuatu yang sebelumnya hanya dia kenal lewat sumber-sumber tertulis.

Jalan menuju tanah Arab dia temukan di Departemen Kolonial Belanda, yang atas usulannya menyetujui dan mau membiayai penelitian tentang kehidupan jemaah haji Hindia Belanda di sana. Pada kenyataannya Snouck tak hanya menjalankan penelitian yang ditugaskan. Laporan setebal hampir 400 halaman yang kemudian disusunnya, merupakan salah satu catatan paling lengkap dan rinci tentang berbagai aspek kehidupan di kota suci Mekkah.

Bahwa dia sebuah pribadi dengan hasrat berpetualang yang besar, juga terlihat dalam soal kepergiannya ke Mekkah. Perjalanan ini sebetulnya sama sekali berada di luar rencana yang disetujui pemerintah di Den Haag, yang hanya memintanya melakukan penelitian di Jeddah.

Kurang pas jadinya kalau mencap bulat-bulat Snouck alat pemerintah kolonial untuk memata-matai Islam, seperti yang sering didengungkan. Mungkin lebih tepat kalau dibilang justru Snouck-lah yang telah memperalat pemerintah Belanda untuk mencapai obsesinya menjadi penguasa pengetahuan Islam yang besar.

Snouck berayahkan J.J. Snouck Hurgronje, seorang pendeta gereja Heryormd di Tholen, Provinsi Zeeland, yang lalu dipecat dari jabatannya karena meski sudah kawin punya hubungan asmara dengan seorang anak pendeta lain. Setelah istri pertamanya meninggal, dia kawin lagi dengan pacar gelap yang bernama Anna Maria ini.

Snouck yang lahir 8 Februari 1857 adalah anak keempat dari perkawinan ini. Konon, kakak-kakak kandung Snouck sudah dilahirkan sebelum kedua orangtuanya menikah secara resmi.

Lulus dari sekolah menengah Snouck berkuliah di Jurusan Teologi, Universitas Leiden. Namun, entah mengapa, ia lalu pindah ke fakultas sastra, jurusan Arab, dan berhasil meraih gelar doktor tahun 1880, dalam usia 23 tahun.

Snouck memang sangat cerdas dan memiliki bakat besar dalam soal kebahasaan. Sebagai ahli sastra Arab tentu saja ia bisa berbahasa Arab dengan baik. Setelah tinggal di Hindia Belanda, ia juga dengan cepat bisa menguasai bahasa Melayu berbagai bahasa daerah.

Dalam usia lanjutnya Snouck juga sempat menguasai bahasa Turki yang dipelajarinya hanya dalam waktu enam minggu. Konon, sepanjang hayatnya Snouck menguasai tak kurang dari 15 bahasa.

Setelah jadi doktor dengan disertasi tentang upacara naik haji, pengetahuan Snouck tentang Islam sudah sangat luas dan mendalam. Dia juga sudah lancar berbahasa Arab. Karenanya, boleh dikata ia hampir tak mendapat kesulitan apa pun selama setahun melakukan penelitian di Jeddah dan Mekkah.

Terpesona oleh ketinggian ilmu Islamnya, para ulama setempat dengan mudah memberi pengakuan ketika ia mengikrarkan diri masuk Islam. Kemudian Snouck juga tak sekadar diizinkan mengunjungi Mekkah yang tertutup bagi orang bukan Islam, tapi bahkan sampai diundang sendiri oleh para ulama dan walikotanya.

Selama tujuh bulan tinggal di Mekkah Snouck berhasil mengorek berbagai informasi yang dia perlukan, termasuk dari para ulama asal Hindia Belanda. Dia pasti masih akan lebih lama tinggal di Mekkah andaikata tak "dikhianati" wakil konsulat Prancis di Jeddah yang mungkin iri melihat Snouck berhasil masuk Mekkah dan leluasa melakukan penelitian di sana.

Snouck pun diusir dari kota suci sebelum tugasnya benar-benar selesai.

Selama di Hindia Belanda ia juga dianggap ulama besar yang tahu segalanya tentang Islam. Dr. Aqib Suminto, islamolog IAIN Jakarta yang pernah meneliti sejarah politik Islam Hindia Belanda, mengatakan hanya ulama-ulama papan atas yang berani berdiskusi soal agama dengan Snouck.

