Imparsial menyatakan sikapnya atas rencana Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi bekerja sama dengan TNI dalam pembinaan siswa bermasalah atau nakal.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra memandang rencana kebijakan yang sedang disusun Dedi Mulyadi tersebut tidak hanya bentuk nyata militerisasi di ranah sipil, melainkan juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Selain itu, Imparsial memandang pelibatan TNI untuk menjawab persoalan “siswa nakal” jelas menyalahi fungsi TNI itu sendiri.
"Sebagai pemimpin sipil sudah sepatutnya Dedi menyadari adanya garis demarkasi antara urusan sipil dan urusan militer," kata Ardi saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (30/4/2025).
"Rencana kebijakan ini menunjukan sikap inferioritas sipil terhadap militer yang dalam tahap tertentu berbahaya bagi kehidupan sipil dan demokrasi," lanjutnya.
Selain itu Imparsial juga memandang pelibatan TNI dalam pembinaan “siswa nakal” juga tidak tepat di tengah kritik tajam terhadap institusi TNI akibat perilaku kekerasan anggota TNI di ranah sipil.
Menurut Imparsial, mereka yang dianggap siswa 'nakal" tersebut juga masih tergolong dalam usia anak yang dalam prinsip hak asasi manusia harus diperlakukan sesuai dengan prinsipprinsip hak anak yang jauh dari budaya kekerasan.
Ia juga mengingatkan dalam kurun waktu 6 bulan TNI memiliki rekam jejak kekerasan yang berulangkali dipertontonkan di hadapan publik.
Berdasarkan catatan Imparsial, kata dia, setidaknya terdapat lima kasus kekerasan anggota TNI kepada masyarakat sipil.
Imparsial mencatat lina kasus itu antara lain kasus penyerangan kampung dan pembunuhan seorang warga sipil pada November 2024 di Deli Serdang, kasus pembunuhan bos rental pada bulan Januari 2025 di Tangerang, kasus Sabung Ayam yang mengakibatkan terbunuhnya tiga anggota Polisi pada bulan Maret 2025 di Lampung, dan kasus pembunuhan jurnalis perempuan oleh anggota TNI pada bulan Maret 2025 di Banjarbaru.
Menurut Imparsial, mengakarnya kultur kekerasan di tubuh TNI jelasjelas menunjukkan kebijakan yang akan diambil oleh Dedi Mulyadi tidak hanya keliru tetapi berbahaya.
"Jangan sampai alihalih perilaku siswa berubah menjadi lebih baik, kebijakan pembinaan oleh TNI justru malah mempertebal budaya kekerasan di kalangan pelajar," ungkapnya.
Imparsial memandang pada saat yang bersamaan rencana kebijakan yang sedang disusun Dedi Mulyadi bermasalah secara hukum.
Menurut Imparsial ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur tentang prinsip pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Dengan demikian, pendekatan militer yang coba digunakan oleh Gubernur Jawa Barat untuk mengatasi 'siswa nakal' jelas mencederai semangat demokrasi dan jauh dari nilainilai hak asasi manusia," kata dia.
Untuk itu, kata dia, Imparsial mendesak dua hal.
Pertama, Imparsial mendesak Menteri Dalam Negeri untuk mencegah rencana kebijakan pelibatan TNI dalam pembinaan siswa nakal oleh Gubernur Jawa Barat.
"Kedua, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menghentikan rencana kebijakan pelibatan TNI dalam pembinaan siswa nakal," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Markas Besar TNI Angkatan Darat mengatakan akan ada kerja sama antara Kodam III Siliwangi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) terkait penanganan siswa bermasalah.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana mengatakan rencana tersebut akan dibicarakan secara lebih rinci dengan Pemprov Jabar.
Hal tersebut, kata dia, sesuai hasil komunikasi dengan Staf Teritorial Angkatan Darat dan Staf Teritorial Kodam III/Siliwangi.
"Bahwa akan dilaksanakan kerjasama antara Kodam III/Siliwangi dan Pemprov Jabar terkait penanganan siswa yang bermasalah. Untuk rencana waktu pelaksanaan akan dibicarakan secara lebih rinci dengan Pemprov Jabar," kata Wahyu saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (29/4/2025).
