Konsesi Disabilitas dan Teknokratisme yang Berbelit
Nur Fauzi Ramadhan April 28, 2025 04:00 PM
Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI 1945 telah memberikan panduan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal tersebut dijadikan sebagai dasar dari kewajiban negara untuk melindungi kelompok rentan dan mengalami marjinalisasi seperti perempuan, disabilitas, dan masyarakat hukum adat.
Oleh karenanya, muncul upaya guna menjadikan posisi kelompok rentan tersebut supaya setara dengan kelompok lainnya. Sehingga di kemudian hari muncul istilah ‘afirmative action’ sebagai upaya yang dilakukan untuk mendorong kesempatan yang seluas-luasnya bagi kelompok rentan untuk mengembangkan dirinya dan mendapatkan akses, terutama dalam hal pendidikan, pekerjaan,, dan politik.
Contoh konkretnya ialah terdapat kuota khusus bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesempatan bekerja sebesar satu persen di suatu perusahaan, dan kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif.
Konsesi Sebagai Instrumen Kebijakan
Secara harfiah, "konsesi" dapat diartikan sebagai pemberian izin, hak, atau keringanan khusus oleh pihak yang berwenang kepada pihak lain. Dalam konteks penyandang disabilitas, makna konsesi meluas menjadi serangkaian penyesuaian, kemudahan, atau perlakuan khusus yang diberikan untuk mengatasi hambatan dan memastikan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara setara dalam setiap aspek kehidupan.
Sementara itu, konsesi menurut UU 8 Tahun 2016 membatasi konsesi pada segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau seseorang berdasarkan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah (UU 8 Tahun 2016).
Singkatnya, konsesi dalam konteks disabilitas adalah instrumen penting dalam hal penyesuaian biaya bagi penyandang disabilitas agar dapat optimal melakukan kegiatan ataupun perannya sehari-hari. Ini adalah bentuk tanggung jawab negara dan masyarakat untuk memastikan bahwa setiap individu tanpa terkecuali penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk hidup secara bermartabat dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.
Perlu dicatat, "konsesi bukan sekadar belas kasihan." Melainkan sebuah kebutuhan mendasar untuk mengatasi hambatan-hambatan yang mereka hadapi akibat keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik.
Dalam sebuah kebijakan, konsesi terhadap disabilitas menjadi amat penting ketika ada hambatan terhadap satu hal yang dialami oleh disabilitas dan dengan cara tersebutlah disabilitas dapat mengatasi hambatannya. Sebagai contoh, upaya untuk menyediakan akses transportasi publik yang aksesibel baik secara ketersediaan infrastuktur yang sudah ramah disabilitas dan harga yang terjangkau sehingga dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Hal demikian sangat membantu bagi seorang penyandang disabilitas untuk melakukan mobilitas secara lebih murah.
Sebagai ilustrasi, seorang disabilitas biasanya membutuhkan tambahan biaya (add cost) untuk melakukan sesuatu. Misalnya membutuhkan pendampingan dalam melakukan suatu aktivitas, membutuhkan alat bantu ataupun intervensi obat-obatan tertentu untuk menunjang kegiatan sehari-hari, membutuhkan ruang dan kondisi yang nyaman agar dapat menjalankan kegiatannya secara optimal. Tentu hal demikian membutuhkan tambahan uang yang tentunya tidak sedikit.
Implementasi Konsesi Disabilitas
Pemerintah sendiri sudah berkomitmen untuk menyediakan sebuah penghormatan yang layak bagi penyandang disabilitas dengan berperspektifkan pada pemenuhan HAM. Salah satu buktinya ialah dengan meratifikasi Konfensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2011 disusul dengan diundangkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kedua instrumen hukum tersebut salah satunya memuat tanggungjawab negara untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Salah satunya ialah dengan menyediakan konsesi bagi penyandang disabilitas yang kemudian diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Namun, hingga saat ini, peraturan pemerintah yang khusus mengatur mengenai konsesi penyandang disabilitas belum pernah diundangkan. Padahal, amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 memberikan waktu dua tahun untuk segera mengundangkan peraturan pemerintah tentang Konsesi bagi disabilitas.
Memang konsesi secara praktik sudah diimplementasikan dalam beberapa layanan publik. Sebagai contoh, dalam mengakses Kereta Api Jarak Jauh, penyandang disabilitas mendapatkan potongan sebesar 20 persen.
Kendati begitu, peraturan pemerintah tentang konsesi akan menjadi dasar kewajiban untuk menyediakan pelayanan bagi disabilitas utamanya dalam mengakses layanan publik seperti dalam hal mengakses kesehatan, transportasi umum, dan fasilitas lainnya dengan adanya penyesuaian harga.
Secara teknokratik, hal demikian membutuhkan banyak pertimbangan terutama dalam hal kesiapan fiskal dari pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan pembiayaan. Terlebih, apabila hal ini akan melibatkan pihak swasta. Oleh karenanya, perlu dipikirkan skema yang paling tepat untuk mengimplementasikan konsesi bagi penyandang disabilitas.
Namun apapun itu, segala upaya untuk mendorong keberadaan atau tidaknya konsesi bagi penyandang disabilitas amat erat kaitannya dengan ‘political will’ dari pemerintah itu sendiri. Publik akan menjadi saksi bagaimana prioritas pemerintah dalam isu disabilitas?
Jika pemerintah mampu membuat program mercusuar dengan menghabiskan dana ratusan triliun, bukankah pemerintah juga dapat pula mengalokasikan dana yang secara agregatif lebih sedikit untuk menyediakan kebijakan yang layak bagi penyandang disabilitas?