MANADO - Sidang praperadilan Hanny Wala atas kasus oknum Notaris Manado, terkait dugaan kasus penggelapan sertifikat yang dihentikan atau SP3 oleh Polda Sulut, telah ditolak.
Hakim Erwin Marentek SH MH menolak praperadilan pada Rabu (14/5/2025) di Pengadilan Negeri (PN) Manado. Hakim praperadilan tidak mengabulkan permohonan pemohon.
Bahwa termohon dalam hal ini Polda Sulut telah melakukan serangkaian penyidikan, berupa laporan gelar perkara, kesimpulan terhadap laporan kepolisian, kemudian dihentikan penyelidikannya karena termohon menemukan fakta dalam alat bukti dokumen putusan.
Berikut isi putusan hakim
"Alat bukti dokumen putusan, banding PT Manado perdata, No 54 Jo 187/2021, tanggal 9 Juni 2022 antara Hanny Wala pembanding, Vs Reno, dkk, kemudian dikuatkan putusan MA-RI perkara perdata no.397/2023, tertanggal 27 Desember 2023, antara A Gunawan, dkk Vs Hanny Wala, dimana objek permasalahan dalam laporan polisi, sebanyak 6 dokumen SHM no91 -no96, Bitung Karangria Manado, yang kemudian berada dalam penguasaan terlapor. "
Pencari Keadilan Tidak Puas akan Putusan Hakim
Usai persidangan, Hanny Wala dan keluarga bersama Kuasa Hukum, Advokat Dr. Wempie Potale SH MH merasa tidak puas atas putusan hakim yang telah didengar.
"Kalo persoalan perdata kan lain, padahal alat bukti kami sudah cukup menurut pasal 184, sudah berkesesuaian ada, korban, saksi, keterangan ahli, ada barang bukti, apalagi yang mo diragukan," ungkap Advokat Potale, Jumat (16/5/2025).
"Jika pak Hanny, mau kasih pulang (kembalikan) itu Rp 20 Miliar ke terlapor TEB (Notaris), apakah dia berhak untuk menerima.
Fakta yang ada bahwa Eddy Boham yang saat itu notaris bukan merupakan bagian dari pembeli.
Dan ini tidak ada kaitannya dengan kasus perdata dengan pihak lain. Kami lapor bukan salah satu ke lain pihak. Jelas ini merupakan penyelundupan hukum," tegas kuasa hukum.
Selain itu, masih menurut Hanny Wala melalui Kuasa Hukum, Advokat Wempie Potale, bahwa putusan MA -RI no : 3957, hakim tidak mempertimbang-kan pendapat Ahli Dr. Jemmy Sondak, Unsrat Manado, tentang perjanjian penitipan Perkara perdata pasal 1694.
"Dimana Eddy Boham bukan bagian dari pembeli ,dia hanya seorang notaris yang fungsi hanya membuat akte jual beli antara Hanny Wala dan PIK, dan perjanjian itu di buat di bawah tangan tidak ada kaitan dengan dia (notaris)," tambah Potale.
"Dia (notaris) hanya menerima 6 SHM untuk pengecekan di BPN setelah selesai ke 6 SHM harusnya di kembalikan ke Hanny Wala, namun sampai berproses di Polda Sulut malah kasus di sp3, maka Hany Wala melakukan perlawanan dengan menguji Sah tidaknya SP3 itu, tapi aneh-nya hakim dalam pertimbangan hukumnya menitik beratkan pada aspek perdata yang tidak ada kaitannya dengan yang dimohonkan," sambungnya.
"Kalau sudah begini dimana lagi warga masyarakat mencari keadilan, padahal senyatanya penguasaan ke 6 SHM itu adalah melawan hukum sebagaimana pasal 372 KUHPidana tentang penggelapan, hal ini juga patut di pertanyakan," ujar Advokat Potale.
Diketahui, kasus dilaporkan pelapor, kejadian pada tahun 2016 dimana pelapor menitipkan 6 sertifikat hak milik, No.91, 92, 93, 94, 95, dan no 96, Bitung Karangria Kec Tuminting Kota Manado. Sertifikat tersebut dititipkan karena terlapor adalah seorang notaris PPAT, dan terhadap sertifikat tersebut akan dilakukan jual beli dihadapan terlapor.
Namun karena terjadi permasalahan dalam proses jual beli, sehingga tidak terlaksana dan kemudian pelapor ingin mengambil kembali sertifikat sertifikat yang dititipkan tersebut dari terlapor, namun terlapor tidak mau menyerahkan sertifikat tersebut. (advertorial)