Soal tempat pelaksanaannya, Wahyu mengatakan sementara ini sudah ada beberapa wilayah yang direncanakan sesuai pertimbangan dari Pemprov Jabar.
Akan tetapi, Wahyu mengakui rencana tersebut belum mencakup semua wilayah di Jabar.
Sedangkan untuk mekanisme penentuan siswa yang akan dikirim, kata dia, tentunya sesuai yang disampaikan oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi.
Apa yang disampaikan Dedi yakni para siswa dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang terlibat tawuran, terlibat geng motor dan siswa yang orang tuanya sudah tidak mampu lagi untuk mendidik secara etika dan perilaku.
"Jadi sekali lagi, untuk penentuan ini berdasarkan rencana dari Pemprov Jabar yang melibatkan orang tua atau tetap berdasarkan kesepakatan dengan orangtua masingmasing siswa," ungkap dia.
Sedangkan untuk programnya sendiri, kata Wahyu, secara umum juga seperti yang sudah disampaikan Dedi Mulyadi.
Program itu yaitu pembinaan karakter bagi siswasiswa yang memiliki sikap perilaku negatif meliputi pendidikan etika, pengetahuan, pertanian, dan kedisiplinan.
Sedangkan waktu pembinaannya, kata dia, akan ditentukan setelah dilaksanakan koordinasi teknis dengan Pemprov Jabar.
"Sebelum pelaksanaan pembukaan program tersebut tentu akan ada pemberitahuan dan semua akan dilaksanakan setelah segala sesuatu sudah terkomunikasikan secara tehnis antara Kodam III/Siliwangi dan Pemprov Jabar," pungkasnya.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membeberkan alasan dibalik rencana tersebut.
Menurutnya, alasan mendasar rencana tersebut berangkat dari sudah mulai lemahnya pengawasan terhadap siswa di Jawa Barat.
Saat ini, menurutnya banyak pelajar merasa berkuasa namun lemah dalam segi ketahanan fisik.
Hal itu disampaikannya saat ditemui awak media di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
"Coba tanya deh ke jajaran TNI Polri, apa yang terjadi pada anak muda hari ini. Satu, tangannya rapuh, jadi ada orang yang ingin panco saja patah. Karena makanannya junk food. Kedua, kakinya kalau loncat latihan, loncat dari mobil patah dan keseleo, karena tidak pernah jalan kaki," ungkapnya.
Sementara itu di sisi lain, menurut Dedi, dalam kondisi ini banyak orang tua hingga para guru yang merasa kewalahan dalam menghadapi para siswa.
Para guru, kata Dedi, cenderung lebih takut apabila memberikan ketegasan kepada para murid yang bersalah.
"Maka saya mengubah paradigma itu dengan cara apa, banyak orang tua yang hari ini tidak punya kesanggupan lagi menghadapi lagi anaknya. Banyak guru yang tidak punya kesanggupan untuk menghadapi muridmuridnya. Kenapa, dia keras dikit nanti dikriminalisasi," lanjutnya.
Atas hal itu, Dedi berpandangan perlu dilakukan tindakantindakan yang nyata, terukur dan terencana terhadap perkembangan siswa.
Salah satu upayanya, kata dia, dengan memberikan pendidikan bersama dengan TNI dan juga Polri.
"Maka salah satu pilihannya adalah melibatkan TNI Polri menjadi bagian dari upaya pembinaan mereka. Siapa yang dibina, mereka yang mengalami kenakalan akut yang sudah mengarah kriminal," ujar dia.
Hanya saja, menurut dia, pemberian pendidikan itu tidak dipaksakan.
Nantinya, sambung Dedi, para orang tua siswa yang merasa memiliki anak dengan kenakalan akut, bisa menyerahkan putranya ke posko TNI yang akan dibentuk.
Selain itu, ia juga mengatakan di dalam barak tersebut para siswa juga tidak akan diberikan pendidikan militer, melainkan untuk memberikan pemahaman kedisiplinan agar lebih patuh terhadap normanorma.
"Jadi masuk barak militer bukan latihan perangperangan, bukan. (Tapi) membantu membangun kesehatan pikiran, kesehatan mental, dan kesehatsn raga mereka agar mereka menjadi anakanak yang bugar, tidak minum, tidak merokok, tidak makan eksimer, tidak minum ciu, yang itu obatobatan itu marak di manamana," tandasnya.