TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus ke-267 dengan nama pontifikal Paus Leo XIV, membuka harapan baru bagi arah Gereja Katolik dalam menjawab tantangan global masa kini. Sosok yang dikenal dekat dengan komunitas marjinal ini diyakini akan memainkan peran strategis bukan hanya dalam konteks keagamaan, tapi juga sebagai suara moral dunia.
“Pilihan nama Leo bukan hal sepele. Itu adalah sinyal kuat bahwa Paus baru ingin meneruskan semangat Paus Leo XIII yang dulu memperjuangkan hak-hak buruh dan martabat manusia,” ujar Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Robert Francis Prevost menjadi Paus pertama yang berasal dari Amerika Serikat. Latar belakangnya sebagai misionaris serta pemimpin ordo religius memperkuat keyakinan banyak pihak bahwa ia membawa perspektif global dan kemampuan menjembatani perbedaan dalam lanskap geopolitik dunia.
“Ia datang pada saat dunia sedang terfragmentasi secara sosial, ekonomi, dan ekologis. Dunia menanti seorang pemimpin yang bukan hanya religius, tetapi juga profetik,” jelas Capt. Hakeng.
Dalam pandangannya, kepemimpinan Paus tidak berhenti pada tata kelola internal Gereja. Dunia saat ini membutuhkan suara moral yang mampu bicara tegas dalam isu-isu besar lintas negara, mulai dari krisis iklim, ketimpangan sosial, hingga ancaman digitalisasi terhadap nilai kemanusiaan.
“Paus Leo XIV harus mampu menjadikan Gereja bukan hanya penjaga warisan spiritual, tetapi pelopor transformasi moral global,” tegas Capt. Hakeng.
Semangat reformasi yang dibawa Paus Leo XIV juga disambut positif oleh kaum muda Katolik, termasuk di Indonesia. Organisasi-organisasi pemuda menilai bahwa saat ini Gereja harus lebih mendekat dan hadir sebagai ruang dialog bagi generasi muda.
“Anak muda sekarang butuh Gereja yang hadir sebagai sahabat. Yang bisa mendengar, berdialog, dan menemani pencarian makna hidup mereka,” tambahnya.
Capt. Hakeng juga mendorong adanya reformasi pastoral yang empatik, tidak hanya menekankan dogma, tetapi juga memperkuat kesadaran sosial dan spiritualitas kontekstual.
Ia menegaskan, kepemimpinan Paus Leo XIV bisa menjadi inspirasi untuk Gereja Katolik Indonesia dalam memperkuat partisipasi pemuda dan perempuan dalam struktur gerejawi serta menjadikan organisasi pemuda sebagai agen perubahan sosial.
“Ini bisa menjadi momentum bagi organisasi pemuda Katolik di tanah air untuk mentransformasikan dirinya sebagai agen perubahan sosial dan promotor dialog antariman,” katanya.
Indonesia, dengan keberagaman agama yang tinggi, disebut Capt. Hakeng sebagai medan strategis misi lintas iman yang bisa didorong oleh kepemimpinan Paus baru. Ia berharap Gereja semakin aktif membangun koalisi moral dengan agama-agama lain demi menanggapi isu-isu seperti radikalisme, kemiskinan, hingga krisis lingkungan.
“Kami berharap Paus Leo XIV terus mendorong Gereja agar lebih aktif membangun koalisi moral bersama agama-agama lain, demi menanggapi tantangan bersama seperti radikalisme, kemiskinan, dan degradasi lingkungan,” pungkasnya.
Di tengah dunia yang terus bergolak, kepemimpinan Paus Leo XIV membawa optimisme akan hadirnya seorang gembala yang mampu menyatukan nilai spiritual dan universal dalam menghadapi krisis zaman.
"Kami percaya, Paus Leo XIV bukan hanya pemimpin Gereja Katolik, tetapi gembala umat manusia yang sedang mencari arah di tengah dunia yang sedang bergejolak,” tutup Capt. Hakeng.