Hari buruh sejatinya bukan hanya momentum seremonial belaka, tetapi juga merupakan sarana buruh untuk berjuang mempertahankan hak-haknya selaku pekerja yang kian lama digerus habis.
Mayday merupakan sebuah istilah yang merujuk kepada arti "hari buruh". Ya, tiap 1 Mei kita memperingati hari buruh, yang kemudian disebut dengan "Mayday". Mayday bukan berarti buruh dirayakan, bukan berarti buruh bersukacita karena ada satu hari khusus untuk memperingati esensi mereka. Tapi Mayday adalah hari dimana buruh berjuang, buruh bersuara, buruh ringkih tertatih berjalan dalam penindasan. Mengapa demikian? Mengapa Mayday selalu identik dengan pelaksanaan unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh? Karena sejatinya Mayday adalah nyala api perjuangan kaum buruh, yang menandakan bahwa ada kondisi darurat dalam aspek ketenagakerjaan.
Apa saja yang kemudian menjadi problematika dalam ketenagakerjaan yang menjadi keresahan dalam kerja-kerja buruh itu? Tulisan ini setidaknya akan menghantarkan kita untuk mengetahui hal-hal itu.
1.Pemberlakuan UU Cipta Kerja
Sejatinya, UU cipta kerja tidak hanya bermasalah secara materil, namun juga cacat secara formil. Pada tahun 2020, UU cipta kerja ini diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK pun menyatakan bahwa UU cipta kerja ini inkonstitusional bersyarat. MK menilai bahwa secara formil, pembentukan UU ini tidak didasarkan pada tata cara pembentukan yang baku, pasti, dan standar. Kemudian MK berpendapat bahwa pembentukan daripada UU ini bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga pada tahun 2021, MK memutus bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Sehingga MK memberikan waktu 2 tahun kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan terhadap UU ini sejak putusan MK tersebut dibacakan. Namun, alih-alih melakukan perbaikan, Presiden malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Padahal berdasar kepada pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945, pembentukan perppu yang dilakukan oleh Presiden harus didasarkan pada hal kegentingan memaksa. Padahal tidak ada kegentingan memaksa yang mengharuskan Presiden mengeluarkan Perppu ini. Kemudian pada tahun 2023, perppu ini mendapat angin segar dari DPR RI dengan ditetapkannya Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang cipta kerja menjadi UU no. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.
Selain cacat secara formil, muatan substansial daripada UU Cipta Kerja ini juga berdampak buruk bagi pekerja ataupun buruh itu sendiri. Beberapa diantaranya yaitu:
a. Sistem Kerja Kontrak
Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penggunaan frasa "tidak terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria PKWT. Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh. Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah (PP). KSPI, misalnya, menyatakan, dengan pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).
b. Praktik outsourching meluas
UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi. Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas. Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011. Sementara itu, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja. Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.
c.Waktu Kerja Yang Eksploitatif
Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding. Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
d. Berkurangnya Hak Cuti dan Istirahat
Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan. Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.
e. Rentan Alami PHK
Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan. Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Perbesar
Pekerja Pabrik. Sumber: Canva Design
2. Tak Kunjung Disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)
Berlandas kepada carut-marut UU Cipta Kerja yang sangat berpotensi melemahkan kedudukan perempuan sebagai buruh, rentan mendapat diskriminasi, hingga tak ramah gender menjadi alasan mengapa RUU PPRT ini harus segera disahkan. Saat ini, tidak ada peraturan yang memberikan kepastian hukum bagi pekerja rumah tangga yang notabenenya adalah pekerja sektor informal dan juga terhadap pemberi kerja. Sehingga tidak ada kejelasan aturan mengenai hubungan kerja antara pekerja dan juga pemberi kerja yang amat sangat berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan terhadap pekerja rumah tangga yang mayoritas adalah perempuan. Perempuan yang bekerja sebagai PRT sangat rentan mengalami kekerasan baik secara fisik maupun seksual. Banyak sekali kasus yang kemudian terjadi, menyebabkan perempuan pekerja rumah tangga tidak berada dalam ruang aman dan kondisi yang nyaman sebagai pekerja. Sehingga, sangat diperlukan payung hukum yang kemudian dapat melindungi pekerja rumah tangga ini.
Melihat bagimana kemudian carut-marut hukum ketenagakerjaan, sangat wajar apabila buruh bersatu padu berjuang untuk mewujudkan hak-hak mereka sebagai pekerja. Hadirnya UU Cipta Kerja menjadi satu dari sekian banyak sumber penindasan bagi pekerja, pun tidak hadirnya UU yang melindungi pekerja sektor informal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) semakin menambah kegelisahan buruh dalam melaksanakan kerja-kerjanya. Di hari buruh ini, bangkitlah buruh dan berjuanglah. Negeri ini, bangsa ini, peradaban ini ada karena hadirnya kelas pekerja yang berkorban waktu, tenaga, serta kenyamanannya untuk menjadi sumbu pembangunan peradaban bangsa. Selamat hari buruh, para buruh yang hari ini terus berjuang.