TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global dan tuntutan pasar internasional terhadap praktik bisnis berkelanjutan, perusahaan-perusahaan di sektor pertambangan didorong memperkuat komitmen terhadap praktik sustainability.
Peneliti Senior The Prakarsa Setyo Budiantoro mengatakan, konflik dagang antara Amerika Serikat dan China justru membuka peluang bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar di pasar global.
Untuk itu, perusahaan harus mampu memenuhi standar keberlanjutan yang semakin ketat, terutama dari kawasan Eropa.
“Kalau produk kita tidak sustainable, kita akan terinklusi dari pasar. Kita nggak bisa masuk. Jadi ini bukan hanya soal etika, tapi juga soal daya saing,” ujarnya.
Ia menambahkan, penerapan standar internasional seperti UN Global Compact, IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance), dan pelaporan keberlanjutan melalui OJK maupun Bursa Efek Indonesia, harus menjadi perhatian serius bagi pelaku usaha.
Khususnya di sektor pertambangan, proses dari hulu ke hilir—mulai dari eksplorasi, produksi, transportasi, hingga pengelolaan limbah—harus memenuhi standar “responsible mining”.
Namun, Setyo mengakui bahwa penerapan praktik keberlanjutan di sektor tambang masih menghadapi tantangan besar.
Meski begitu, beberapa perusahaan mulai menapaki jalur yang sejalan dengan implementasi sustainability.
Berdasarkan catatan, sejumlah perusahaan tambang di Indonesia sudah bersedia diaudit oleh IRMA yaitu Harita Nickel dan Vale Indonesia. Di tambang Harita Nickel, audit dilakukan tidak hanya pada penambangannya, tapi juga pada smelter dan refinery.
Sebagaimana diketahui, dibandingkan dengan standar keberlanjutan lain, IRMA termasuk yang paling sulit ditempuh, paling ketat, serta melalui tahapan panjang dan rigid.
Apalagi, anggota Dewan di IRMA termasuk lembaga-lembaga masyarakat sipil yang paling kritis di dunia.
Karena itu, langkah ini dinilai sebagai upaya konkret untuk menjawab tudingan “dirty nickel” terhadap produk nikel Indonesia di pasar global.
Sebagaimana diketahui, isu pencemaran air yang dikaitkan dengan operasi tambang nikel beberapa kali muncul. Misalnya, laporan Walhi Sulsel terkait dugaan pencemaran tambang Vale di Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Lebih lanjut, Setyo mencontohkan implementasi sustainability juga tampak pada perusahaan di sektor pertanian juga seperti Green Giant Pineapple dan Daya Selaras.
Ini menjadi sinyal positif tumbuhnya kesadaran pada aspek sustainability di Indonesia.
Great Giant yang berbasis di Lampung, mampu mengolah limbah kulit nanas menjadi pakan ternak, biogas, dan bahkan budidaya maggot sebagai sumber protein tinggi. Sementara Daya Selaras, perusahaan daur ulang kertas yang telah beroperasi selama lebih dari tiga dekade, menunjukkan efisiensi logistik dan proses produksi yang ramah lingkungan.
Ke depan, Setyo menegaskan, greenwashing atau sustainability washing tidak lagi bisa ditoleransi. Konsumen dan lembaga keuangan, baik di dalam maupun luar negeri, semakin cerdas dan menuntut transparansi serta bukti konkret. “Kalau hanya janji surga, nggak ada komitmen soal waktu atau jumlah, maka kredibilitas perusahaan yang jadi taruhannya,” tegasnya.
Dengan semakin nyata dampak perubahan iklim dan meningkatnya kesadaran global, mendorong praktik keberlanjutan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. “Ini bukan hanya soal reputasi, tapi juga tentang masa depan kita bersama,” pungkas Setyo.