Garuda di Sarang, Indonesia di Tepi Jurang
Marganti Fiardyo Napitupulu April 28, 2025 04:00 PM
Apa yang bisa dibanggakan dari ekonomi Indonesia? Pertumbuhan ekonomi 5% per tahun? Negara ini selalu mengumandangkan visi besar—dari “Indonesia Emas 2045” hingga janji menjadi kekuatan ekonomi global. Namun, di balik retorika gemilang itu, realitas di lapangan menunjukkan kontras yang mencolok. Sementara industri masih terjebak dalam proses lama, ekspor bahan mentah mendominasi, dan rupiah terus terdepresiasi. Fakta-fakta tersebut mencerminkan jalan yang semakin terjal menuju kemandirian ekonomi.

Maju, Tapi di Treadmill

Ilustrasi treadmill (unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi treadmill (unsplash.com)
World Bank mencatat bahwa PDB per kapita Indonesia pada 2024 mencapai US$4.960. Kedengarannya bagus sampai Anda menyadari bahwa Malaysia sudah mencapai angka ini pada tahun 2005. Bahkan, menurut data IMF, Vietnam yang satu dekade lalu masih tertinggal kini mulai menyalip Indonesia dengan pertumbuhan industri manufaktur dan teknologi yang agresif. Pada 2023, Vietnam mencatatkan ekspor teknologi senilai US$114 miliar, lebih dari dua kali lipat ekspor teknologi Indonesia yang hanya US$50 miliar.
Setiap tahun, laporan resmi memamerkan pertumbuhan ekonomi sebagai kebanggaan nasional. Namun, ketika kita telaah lebih jauh, daya beli masyarakat tergerus oleh inflasi dan depresiasi rupiah. Sejak reformasi, rupiah telah kehilangan sebagian besar nilainya: tahun 1998, satu dolar masih berada di kisaran Rp2.000, dan berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan pekan lalu, Jumat 25 April 2025 naik 0,25% atau 43 poin ke level Rp16.829 per dolar AS. Di balik angka-angka tersebut terselip pertanyaan mendasar: apakah kita benar-benar maju atau hanya berolahraga di treadmill? Kenaikan harga barang impor yang terus meroket semakin memperburuk beban ekonomi, terutama bagi kelas menengah dan bawah.
Lebih menyedihkan lagi, pemerintah Indonesia masih sibuk membandingkan diri dengan negara-negara Afrika yang infrastrukturnya jauh lebih tertinggal. Ini bukan strategi pembangunan, ini penghiburan murahan yang justru menunjukkan betapa rendahnya standar yang kita tetapkan untuk diri sendiri.

Indonesia Nambang, China Menang

Ilustrasi bendera China dan Indonesia (shutterstock.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera China dan Indonesia (shutterstock.com)
Sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan pada 2020, Indonesia menggembar-gemborkan hilirisasi sebagai penyelamat ekonomi. Tapi faktanya? Sebagian besar industri smelter kita dikuasai oleh investor asing, terutama dari China. Dari 38 smelter yang beroperasi di Indonesia, lebih dari 60% dikelola oleh perusahaan China, menurut laporan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Bukannya membangun kemandirian industri, kita justru menjadi penonton di tanah sendiri.
Pembangunan smelter alumina senilai US$941 juta di Kalimantan Barat memang terdengar megah, tapi tanpa ekosistem industri yang solid, itu hanya akan menjadi pabrik yang menghasilkan bahan setengah jadi untuk kemudian diekspor dan diolah di luar negeri. Nilai tambahnya? Sebagian besar masih dinikmati oleh negara lain, terutama China dan Korea Selatan yang menjadi tujuan utama ekspor nikel olahan kita. Pelemahan rupiah justru memperburuk keadaan, karena harga barang impor yang mahal menggagalkan daya saing industri manufaktur lokal. Akibatnya, Indonesia kian dikenal sebagai penyedia bahan mentah, bukan sebagai pemain utama dalam rantai pasok global.

Manufaktur? Tidak, Terima Kasih

Ilustrasi logo "Made in Indonesia" (vecteezy.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi logo "Made in Indonesia" (vecteezy.com)
Negara maju selalu melewati fase pertumbuhan industri manufaktur sebagai fondasi ekonominya. China tumbuh dengan industri teknologi dan otomotif, Korea Selatan dengan elektronik dan semikonduktor, sementara Vietnam kini menjadi basis produksi utama untuk banyak perusahaan global seperti Samsung, Apple, dan Intel. Sementara itu, manufaktur Indonesia justru mengalami stagnasi.
Menurut data yang dirilis oleh S&P Global pada tahun 2023, kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia hanya 19,8%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam (24,3%) atau Malaysia (23,8%). Kemenperin pernah mengatakan bahwa hilirisasi industri sawit bisa meningkatkan nilai tambah hingga empat kali lipat. Sayangnya, mayoritas ekspor kita masih dalam bentuk crude palm oil (CPO) ketimbang produk turunan bernilai tinggi seperti oleokimia atau biodiesel.
Lebih ironis lagi, ketergantungan kita pada impor semakin mengkhawatirkan. Dari bahan baku farmasi hingga komponen elektronik, kita lebih sering menjadi konsumen ketimbang produsen. 85% bahan baku farmasi di Indonesia masih diimpor, dengan 60% berasal dari China dan India (bps.go.id). Dengan kondisi seperti ini, harapan menjadi negara industri besar kemungkinan hanyalah utopia.
-
Indonesia punya potensi besar, tapi itu hanya akan jadi mitos jika tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi. Jika pemerintah terus berpuas diri dengan angka-angka pertumbuhan yang tidak sebanding dengan negara lain, maka Indonesia akan tetap tertinggal 20 tahun atau lebih dibanding negara-negara maju. Saatnya berhenti membandingkan diri dengan negara yang lebih buruk, dan mulai menantang diri sendiri untuk benar-benar maju. Apakah kita siap? Welcome to the Real World!
Ilustrasi teknologi masa depan (unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teknologi masa depan (unsplash.com)
-
-
Referensi:
Bank Dunia. "GDP per Capita Indonesia 2024." https://databoks.katadata.co.id/
IMF. "Economic Outlook 2024." https://www.imf.org/
Reuters. "Indonesia Launches $941 Million Smelter." https://www.reuters.com/
Kemenperin. "Hilirisasi Industri Nasional." https://kemenperin.go.id/
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). "Foreign Investment in Indonesia's Nickel Industry." https://cips-indonesia.org/
Vietnam Ministry of Industry and Trade. "Vietnam's Technology Export 2023." https://moit.gov.vn/
Indonesian Pharmaceutical Association. "Pharmaceutical Raw Material Import Report." https://gpfi.or.id/
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.