Ilmu Haji Abdul Gaffar ini rupanya memang luar biasa, sampai-sampai ia sering disebut sebagai mufti Batavia, mufti Hindia Belanda, bahkan syaikhul Islam Jawa, gelar-gelar yang tak sembarang ulama bisa menyandangnya.

Mengapa Snouck bisa sampai di Hindia Belanda sebagian besar juga karena dipacu semangat petualangannya. Setelah kabur dari Mekkah, Snouck kembali mengajar di Universitas Leiden. Tapi ia merasa kurang puas dan ingin melepaskan diri dari tugas mengajar.

Apa yang dimauinya adalah melakukan penelitian tentang Islam di Hindia Belanda. Dia lagi-lagi beruntung karena permohonannya pada gubernur jenderal mendapat sambutan positif.

Menteri kolonial Belanda juga mendukung rencana Snouck yang memang berotak cemerlang. Salah satu tugas utamanya adalah meneliti suku bangsa Aceh, yang sudah lama menjengkelkan pemerintah di Batavia karena tak mau tunduk dan terus melakukan perlawanan pada pemerintah kolonial.

Dia dijanjikan akan mendapat tunjangan sebesar 1.150 gulden sebulan. Namun, terbatasnya dana yang ada membuat tunjangan ini dikurangi menjadi hanya 700 gulden saja. Baru dua minggu di Hindia Belanda Snouck sudah akrab dengan sejumlah tokoh keturunan Arab dan para ulama, yang sebagian memang sudah dikenalnya di Arab.

Secara khusus ia menjalin persahabatan dengan Othman bin Yahya, ulama keturunan Arab yang lalu jadi orang kepercayaannya di Kantoor voor Inlandsche Zaken, Kantor Urusan Pribumi, yang dipimpin Snouck.

Di kalangan pegawai Belanda di Batavia, Snouck dianggap lain dari yang lain. Tidak seperti amtenar Belanda umumnya, Snouck lebih suka tinggal di lingkungan kaum pribumi atau keturunan Arab.

Di Batavia dia misalnya pernah tinggal di Gang Sentiong dan di Oude Tamarindelaan, Jl. Asem Lama (sekarang Jl. Wahid Hasyim), di mana banyak tinggal warga keturunan Arab. Maksudnya tentu saja agar ia lebih dekat dengan para narasumbernya.

Dia juga pernah tinggal di Cilegon untuk meneliti sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang diduga didalangi para ulama di sana. Dari Cilegon Snouck lalu pindah ke Menes dan tinggal menumpang di rumah keluarga-bupati Serang yang sudah ia kenal sebelumnya.

Ketika Snouck di Mekkah dia banyak ditolong oleh Raden Abu Bakar Djajadiningrat, seorang kerabat bupati Serang.

Waktu bertugas sebagai penasihat dalam Perang Aceh, 1891-1892, Snouck pun turun langsung ke lapangan. Sebagai Mufti Abdul Gaffar, dengan gampang dia mendapatkan kepercayaan dari para tokoh masyarakat dan ulama Aceh.

Snouck sendiri merasa sreg dengan tugas-tugas yang dipikulnya dan jadi betah tinggal di Jawa. Dia lalu memohon agar statusnya sebagai petugas tidak tetap dalam pemerintahan Hindia Belanda diubah menjadi petugas tetap.

Kariernya di Hindia Belanda menanjak terus. Maret 1891 ia diangkat menjadi Penasihat Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam, dan meningkat menjadi Penasihat Urusan Pribumi dan Arab pada bulan Januari 1889.

Meski ia berkantor di Batavia, Snouck tetap sering turun ke berbagai daerah di Jawa. Antara tahun 1898-1903 Snouck Hurgronje sempat beberapa kali ke Aceh untuk membantu Jenderal Van Heutz dalam menaklukkan Aceh.

Setelah 17 tahun di Hindia Belanda, tahun 1906 dia pulang untuk berlibur ke Negeri Belanda. Namun, Snouck malah diangkat menjadi guru besar di Universitas Leiden, merangkap penasihat menteri jajahan.

Dalam sebuah perjalan tugasnya ke berbagai pelosok Jawa Barat, Snouck yang masih bujangan jatuh hati pada anak gadis kepala penghulu Ciamis, Raden Haji Muhammad Taib. Snouck pun menikah secara Islam dengan Sangkana, begitu nama si anak penghulu, di Masjid Ciamis.

Perkawinan ini, yang beritanya antara lain dimuat dalam Soerabaja Courant edisi 9 dan 13 Januari 1890, menimbulkan kehebohan besar di kalangan pemerintah. Bukan hanya pemerintah di Batavia, tapi juga sampai pemerintah pusat di Den Haag.

Pasalnya, perkawinan campuran Belanda-pribumi adalah haram menurut undang-undang kolonial, karena dianggap bisa menurunkan martabat bangsa Belanda. Menteri penjajahan secara resmi meminta penjelasan pada gubernur jenderal tentang kebenaran berita tersebut.

Menurut penjelasan gubernur jenderal–yang entah mengapa bernada membela Snouck–apa yang sebenarnya terjadi adalah Snouck telah menyaksikan sebuah upacara perkawinan Islam di Masjid Ciamis dalam rangka penelitian yang dilakukannya. Snouck juga ikut membantah keras berita perkawinannya itu.

Dari perkawinan ini Snouck menghasilkan empat anak: Salamah Emah, Oemar, Aminah dan Ibrahim. Sangkana meninggal dunia pada tahun 1895, ketika keguguran anaknya yang kelima. Keempat anak Snouck lalu dipelihara dan dibesarkan oleh istri bupati Ciamis yang masih berkerabat dengan istrinya.

Empat tahun setelah kematian istri pertamanya Snouck kawin lagi di Bandung. Lagi-lagi dengan anak perempuan keluarga penghulu. Kali ini dengan cucu penghulu kepala Bandung, Haji Muhammad Rusdi.

Penghulu kepala ini mempunyai anak bernama Haji Muhammad Sueb, wakil penghulu Bandung, yang dikenal dengan sebutan Kalipah Apo dan kondang sebagai qori — pembaca Al Quran — jempolan. Snouck kawin dengan anak gadis Kalipah Apo, Siti Sadijah, yang memberinya seorang anak laki-laki bernama Raden Joesoef.

Agar rahasia perkawinannya tak sampai terbongkar, Snouck antara lain melarang anak-anaknya dididik di sekolah Belanda. Dia juga tidak setuju ketika setelah dewasa R. Joesoef, Ibrahim dan salah seorang anaknya yang perempuan menyatakan ingin melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda.

Setelah pulang ke Negeri Belanda, Snouck sempat kawin lagi. Dari perkawinannya yang ketiga ini dia punya seorang anak perempuan, Christine. Seperti hampir semua orang, Christine tak pernah tahu ia masih punya seorang kakak laki-laki di Indonesia. Semua baru kaget setelah sejarawan Belanda von Koningsveld pada awal tahun 1980-an membeberkan di surat kabar hasil penelitiannya tentang kehidupan perkawinan Snouck selama ia tinggal di Hindia Belanda.

Begitu membaca berita tersebut, Christine lalu menyurati R. Joesoef, menyatakan ingin bertemu dan mengharapnya berkunjung ke Negeri Belanda.

Singkat cerita, akhirnya bertemulah kakak-beradik R. Joesoef — Christine, yang sebelumnya tak pernah saling kenal selama lebih dari 70 tahun. Konon, peristiwa pertemuan dua manusia lanjut usia ini sangat mengharukan, penuh linangan air mata.

Dokumen-dokumen sejarah yang baru ditemukan belakangan, makin kuat menunjukkan bahwa Snouck menjadi Islam hanya karena ingin secara total menyelami dan menguasai pengetahuan Islam–dan juga demi tugas sebagai penasihat pemerintah dalam urusan pribumi. Dahulu, hal ini tak ada seorang pun yang tahu, termasuk dua penghulu yang sempat jadi mertuanya.

Juga tak ada sahabat-sahabat pribuminya yang tahu bahwa Snouck malah sering bertindak di luar jalur ajaran Islam. Tahun 1915, misalnya, Snouck pernah mengajukan usulan pada pemerintah agar umat Islam Hindia Belanda dilarang melakukan ibadah haji ke Mekkah, semata-mata untuk menghindari pengaruh gerakan Pan Islamisme yang revolusioner.

Jalan sejarah pasti akan lain jadinya andaikata Snouck tidak pernah bersembunyi di balik nama Abdul Gaffar, syaikhul Islam Jawa.

BagaimanaSnouck memenangkan Perang Aceh?

Bagi Belanda, Perang Aceh, selain melelahkan, adalah perang yang modalnya sangat besar. Perang ini merentang selama lebih dari 30 tahun, dibagi menjadi empat babak.

Yang membuat Belanda kesulitan mengalahkan Aceh, salah satunya adalah kurangnya informasi mengenai medan Aceh yang superberat.Saatperang telah berjalan dua dekade, Belanda yang mulai kewalahan memutuskan untuk mengubah strategi.

Untuk menaklukkan Aceh, Belanda menempuh jalan lain, yaitu dengan mengirim "sosok spesial" untuk mencari rahasia tata negara Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Sosok spesial itu adalah Snouck Hurgronje.

Snouck Hurgronje adalah seorang orientalis pilih tanding, berkebangsaan Belanda, yang menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari Islam. Di Mekkah, dia mendapat bimbingan langsung dari para ulama kaliber untuk belajar Islam.

Dari situlah, Hurgronje fasih berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan luas tentang Islam.

Di Mekkah, dia juga sempat belajar bahasa Melayu dan bergaul dengan orang-orang Aceh yang sedang naik haji. Berdasarkan pengalaman itu, Hurgronje, yang telah berada di Batavia sejak 1889, dipandang menjadi sosok yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam penaklukan Aceh.

Pada Juli 1891, Snouck Hurgronje dikirim oleh Belanda untuk menyelidiki tata negara Aceh agar diketahui kelemahannya.

Untuk mengalahkan pertahanan Aceh, Snouck menyamar sebagai ulama dengan nama Abdul Gafar selama dua tahun. Dengan cara itu dia melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh.

Selama tinggal di tengah-tengah rakyat di Peukan Aceh dan menjalin hubungan dengan tokoh adat serta para ulama, Hurgronje menulis lebih dari 1.400 laporan tentang situasi di sekitarnya. Tujuh bulan berada di Aceh membuat Snouck Hurgronje mengetahui masalah utama yang dihadapi Belanda.

Dari penelitian yang dia lakukan, Snouck berkesimpulan,kekuatan terbesar Aceh terletak pada peran para ulama. Meskipun sultan berhasil ditundukkan, perlawanan akan terus berkobar selama ulama tidak bisa ditaklukkan.

Pada 23 Mei 1892, Snouck menulis sebuah laporan kepada pemerintah Belanda yang diberi judul "Atjeh Verslag". Laporan tersebut berisi temuannya selama menyamar dan beberapa cara menaklukkan Aceh berdasarkan pihak yang akan dihadapi.

Mengacu pada temuan-temuannya, Snouck Hurgronje memberi banyak saran untuk mengakhiri Perang Aceh. Salah satu saran yang diberikan oleh Hurgronje kepada Belanda dalam menghadapi Perang Aceh adalah memecah belah kekuatan yang ada dalam masyarakat Aceh.

Kaum ulama yang memimpin perlawanan harus dihadapi dengan kekuatan senjata. Terkait masalah ini, Hurgronje mengusulkan untuk mengadakan serangan umum di Aceh yang dipimpin oleh tokoh Belanda yang bernama J.B van Heutz, Gubernur Sipil dan Militer Aceh.

Di samping itu, Belanda akan membuka kesempatan bagi bangsawan Aceh dan anak-anaknya untuk masuk dalam korps pamong praja pemerintah kolonial. Dengan begitu, bangsawan Aceh dapat terikat dengan Belanda dan terpisah dari golongan ulama.

Penugasan Snouck Hurgronje pun terbukti mampu membalikkan keberuntungan Belanda. Penemuan Hurgronje dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang baru, termasuk dalam pembentukan Korps Marchausse, yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda.

Dengan pasukan ini, Belanda berhasil mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Akhirnya, perlawanan rakyat Aceh berhasil dipadamkan dan imbasnya, Kerajaan Aceh Darussalam pun dibubarkan.

Begitulah Snouck Hurgronje, sosok di balik runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam terbesar di Sumatera, yang saran-sarannya terkait Perang Aceh terbukti mampu memadamkan perlawanan rakyat Aceh.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.